Tuesday, September 11, 2007

DERITA PEREMPUAN KORBAN KONFLIK SANGGAU LEDO
Oleh Nurul Hayat

"Hidup ini susah. Bagaimana nanti ya... kalau di akhirat, apakah juga makin susah," kata Sukadimah, perempuan paruh baya, korban kerusuhan sosial 1996-1997 di Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang.

Sukadimah, tidak mengetahui usianya telah "berkepala" berapa. Namun dari gurat keriput di wajahnya, perempuan itu terlihat seperti "memegang" beban berat.

"Orang Madura dek.., mana pernah peduli dengan usia sudah berapa," katanya, seolah mengingatkan hidup seseorang bukan berdasarkan usianya.

"Allah...Allah... susahnya hidup. Ini mau puasa, tapi tidak ada uang," katanya dengan tangan mengusap kedua pipinya sambil duduk di tangga teras depan kantor Gubernur Kalbar Jalan Ahmad Yani, Pontianak.

Perempuan beranak lima itu, hanyalah salah satu dari ratusan warga yang mengikuti unjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Senin (10/9).

Selain Sukadimah masih ada Misura, yang mengaku berusia 40-an tahun. Misura memiliki tujuh anak, dua di antaranya sudah berumah tangga. Sehari-hari hidupnya bekerja sebagai pemecah batu.

"Sejak tinggal di Peniraman (Kabupaten Pontianak) 10 tahun ini, saya jadi tukang batu," kata perempuan bertubuh kecil dan berkerudung itu.

Menurutnya, kebanyakan perempuan korban kerusuhan Sanggau Ledo, harus kerja keras banting tulang membantu suami, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ia memilih menjadi tukang batu atau penetak batu, karena di tempat tinggalnya --pinggir jalan lintas Pontianak-- memang terkenal sebagai penghasil batu untuk bahan bangunan dan pembuatan jalan.

"Kerja batu berat. Kalau puasa sanggup kerja, saya kerja. Tapi kalau tak kuat, ya libur saja. Itu artinya tidak ada penghasilan," katanya.

Dalam empat hari kerja, Misura dan suami bisa mengumpulkan pecahan batu untuk mengisi satu truk. Batu-batu itu dijual kepada penampung warga setempat Rp50.000 per truk.

"Itu tak cukup untuk makan. Syukurnya anak-anak juga membantu mengumpulkan batu-batu," kata wanita yang pernah menetap di Salatiga, Kabupaten Bengkayang itu.

Saat masih di Salatiga, Misura dan suami menjadi penoreh karet milik tuan tanah setempat. Hasilnya memang tidak besar. Dalam satu hari bisa dapat lima kilogram karet yang upahnya dibayarkan Rp500 per kg.

"Itu penghasilan 10 tahun lalu. Tetapi cukup untuk hidup kami sekeluarga," katanya. Namun sejak mengungsi ke Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, dia mesti menjadi penetak batu. "Diam (tinggal) di Peniraman tidak dapat apa-apa," katanya.

Sementara Rosita (25), perempuan lainnya, memilih hanya mengurus rumah dan mengasuh dua anak yang masih berusia 4 dan 2,5 tahun.

"Saya tidak bekerja. Suami saja yang kadang-kadang jadi penebang kayu atau tukang batu," kata perempuan kelahiran Terohok, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak itu.

Rosita, 10 tahun lalu masih remaja. Ikut mengungsi ke daerah Motong Tinggi, Kecamatan Anjungan, Kabupaten Pontianak, bersama keluarga besarnya.

Ia bertemu jodoh teman sekampung asal Terohok, Mandor. Sambil menahan sakit di perut, perempuan itu menyatakan rata-rata para ibu yang ikut dalam aksi unjuk rasa di gedung DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, sehari-harinya bekerja, sebagai tukang batu.

Begitu kerasnya hidup yang mesti dijalani para perempuan korban kerusuhan itu. Sehingga harus merelakan tangan dan kaki menjadi kasar dan "kapalan", karena harus "menaklukan" batu-batu di perbukitan. Tentu saja, mereka juga harus siap mati terkena longsoran reruntuhan tanah dan batu dari bukit yang rusak.

Mana perhatiannya?

Warga dari pengungsian Motong Tinggi mendatangi DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar untuk meminta ganti rugi aset-aset mereka yang telah ditinggalkan dan mengharapkan perlindungan hukum.

Selain itu juga meminta disediakannya pemukiman yang layak beserta fasilitasnya, menuntut jatah hidup selama 10 tahun yang belum diberikan, dan menuntut penanganan lebih serius Pemprov Kalbar agar permasalahan tersebut secepatnya bisa diselesaikan.

Koordinator Forum Peduli Pengungsi Pasca Konflik Sosial, Junaidi (39) mengatakan, "Kami sudah 10 tahun menunggu, tapi hingga kini belum ada realisasi dari Pemprov Kalbar."

Sebagai warga negara Indonesia, menurutnya, semua memiliki hak yang sama. Namun yang terjadi selama 10 tahun, mereka harus menderita di barak pengungsian Motong Tinggi tanpa ada kejelasan. Para pengunjuk rasa itu kecewa, mereka seperti diperlakukan sebagai "anak tiri".

Mereka mengharapkan bantuan yang sama yang pernah diberikan kepada para pengungsi korban kerusuhan Sambas, 1999 lalu. "Kami tak dapat rumah. Tak dapat uang atau pun bantuan makanan. Mengapa kami tidak bisa mendapatkannya," kata seorang perempuan kurus dengan bayi dalam gendongan.

Warga yang berunjuk rasa itu, menyatakan diperlakukan tidak adil. Karena pengungsi korban kerusuhan Sambas, sudah mengikuti relokasi -- mendapatkan rumah, tanah dan jatah hidup -- di sejumlah kawasan dalam wilayah Kabupaten Pontianak.

Aksi kali ini, untuk ketigakalinya mereka lakukan. Pada Juni lalu, Asisten I Sekretaris Daerah Kalbar, Ignatius Lyong menyatakan Pemprov akan segera menyelesaikan permasalahan para korban konflik bernuansa SARA 1996-1997 itu.

Mereka ingin bertemu Gubernur Usman Ja'far dan Sekretaris Daerah Syakirman, untuk menanyakan secara langsung nasib mereka selanjutnya. Namun kedua orang tersebut sedang tidak berada di tempat.

"Gubernur kabarnya sudah membentuk tim penanganan pengungsi 1996-1997 Sanggau Ledo. Tetapi mana buktinya?" kata Junaidi saat berorasi di teras depan kantor Gubernur Kalbar.

Sekretaris Tim Penanganan Pengungsi 1996-1997 Sanggau Ledo, Totot WD saat berdialog dengan perwakilan warga tersebut, mengakui tim sudah dibentuk oleh Gubernur Kalbar dengan No. 482 tahun 2007 sejak Juni lalu. Tetapi itu baru sekedar pembentukan tim kerja yang terdiri dari berbagai instansi pemerintah termasuk unsur Polda Kalbar.

"Hingga kini dana untuk pemberian Jadup dan lain sebagainya masih belum ada, sehingga kami masih belum bisa bekerja. Saya minta para korban kerusuhan bisa bersabar," katanya.

Akibat kerusuhan dua etnis pada 1996-1997, sekitar 1.770 kepala keluarga atau sekitar 9.000 warga yang terpaksa mengungsi di dua barak yaitu barak Galang dan Motong Tinggi, yang terletak di Anjungan, Kabupaten Pontianak.

Dalam aksi unjuk rasa ke DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, selain para laki-laki dan perempuan dewasa, juga tampak anak-anak berusia di bawah 10 tahun. "Anak-anak kami ikut ke sini, karena mereka tidak bersekolah," kata Misura.

Tuesday, September 4, 2007

JURU PARKIR MINTA KAWASAN SEBERANG RSUD SOEDARSO BISA DIKELOLA

Pontianak, 2/8 (ANTARA) - Perwakilan juru parkir Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soedarso Pontianak, dalam pertemuan dengan Komisi C dan D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat, di Pontianak, Kamis, meminta agar manajemen rumah sakit memberikan keleluasaan bagi mereka untuk mengelola perparkiran di luar pagar atau seberang rumah sakit tersebut.
Terhitung sejak 1 Juli kawasan parkir di kompleks RSUD Dr Soedarso Pontianak dikelola oleh perusahaan perparkiran bernama "Sun Parking". Pengelolaan parkir oleh perusahaan swasta itu melalui penandatanganan nota kesepahaman antara Direktur RSUD, Dr M Subuh dengan manajemen Sun Parking.
Sebelumnya, selama bertahun-tahun kawasan parkir dikelola oleh perseorangan dan pihak rumah sakit mendapatkan setoran sebesar Rp75 per hari atau Rp600 ribu/ bulan. Dengan adanya pengelola baru tersebut, pihak rumah sakit mengharapkan terdapat peningkatan pendapatan yang dapat disetorkan kepada kas daerah sebesar 20 persen.
Namun adanya pengelola baru tersebut, mendapat penolakan dari para juru parkir lama. "Kami dari juru parkir lama, merasa dirugikan. Karena lahan yang telah dikelola bertahun-tahun kini dikuasai oleh pihak lain. Ini menyangkut soal mengisi perut keluarga," kata juru bicara juru parkir (lama), Suhartono Sukran, saat pertemuan wakil Sun Parking, DPRD, RSUD Dr Soedarso dan Dinas Perhubungan Kota Pontianak, di aula Bahaum DPRD Kalbar itu.
Pertemuan itu, adalah untuk mendengarkan masukan dan saran dari pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan perparkiran di kompleks RSUD Dr Soedarso Pontianak. Pertemuan bukan merupakan eksekutor atau pun menghasilkan keputusan yang dapat menguntungkan salah satu pihak. Dan memang hingga selesainya pertemuan, tidak menghasilkan keputusan menguntungkan para pihak tersebut, terkecuali akan adanya pertemuan kembali antara tiga pihak yang bermasalah.
Pimpinan pertemuan, Anwar, yang juga Ketua Komisi D (Kesra) DPRD Kalbar, menyatakan baik Komisi C maupun D yang hadir dalam pertemuan tidak dapat memutuskan "perkara" yang dihadapi oleh beberapa pihak tersebut. Namun ia mengimbau agar baik Sun Parkirng, manajemen RSUD Dr Soedarso maupun juru parkir (lama) membahas kembali isi MoU yang sudah dibuat dengan memerhatikan kepentingan sosial.
Rumah sakit, berbeda dengan kompleks mall. Dalam mengelola perparkiran di rumah sakit, hendaknya memerhatikan efek sosial karena tamu-tamu rumah sakit umumnya orang yang sedang susah. Sehingga pengelola hendaknya mempertimbangan pembayaran parkir dari tiap-tiap tamu yang datang, seperti dengan menerapkan sistem flat (tetap).
Beberapa anggota DPRD yang hadir dalam pertemuan tersebut mengingatkan hal itu kepada Sun Parking.
Dalam pertemuan Anwar juga mengharapkan beberapa hari ke depan, pihak rumah sakit memberikan izin sementara kepada juru parkir lama untuk dapat mengelola perparkiran di seberang rumah sakit. Mengingat parajuru parkir tersebut telah tiga hari terakhir tidak mendapatkan penghasilan. Hal itu sambil menunggu adanya hasil pertemuan antara pengelola baru dengan pihak RSUD.
Namun dari pihak RSUD menyatakan MoU yang mereka buat sudah menyangkut semua kawasan parkir di RSUD Dr Soedarso. Sehingga pihak selain Sun Parking tidak dapat mengelola perparkiran di rumah sakit tersebut.
Anwar, dalam kesempatan itu juga mempertanyakan tawaran Sun Parking kepada sekitar 80 juru parkir lama agar mendaftarkan diri menjadi karyawan perusahaan tersebut yang tidak ditanggapi.
Dari penjelasan para juru parkir, alasannya, mereka tidak dapat memenuhi persyaratan mengenai tingkat pendidikan yang diajukan oleh Sun Parking. Karena rata-rata juru parkir hanya tamatan SLTP dan SLTA.
Sementara menurut wakil Sun Parking, Shopian, syarat yang diajukan perusahaan itu bersifat fleksibel. Dalam pengertian jika ada pendaftar tidak memenuhi syarat asal disertai rekomendasi pihak rumah sakit, hal itu tidak menjadi persoalan.
Menurut Kepala Bidang Tehnik Kendaraan dan Telekomunikasi Dinas Perhubungan Kota Pontianak, Joko Poerwono, dalam pengelolaan sistem perparkiran di kota Pontianak terdapat dua bentuk.
Pertama, parkir pada sejumlah mall dan swalayan yang dipungut dalam bentuk pajak parkir oleh Dinas Pendapatan Daerah. Kedua, perparkiran tepi (pinggir) jalan yang disetorkan kepada Dinas Perhubungan. Pungutan dari keduanya pada tahun 2006, khusus parkir tepi jalan sebesar Rp522 juta dan yang dipungut Dispenda dalam bentuk pajak, sekitar Rp400 juta.
Ia menyatakan dalam memungut dana parkir perseorangan, Dishub Kota Pontianak selalu mempertimbangkan unsur sosial. Karena itu pungutan uang parkir dari sekitar 400 titik yang ada, jumlahnya beragam, dari hanya Rp15 ribu hingga Rp2,5 juta perbulan.
(N005/
BUDAYA DAYAK BELUM MEWARNAI PERFILMAN NASIONAL

Pontianak, 21/5 (ANTARA) - Produser Film, Jeremias Nyangoen, Senin, mengatakan budaya Dayak belum ikut mewarnai perfilman tanah air, sehingga cukup sulit menemukan film dokumenter atau cerita bioskop yang berseting budaya Dayak di Indonesia.
Sepanjang Indonesia merdeka hingga saat ini, diperkirakan baru ada satu film bioskop yang pengambilan gambarnya di Kalimantan yakni "Jeram-jeram Cinta". Namun isinya pun perlu ditilik kembali apakah sudah cukup kuat mengangkat budaya Dayak, kata Jeremias Nyangoen, dalam Dialog Budaya Dayak di kantor Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
Ia mengatakan, tak berbeda jauh dengan film dokumenter atau pun sinetron dalam tayangan televisi nasional, dapat dikatakan belum ada tema-tema budaya Dayak.
Hal itu bisa terjadi karena beberapa alasan, di antaranya jarangnya film berseting budaya Dayak diproduksi karena biaya produksi yang mahal, sehingga dianggap tidak begitu penting karena bukan kebutuhan primer.
Sulitnya birokrasi untuk meminjam atau menonton film tersebut, selain menontonnya di televisi dengan jumlah tayangan yang sangat terbatas. Serta diperlukan biaya dan waktu khusus untuk melakukan riset dan pengumpulan data dari para peneliti seni asing dari Perancis, Belanda, Selandia Baru, Amerika dan Jerman.
Produser yang juga aktor itu menyatakan, lazimnya sebagai pekerja seni pembuat film, ketika mendengar kata Dayak, maka akan tergambar hutan belantara, anak sungai yang panjang berliku, hujan dan matahari, rumah panjang, laki-laki dan perempuan yang menghias diri dengan tato.
"Sesuatu yang natural dan eksotis seperti suku Indian yang kita lihat di buku-buku atau film Hollywood," katanya. Meski pada kenyataannya tidak semua tempat di Kalimantan seperti itu lagi.
Menurut ia lagi, kehadiran film Indonesia di tengah masyarakat tidak saja diartikan sebagai lahirnya produk seni budaya, namun dapat pula dilihat sebagai produk ekonomi, karena menyerap tenaga kerja dan menjawab tantangan global terhadap perfilman dunia.
Film nasional, menurutnya, tidak saja diproduksi di Jakarta. Tetapi kini juga sudah menyebar ke daerah. Karena pemerintah daerah menyadari film tidak saja dilihat sebagai sarana pendidikan, komunikasi dan hiburan, namun juga menjadi salah satu unsur kekuatan ekonomi.
"Dan lebih jauh lagi, hal itu untuk membuktikan eksistensi pemda yang bermanfaat bagi masyarakat," imbuhnya.
Bali, Lombok, Toraja, Riau, Gorontalo, Papua, merupakan nama daerah yang sudah terlebih dahulu melihat bahwa produksi film sangat penting. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan daerah lain, khususnya Kalimantan?
Dalam dialog yang dihadiri peserta Gelar Budaya Dayak se Kalimantan itu, Jeremias mengatakan hendaknya pemerintah daerah di Kalimantan menyimpan dokumen yang ada dengan rapi dan aman, membuat film profil daerah film dokumenter dan film cerita bioskop yang bermutu dari tanah Kalimantan.
Sehingga ada rekaman sejarah dari waktu ke waktu atas perjalanan kehidupan anak bangsa khususnya dari suku Dayak.
Masyarakat dan pemerintah harus bahu-membahu agar semua dapat terwujud. Sehingga akan semakin banyak film Indonesia yang lahir tidak saja berseting budaya Jawa, Bali, Lombok, Gorontalo, atau pun Papua, tetapi juga Kalimantan khususnya mengangkat budaya Dayak. "Sehingga budaya Dayak juga ikut mewarnai perfilman nasional," katanya.
RIBUAN WARGA TIONGHOA MENGANTAR ROH LELUHUR

Pontianak, 27/8 (ANTARA) - Ribuan warga Tionghoa Kota Pontianak dan sekitarnya, menghadiri pembakaran Wangkang atau perahu pembawa roh leluhur menuju ke langit, dalam peringatan hari "Hantu", tanggal 15 bulan 7 tahun Imlek 2558, di komplek Pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Sungai Raya, Kabupaten Pontianak, Senin.
Wangkang atau perahu kertas berisi sejumlah bahan pokok dan makanan untuk bekal roh leluhur telah disiapkan sejak pagi. Secara bergantian warga Tionghoa mendatangi lokasi pembakaran yang berada di jalan Adisucipto, Kecamatan Sungai Raya itu untuk bersembahyang. Wangkang baru dibakar pukul 17.00 WIB dan disaksikan ribuan orang.
Ketua Yayasan Bhakti Suci, Lindra Lie, mengatakan budaya Tionghoa tersebut sudah berlangsung turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Ia sendiri mengaku tidak tahu persis peristiwa yang melatarbelakangi. "Kami hanya mengikuti tradisi leluhur yang sudah berlangsung ratusan tahun," katanya.
Setiap tahun, panjang wangkang terus bertambah sekitar 5-10 centimeter. Mengingat jumlah roh yang diberangkatkan ke langit telah bertambah. Tahun ini panjang wangkang telah mencapai sekitar 20,80 cm. Sementara biaya pembangunan perahu berbahan kayu, kertas dan sedikit kain itu senilai lebih dari Rp20 juta.
Menurut Lindra, kegiatan itu memberikan kesempatan kepada warga Tionghoa yang tidak mampu menyampaikan doa dan pengharapan agar mendapatkan rezeki lebih baik dari sebelumnya. Sementara sebagian warga lainnya, bersumbangsih menyerahkan sumbangan makanan, bahan pokok dan lain-lain untuk bekal arwah leluhur.
"Kami mengambil sumbangan itu sejak pagi hingga pukul 12.00 WIB tadi. Dari rumah ke rumah, dan masyarakat ikhlas menyumbang apa saja yang mereka miliki," katanya.
Ia mengakui, banyak generasi muda Tionghoa, termasuk ia sendiri hanya meneruskan tradisi leluhur dan tidak begitu paham makna di balik acara tersebut. Namun hikmah yang dapat diambil adalah bagaimana kepedulian setiap warga Tionghoa terhadap kebersamaan dan penghormatan yang besar terhadap leluhur.
Pembakaran wangkang juga merupakan penutup dari ritual sembahyang kubur yang berlangsung sejak tanggal 1 bulan 7 tahun Imlek 2558 lalu. Hari penutup sembahyang kubur, disebut sebagai hari "Hantu". Sementara pada saat sembahyang kubur, banyak warga Tionghoa Kalbar yang merantau ke sejumlah daerah atau negara, akan pulang kampung ke Kalbar untuk mengunjungi kuburan orang tua atau leluhur.
Bukti adanya kepulangan ribuan warga Tionghoa, dapat ditunjukkan dengan tingginya arus penumpang maskapai penerbangan dari bandara Soekarno-Hatta tujuan Pontianak. Harga tiket pesawat menjadi "melambung" dua hingga tiga kali lipat dari harga normalnya. Lindra mengakui, kesempatan ini sama halnya dengan "moment" lebaran umat Islam dan Natal umat Kristiani. Warga Tionghoa akan pulang kampung dan merayakan bersama keluarga. Selain ada perayaan tahun baru Imlek dan Cap Go Meh, yakni hari ke-15 bulan pertama tahun Imlek.
Sebelum wangkang dibakar, sejumlah relawan tampak menurunkan terpal penutup dan merobohkan bangunan kayu yang menjadi tiang penyangga berdirinya perahu. Proses itu berlangsung sekitar 1 jam.
Pembakaran baru dilakukan pukul 17.00 WIB, namun hanya memakan waktu 15 menit. Perahu kertas berisi muatan bahan kebutuhan pokok, makanan siap santap, buah-buahan, dan uang kertas, serta miniatur kertas nakhoda kapal musnah dilahap api.
Tulisan pada spanduk putih yang menyerupai layar perahu, "Sung Hwuan Tek Lie", yang artinya Angin jalan dan selamat, tak luput dari jilatan api tersebut.
Suasana kompleks pemakaman Yayasan Bhakti Suci yang semula sejuk karena tiupan angin dan langit yang mendung, berubah menjadi panas karena kobaran api yang menyambar perahu tersebut. Warga pun mengabadikan "moment" setahun sekali itu dalam bidikan kamera telepon genggam dan kamera saku digital.
Seorang warga Parit Bugis, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Pontianak, Lili, 55, menyatakan telah sejak kecil menyaksikan pembakaran wangkang. Ia menyatakan sejak bayi saat maish di desa Semudun, Kabupaten Pontianak, telah diajak orang tuanya menyaksikan ritual tersebut karena diajarkan untuk menghormati leluhur.
Namun dalam ziarah makam tahun ini, ia tidak ikut serta, karena lokasi kuburan leluhur berada di desa Sumudun, sekitar 60 km dari Kota Pontianak. "Saya tidak punya uang untuk mendatangi kuburan nenek. Tetapi 'mak muda' (bibi-red) saya sudah mengunjungi kuburan nenek," katanya.
Janda berputra empat itu menyatakan tradisi mengunjungi makam leluhur dan menghadiri pembakaran wangkang ia berlakukan pula pada anak-anaknya. Upaya itu supaya lebih mendekatkan anak-anaknya tradisi yang sudah ada sehingga tidak melupakannya. "Ini anak saya umur 13 tahun mesti tahu juga," kata Lili yang lahir dari Menjalin, dan ikut mengungsi ke Pontianak bersama neneknya pada peristiwa PGRS/Paraku 1967 lalu.
(N005/
KALBAR KEHILANGAN 130.398 HEKTAR KAWASAN HUTAN PADA SETIAP TAHUN

Pontianak, 27/6 (ANTARA) - Provinsi Kalimantan Barat mengalami kehilangan kawasan hutan seluas 130.398 hektar per tahun yang salah satu penyebabnya karena aktivitas illegal logging yang tidak terkendali.
Faktor lain yang menjadi penyebab hilangan kawasan hutan Kalbar, karena kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dengan kerugian secara ekonomi lebih dari Rp64 miliar, demikian keterangan tertulis EC-Indonesia FLEGT Support Project, sebuah Program Kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa di bidang Penegakan Hukum Kehutanan, Tata Kelola Pemerintah dan Perdagangan Kayu, yang diterima ANTARA di Pontianak, Rabu.
Kerugian ekologis dari kebakaran hutan nilainya juga sangat besar, yakni mencapai Rp2,5 triliun. Belum lagi akibat dari kegiatan pertambahan illegal yang menurut data Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kalbar pada 1999 tercatat ada 3.573 unit dompeng -- mesin pengeruk pasir untuk mencari emas -- yang beroperasi di sejumlah wilayah di Kalbar.
Namun, praktek pembalakan dan perambahan liar, tetap merupakan penyebab utama yang memberikan kontribusi besar terhadap laju kehilangan hutan di Kalbar hingga saat ini. Praktek itu dijalankan dengan sebuah sistem yang kokoh dan nyaris tidak tersentuh oleh hukum.
Menurut EC-Indonesia FLEGT Support Project, Departemen Kehutanan RI menyebut bahwa illegal logging dilakukan oleh suatu sistem bisnis kegiatan kriminal yang dikelola dengan baik dan memiliki pendukung yang kuat dengan jaringan kerja yang sangat ekstensif, sangat mantap dan kokoh sehingga sulit ditolak, diancam dan sebenarnya secara fisik mengancam otoritas penegakan hukum di Indonesia.
Selain itu, lemahnya sistem pengelolaan dan pemantauan pelestarian hutan serta terbatasnya komunikasi, koordinasi dan partisipasi para pihak dalam melindungi dan melestarikan hutan, juga memberikan andil bagi meningkatnya angkat kerusakan hutan. Kondisi tersebut diperparah dengan lemahnya sistem penegakan hukum terhadap pelaku pembalakan liar, serta rendahnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan praktek-praktek kejahatan kehutanan.
Untuk itu, diperlukan upaya kampanye menyeluruh antipembalakan dan perambahan liar yang melibatkan banyak pihak yang dilakukan secara komprehensif dan strategis.
Berkaitan itu, EC-Indonesia FLEGT Support Project, menyelenggarakan Kuliah Umum Hutan dan Upaya Perlindungan Hutan di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak pada hari ini.
Kuliah umum tersebut akan menampilkan narasumber angota Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Kamar Akademisi dan juga pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Dr Sofyan Warsito dan Sekretaris Eksekutif Seknas FKKM, Ir Muayat Ali Muhshi. Keduanya menyampaikan materi mengenai "Peta Kondisi Hutan Indonesia dari Masa ke Masa: Fungsi dan Kerusakannya", dan "Pengelolaan dan Perlindungan Hutan, Peluang Peran serta Masyarakat dan Perguruan Tinggi".
(N005/

PEMKOT PONTIANAK PERTAHANKAN JEMBATAN KAYU SUNGAI KAPUAS

Pontianak, 3/9 (ANTARA) - Pemerintah Kota Pontianak akan tetap mempertahankan keberadaan jembatan kayu di pinggir sungai Kapuas yang sambung-menyambung antara satu kampung dengan lainnya, yang menjadi jembatan kayu terpanjang di dunia sebagai ciri khas kota tersebut.
"Ada satu ciri khas Kota Pontianak yang mesti dipertahankan, jembatan kayu yang sudah ada sejak dahulu. Ada keinginan warga agar jembatan yang menyisir pinggir sungai Kapuas itu dibangun dari beton. Tetapi kami menginginkan agar ciri khas kayunya tetap dipertahankan," kata Wakil Walikota Pontianak Sutarmidji, saat menjadi pembicara dalam diskusi publik "Kebijakan Pembangunan di Kota Pontianak", Senin.
Jika masyarakat menghendaki pembangunan kembali jembatan itu, ia mengatakan hendaknya ciri khas kayu tetap dipertahankan dan bukan dibangun ulang dari bahan semen atau beton. "Jika untuk tiang mungkin bisa dari bahan beton. Tetapi untuk lantai, tetap dari kayu," jelasnya.
Menurutnya, dalam membangun jembatan, tidak mesti mengikuti keinginan masyarakat yang menyatakan telah bosan dengan jembatan kayu dan menginginkan jembatan beton. Keberadaan jembatan kayu tersebut, menjadi objek atau daya tarik tersendiri bagi kota.
Selain tetap mempertahankan jembatan di sepanjang sungai Kapuas, Wakil Walikota itu juga menyatakan Pemkot Pontianak akan tetap mempertahankan beberapa bangun tua yang masih ada sampai saat ini. Bangunan itu di antaranya kantor Pos (lama) Jl Rahadi Osman yang dibangun masa penjajahan Belanda.
Kemudian bangunan Sekolah Dasar Negeri 14, Jl Tamar yang juga berusia ratusan tahun. Sekolah dasar bergaya Melayu tersebut akan direnovasi namun tetap mempertahankan bentuk bangunan aslinya.
Meski menjadikan Pontianak sebagai kota jasa dan perdagangan, menurut Sutarmidji, pemerintah merencanakan kondisi di Parit Besar dari Jl Tanjungpura - Jl Barito yang merupakan pusat pertokoan tua dapat tetap dipertahankan. "Lokasi itu akan menjadi 'kota tua' dan akan tetap dipertahankan. Kita tidak bisa mengubah kota dalam waktu sekejap," katanya.
Sementara itu, Penulis dan Budayawan, A Halim Ramli menyatakan, Kota Pontianak juga mesti membangun seni publik guna menampilkan "wajah indah" kota tersebut.
Adapun bentuk bangunan baru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri I, di Jl Jenderal Urip Sumohardjo Pontianak yang bergaya kuno dan kini menjadi modern, menurutnya hal itu tidak menjadi masalah. "Bangunan tua SLTPN I memang tidak layak dipertahankan. Ketradisionalannya tidak perlu dipertahankan," katanya. Bentuk bangunan yang ada saat ini sangat menarik dan indah, bahkan seperti sebuah bangunan hotel.
Sedangkan mengenai bangunan penjara, menurut Halim Ramli, sudah saatnya tidak dibangun dengan bentuk yang menunjukkan simbol penjara yang selalu digambarkan menakutkan. "Alangkah baik kalau penjara juga dibangun tidak seperti penjara," kata Halim Ramli yang juga menciptakan maskot Burung Enggang untuk Kalimantan Barat itu.
Diskusi Publik tersebut digelar berkaitan pameran tunggal fotografer Lukas B Wijanarko yang didukung oleh media partner seperti Radio Sonora, LKBN ANTARA, Harian Borneo Tribune, dan Ruai TV. Pameran berlangsung pada 3 September - 4 Oktober, dibuka oleh Anggota DPR RI Akil Mochtar di hotel Gajah Mada Pontianak.
(N005/
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN ANCAM KELESTARIAN SATWA

Pontianak, 29/8 (ANTARA) - Kebakaran hutan dan lahan yang selalu berulang setiap tahun di beberapa wilayah di Indonesia, telah mengancam kelestarian satwa yang hidup di kawasan hutan dan lahan yang terbakar tersebut.
"Kebakaran hutan dan lahan menurunkan populasi binatang seperti mamalia, reptil, dan burung," kata dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat (Kalbar), Effendi Manullang, di Pontianak, Senin.
Berbicara dalam seminar "Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan terhadap Populasi Satwa di Kalimantan Barat", Manullang mengatakan, kebakaran hutan dan lahan telah menimbulkan berbagai dampak negatif, terutama yang berkaitan dengan persoalan lingkungan.
Dampak negatif akibat kebakaran hutan dan lahan, antara lain kerugian ekonomis, kerugian ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati dan estetika, menurunnya populasi satwa, perubahan iklim mikro maupun global, serta terganggunya transportasi baik darat, perairan, maupun udara.
Dampak langsung kebakaran hutan dan lahan terhadap populasi satwa, menyebabkan terjadinya perpindahan satwa ke tempat lain atau mati terbakar, sehingga populasi satwa itu menjadi berkurang, katanya.
Sementara menurut Koordinator Alliance for Kalimantan Rescue (AKAR), Yuyun Kurniawan, sebagai ancaman paling nyata bagi kelangsungan hidupan liar di Kalbar, meliputi fragmentasi kawasan, konversi lahan dan perdagangan satwa secara illegal.
"Ancaman dari kebakaran hutan sejauh ini belum menunjukkan dampak yang signifikan," katanya, Namun ia menambahkan, ancaman itu bisa saja terjadi pada beberapa daerah yang mempunyai kelimpahan jenis satwa yang cukup tinggi dan tersebar di wilayah rawan kebakaran.
Untuk kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalbar, menurut ia, dari pantauan melalui satelit NOAA terjadi pada daerah dataran rendah yang sebagian besar merupakan daerah perladangan dan hutan sekunder muda.
Sehingga jika dilihat dari tipe kawasannya, keragaman jenis satwa pada kawasan itu tergolong rendah.
Menurut ia lagi, sampai saat ini wilayah sangat rawan terjadi kebakaran adalah areal peladangan, dengan dua tipe kawasan yakni bawas dan tembawang. Jika dilihat dari keragaman dan kelimpahan satwa, dampak kebakaran hutan pada areal tipe bawas dapat dikatakan sangat kecil.
Namun untuk areal peladangan yang sudah membentuk tembawang, biasanya pada areal ini sudah cukup lama ditingggalkan dalam periode peladangan dan satwa yang ada di areal itu lebih bervariasi.
Jika kebakaran hutan terjadi para areal konsesi perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI), dampaknya bagi satwa, sangat tergantung dari tipe hutan yang dicadangkan itu. Apabila kawasan itu merupakan hamparan lahan kritis, maka dampak terhadap hidupan satwa tidak jauh berbeda dengan kebakaran yang terjadi pada areal peladangan.
Akan tetapi, menurut ia lagi, dewasa ini sebagian besar kawasan yang dikonsesikan untuk perkebunan dan HTI adalah kawasan hutan bekas penebangan sampai dengan kawasan hutan primer. "Sehingga jelaslah, pembersihan lahan dengan sistem pembakaran akan menimbulkan dampak sangat besar bagi satwa yang hidup di kawasan itu," tandasnya.
Sementara untuk kebakaran hutan di areal hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan lindung, sampai saat ini belum menunjukkan intensitad yang tinggi. Meski diakui, hampir setiap tahun selalu terjadi kebakaran hutan di kawasan lindung atau konservasi yang memiliki tipe kawasan gambut.
Namun begitu, ia menyatakan belum ada catatan pasti mengenai dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap satwa di Kalbar.
Menurut Koordinator Divisi Investigasi Yayasan Titian-Pontianak -- bergerak di isu lingkungan -- itu, permasalahan yang mengemuka saat ini yang terkait dengan penyusutan populasi satwa, baru teridentifikasi sebagai akibat aktifitas penebangan dan perburuan untuk tujuan konsumsi dan perdagangan, dalam keadaan hidup sebagai satwa peliharaan, bahan obat-obatan, souvenir, dll.

Perbuatan manusia
Di lain hal, pembicara dari Untan, Effendi Manullang menambahkan, penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalbar umumnya akibat perbuatan manusia, karena aktifitas membakar lahan yang dipandang sebagai cara paling murah, mudah dan cepat.
Ia menambahkan, pengembangan alternatif lain untuk pembukaan lahan tanpa bakar yang dapat diaplikasikan masyarakat belum dapat dikembangkan. "Karena pembakaran hutan dan lahan dilakukan masyarakat yang masih menggantungkan hidup pada sistem pertanian perladangan berpindah yang sulit ditinggalkan karena merupakan tradisi," katanya.
Pembakaran hutan dan lahan, menurut ia juga dilakukan elah perusahaan, baik perusahaan hutan tanaman, perkebunan, dan lainnya yang masih melaksanakan sistem tebas dan bakar dalam pembersihan lahan, jelasnya.
Sedangkang Bambang Prihanung, dari Dinas Kehutanan Kalbar, mengatakan kebakaran hutan dan lahan menimbulkan kerusakan pada tegakan hutan, lantai hutan, iklim mikro hutan dan lahan yang secara holistik membentuk ekosistem bagi kehidupan satwa baik yang dilindungi maupun tidak.
Panas api kebakaran hutan membunuh serangga dan tumbuhan yang hidup di lantai maupun di lapisan solum tanah hutan. Serangga itu merupakan makanan bagi jenis satwa yang lebih tinggi tingkatannya. "Sehingga kebakatan hutan dan lahan akan memotong siklus kehidupan satwan baik jenis aves, reptil maupun mamalia," katanya.
Rusaknya hutan sebagai akibat kebakaran juga menimbulkan terjadinya pengurangan wilayah jelajah satwa, dan memotong jalur migrasi satwa.
Data Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Japan International Cooperation Agency (JICA) menyebutkan, pada tahun 1997 terjadi bencana nasional kebakaran hutan di 25 provinsi dengan luas hutan yang terbakar mencapai 263.992,00 hektare.