D0250607001129 26-JUN-07 SPK PTN
MENGAMBIL MANFAAT MENABUNG MELALUI CREDIT UNION
Oleh Nurul Hayat
Pilihan menabung dewasa ini semakin banyak, tidak hanya pada lembaga perbankan, tetapi juga dapat dilakukan melalui Credit Union atau lembaga keuangan yang di dalamnya berkumpul orang yang saling percaya dan berwatak sosial, dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama.
Credit Union (CU), diambil dari bahasa Latin "credere" yang artinya percaya dan "union" atau "unus" berarti kumpulan. Sehingga "Credit Union" memiliki makna kumpulan orang yang saling percaya, dalam suatu ikatan pemersatu yang sepakat untuk menabungkan uang mereka sehingga menciptakan modal bersama untuk dipinjamkan kepada anggota dengan tujuan produktif dan kesejahteraan.
Credit Union, menurut Pendiri Credit Union Pancur Kasih, Drs Anselmus Robertus Mecer, 53, pertama kali muncul di Indonesia pada 1960-an yang mulai dikembangkan dari barat.
Seorang pastor Katolik asal Jerman bertugas di Indonesia dan membawa konsep tersebut. Kemudian CU mulai diperkenalkan ke Kalimantan Barat pada 1975.
Melalui gereja Katolik, diadakan pelatihan pembentukan CU sehingga lahir 40 kelompok. Namun pasang dan surut selalu ada. Satu demi satu, CU berguguran lantas hilang. Kemudian pada tahun 1985, dilakukan sosialisasi ulang dan pelatihan. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), salah satunya, Pancur Kasih, mengikuti pelatihan tersebut.
"Saya mewakili Pancur Kasih ikut dalam pelatihan itu," kata AR Mecer saat ditemui beberapa waktu lalu.
Setelah mengikuti pelatihan selama tiga hari, AR Mecer mengaku tertarik, sehingga pada tahun yang sama mulai membangun lembaga keuangan itu bersama sejumlah rekannya.
Maka dibentuklah CU Khatulistiwa Bhakti, sebagai CU pertama di Kalimantan Barat yang berdiri pada 12 Mei 1985. Hingga Maret 2007CU masih punya anggota sebanyak 10.707 orang.
Keberadaan CU, katanya, memiliki manfaat besar bagi masyarakat. Mungkin sebagian orang masih bertanya-tanya, CU tentu saja sama artinya dengan koperasi simpan pinjam atau lembaga keuangan lain. Namun, bagi mereka yang bergelut dalam bidang ini, tentulah menampik dugaan tersebut.
Credit Union, tentu saja beda dengan koperasi atau lembaga perbankan umumnya, demikian pendapat Mariamah Achmad seorang aktivis penggagas pembentukan CU Muare Pesisir yang anggotanya kebanyakan para perempuan pencari nafkah keluarga.
Menurut ia, manfaat CU bagi anggota adalah mengubah pola pikir. Maksudnya, dari yang terbiasa instan -- langsung memanfaatkan uang saat mendapat pinjaman -- menjadi menciptakan modal dahulu dengan menabung secara rutin. Jika telah tercipta modal atau tabungan, baru memanfaatkan atau meminjam. "Inilah yang tidak ditemukan di lembaga keuangan lainnya," katanya, berpromosi.
Selain itu, CU juga dapat mengubah kebiasaan seseorang dari tidak biasa menabung menjadi biasa menabung. Anggota CU selalu mempunyai uang dalam bentuk tabungan yang terus meningkat, dan selalu bisa memanfaatkan tabungan untuk meningkatkan jumlah untuk menciptakan aset.
Ia mengatakan, pada awalnya, sebagian besar anggota CU tidak biasa menabung secara rutin. Tetapi setelah menjadi anggota dan banyak belajar, mereka pun akhirnya menyadari manfaat menabung rutin itu. Apalagi dengan menabung, anggota mendapatkan balas jasa simpanan (BJS).
Jika menjadi anggota CU, seorang anggota mesti menabung untuk meningkatkan modal. "Menabung sistem CU berbeda dengan menabung secara 'tradisional' di lembaga lain, misalnya bank, setelah menabung, uang itu ditarik untuk dipergunakan. Tetapi di CU, lebih modern karena ada dana yang tersimpan," katanya.
Kepercayaan anggota Seiring dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan masyarakat akan keberadaan CU, jumlah lembaga keuangan itu terus bertambah dari tahun ke tahun.
Menurut data Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah Kalimantan (BK3D), saat ini sudah ada 48 credit union yang menjadi anggota organisasi tersebut.
BK3D yang diibaratkan sebagai "Bank Indonesia" credit union tersebut, saat ini sudah memiliki anggota tersebar pada tujuh kabupaten/kota di Kalimantan Barat, ditambah dari Palangka Raya (Kalimantan Tengah), Papua, dan DKI Jakarta.
Kemunculan CU di beberapa tempat tidak terlepas dari kesuksesan yang diraih CU perintisan dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Keberadaan CU perintisan seperti, Khatulistiwa Bhakti, agaknya menjadi pondasi yang kokoh memunculkan CU-CU lain yang juga mengalami perkembangan sangat pesat.
Setelah kemunculan Khatulistiwa Bhakti pada 12 Mei 1985 -- memiliki anggota hingga Maret 2007 berjumlah 10.707 orang -- disusul dengan terbentuknya CU Lantang Tipo yang berdiri tahun 1976 dengan 55.387 anggota, CU Pancur Kasih pada 28 Mei 1987 beranggota 60.786 orang, CU Keling Kumang tahun 1993 beranggota 25.424 orang, CU Stella Maris pada 1995 sebanyak 1800 anggota, dan CU Canaga Antutn pada 1996 beranggotakan 6.744 orang.
"Hingga kini jumlah CU yang tercatat sebagai anggota BK3D (Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah) Kalimantan telah mencapai 48 CU beranggotanya seribu hingga belasan ribu orang," kata AR Mecer, yang menjadi Ketua BK3D Kalimantan sejak 2002.
Hingga Maret lalu, jumlah anggota dari 48 CU yang ada mencapai 334.119 orang, terdiri dari 219.076 anggota laki-laki dan 115.043 anggota perempuan dengan total aset Rp1.628.267.075.968.
Pancur Kasih saat ini merupakan yang terbesar dengan jumlah anggota mencapai 60.786 orang yang terdaftar pada 26 tempat pelayanan (TP) di tujuh kabupaten/kota.
Ketua Dewan Pengurus CU Pancur Kasih, Norberta Yati Lantok, mengatakan, jumlah anggota 60.786 tersebut, termasuk yang tidak aktif sekitar 7,2 persen dengan kriteria belum keluar dari anggota atau tidak menabung.
Jumlah anggota yang terus bertambah tiap tahunnya, tidak terlepas dari upaya pengurus dalam menerapkan prinsip manajemen terbuka, di mana setiap perkembangan selalu ditampilkan per bulan.
Data Pancur Kasih mengungkap sejak Januari-Mei 2007, rata-rata anggota baru pada setiap bulan mencapai 900 orang, terdiri dari berbagai golongan masyarakat. Mereka terdiri dari petani, nelayan, pegawai negeri, pengusaha, hingga dokter.
Menurut Yati, sapaan Ketua Dewan Pengurus Pancur Kasih itu, pada awalnya kelahiran Pancur Kasih adalah untuk melayani masyarakat yang tidak bisa menggunakan jasa lembaga keuangan lain, perbankan sebagai tempat mendapatkan modal pinjaman. Tercatat 99 persen anggota CU adalah lapisan menengah ke bawah.
Namun karena unsur kepercayaan dan kebersamaan yang diutamakan, setiap anggota dapat mengetahui setiap perkembangan yang terjadi di CU, kini anggotanya datang dari banyak lapisan masyarakat.
Melalui papan pengumuman yang terpampang pada setiap tempat pelayanan, anggota mendapatkan informasi bulan per bulan dari kemajuan CU. Setahun sekali rapat anggota tahun (RAT) digelar secara terbuka. Para anggota dapat mengetahui apa saja yang terjadi dan berkembang di CU tersebut.
Karena itu, jika pada Maret lalu nilai aset Pancur Kasih mencapai Rp384.806.345.052, maka pada Juni ini asetnya telah mencapai Rp396.949.030.000. "Kepercayaan menjadi modal untuk berkembangnya sebuah lembaga keuangan yang berorientasi kepada masyarakat," katanya.
Seorang anggota CU, Viktoria, 23, mengaku tertarik bergabung dengan lembaga tersebut karena mengetahui manfaat yang akan diperolehnya.
Alasannya menjadi anggota CU, karena mendengar banyak keuntungan yang akan diperoleh dengan menabung di lembaga keuangan itu. "Saya khawatir gaji sebulan akan habis begitu saja jika tidak ditabung. Melalui CU, saya mempunyai kewajiban menabung setiap bulan," kata alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura Pontianak itu.
Ia mengatakan, ada banyak keuntungan yang akan diperoleh, misalnya saja, jika menabung pada tahun ini sebesar Rp1.000.000, maka dapat dipastikan tabungan sudah berlipat 1,5 kali dari jumlah tersebut pada 2 tahun kemudian.
Anggota tidak begitu saja dapat meminjam uang di CU, karena berkewajiban menabung dahulu dan setelah mempunyai tabungan, baru mendapat pinjaman 250 persen dari tabungan yang ada.
"Kita menjadi terbiasa menabung, akan memperoleh manfaat dari berbagai bentuk balas jasa yang diberikan CU," kata Victoria yang telah menjadi anggota sejak pertengahan tahun 2006.
Ia mengaku kurang tertarik dengan "model" menabung yang diterapkan di lembaga keuangan lainnya, karena tidak memberikan janji lebih seperti yang kini berlaku di setiap credit union. Menabung di lembaga keuangan lain, baginya, masih menerapkan pola lama dengan keuntungan kecil untuk setiap nasabah.
(N005/NH/25/6/2007/
Monday, June 25, 2007
Wednesday, June 13, 2007
13-JUN-07 SPK PTN
KETIKA HARAPAN SEJAHTERA DARI PENGANTIN PESANAN GAGAL DIRAIH
Tak selamanya harapan dan mimpi menjadi pengantin di negeri orang bisa diraih. Ada banyak kasus, mereka pulang dengan kekecewaan setelah menyadari pasangannya tidak sanggup memberikan nafkah lahir batin.
Siang itu, dua remaja terlihat berjalan-jalan di sebuah mall mewah di Kota Pontianak, Kalbar. Kulit mereka putih dan sama-sama berambut sebahu. Sementara di sudut lain, di tempat jajanan terlengkap dalam mall, dua perempuan tampak sedang serius berbicara.
Sekilas tidak ada hubungan di antara keempat orang tersebut. Namun, ternyata tidak begitu, baik dua remaja maupun dua perempuan itu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Mereka adalah korban pengantin pesanan dan aktivis perempuan yang peduli terhadap masalah tersebut.
"Kami membawa mereka berjalan-jalan agar hilang stres sehabis menjalani pemeriksaan polisi," kata salah satunya, Rosita Nengsih, SH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBH PEKA) Kalimantan Barat, Selasa petang.
Ia bersama aktivis perempuan Pontianak, Hairiah SH, saat ini terdaftar sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Kalimantan Barat.
Dua orang lainnya yang dimaksudkan Neneng, sapaan akrab Rosita Nengsih, adalah remaja berusia 17 tahun, yang cukup disebutkan inisial, yakni Al dan Af. Keduanya adalah korban pengantin pesanan tujuan Taiwan.
Siapa sangka, Al dan Af yang sedang berjalan-jalan keliling pertokoan dalam komplek mall itu merupakan korban pengantin pesanan? Apalagi selama ini kasus tersebut tidak pernah mengemuka di publik. Hanya menjadi rahasia umum, bahwa di Kalbar terdapat "budaya" kawin pesanan di komunitas Tionghoa di wilayah utaranya, meliputi Kota Singkawang, Kabupaten Sambas dan Bengkayang.
Al, yang hanya sempat mengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD, masih beruntung bila dibandingkan dengan Af, meski ia sempat bersekolah hingga kelas 3 SMP. Al lebih dahulu menyadari dirinya akan menderita jika tetap memutuskan menerima lamaran seorang warga Taiwan. Ia membatalkan lamaran yang diperantarai (mak coblang) itu saat masih berada di kampung halaman, Kota Singkawang.
Pembatalan lamaran ia lakukan, karena tidak siap menikah di usia muda. Meski sempat dicegah oleh orang tua yang terlanjur percaya dengan janji-janji mak comblang, pembatalan pun akhirnya tetap dilakukan.
Sebelumnya, keluarga Al dijanjikan mendapatkan uang Rp5 juta ditambah sejumlah uang lain untuk biaya pernikahan. Namun, rencana itu batal karena Al tidak bersedia. Keluarganya malah memutuskan melaporkan kasus tersebut ke polisi setempat pada 30 Februari lalu.
Sementara Af, mengaku sempat menetap sebulan di Taiwan. Karena tidak puas dengan kehidupan di negeri orang itu, ia pun meminta pulang. "Tunangan saya menyatakan, kalau tidak mau menikah mesti pilih calon lainnya," kata perempuan putih berambut sebahu itu.
Syukurnya, Af masih bernasib baik. Ia dapat pulang ke Indonesia, meski hanya diantar sampai ke bandara Taipei dan naik pesawat seorang diri menuju Jakarta.
Baru, setibanya di Jakarta, Af dijemput anak calonya dan melanjutkan perjalanan udara menuju Pontianak. Lantas, keluarganya pun memutuskan melaporkan masalah yang dihadapi Af kepada polisi pada 4 Juni lalu.
Saat ini kedua remaja itu menunggu proses hukum lanjut. Mereka didampingi LBH PEKA yang berkantor di Kota Singkawang. Selama menunggu proses hukum berjalan, mereka tinggal di shelter LBH PEKA dan mendapatkan pelatihan menjahit serta salon kecantikan.
Menanggapi adanya korban pengantin pesanan, Neneng, menyatakan kasus itu baru pertama kali mengemuka. Selama ini, meski ada korban, namun belum satu pun yang pernah melaporkan masalah yang mereka hadapi.
Ia mengatakan, selama ini korban pengantin pesanan enggan melaporkan kasus itu karena berbagai alasan. Di antaranya, perasaan malu dan ketidaktahuan terhadap persoalan hukum. Sementara faktor ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya, menjadi alasan masih tingginya jumlah pengantin pesanan asal daerah di utara Kalbar itu.
"Pelaku pengantin pesanan umumnya berasal dari keluarga tidak mampu dan berpendidikan rendah. Mereka melihat ada pengantin yang sukses dan memberikan kekayaan kepada orang tua di kampung dan itulah yang menjadi contoh bagi yang lainnya," kata Neneng.
Namun, tidak selamanya mimpi indah dari perkawinan antarnegara itu berjalan lancar dan membawa kesejahteraan bagi keluarga dari pihak perempuan. Ada banyak kasus, korban menjadi stres dan lantas gila, atau mengalami penganiayaan fisik selama menjadi istri dari warga negara Taiwan.
Ia mengatakan, selama ini korban pengantin pesanan tidak pernah melapor. Baru tahun ini, LBH PEKA mendapatkan dua korban tersebut setelah ada laporan ke polisi.
Meski ditemukan adanya korban, namun tidak sedikit mereka yang menempuh proses itu berhasil dalam hidupnya. Bentuk keberhasilan itu bisa dilihat saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Sejumlah bank di Singkawang, menerima transferan dana dari warganya yang menetap di luar negeri (termasuk Taiwan) mencapai miliaran rupiah.
"Rumah-rumah orang tua yang memiliki anak sukses dari menikah dengan warga Taiwan, terlihat cantik dan dibangun permanen," katanya.
Menurut Neneng, data dari Pemerintah Kabupaten Sambas tahun 2007 menyebutkan sejak tahun 1980 hingga 2007, tercatat ada sekitar 27 ribu warga asal Sambas, Singkawang dan Bengkayang menetap di Taiwan karena perkawinan antarnegara tersebut. Jumlah itu meningkat 3.000 orang bila dibanding tahun 2000.
Kasus pengantin pesanan yang menimpa Al dan Af, sedianya akan diselesaikan melalui jalur hukum.
Saat ini penegak hukum baru dapat memproses pelaku pelanggaran Undang-undang Trafficking No. 21 tahun 2007 dengan ancaman hukuman seberat-beratnya 15 tahun penjara dan denda seberat-beratnya Rp300 juta. Dua pihak yang bisa tersangkut UU itu, calo atau mak comblang dan cangkau (bagian pemalsu dokumen).
Pria tua dan miskin
Aktivis perempuan, Hairiah, SH mengatakan, para pria asing yang mengawini perempuan-perempuan muda dari etnis Tionghoa itu, kebanyakan berusia tua dan hidup miskin di negaranya.
Biaya perkawinan yang mahal di Taiwan, mengakibatkan para "bujang lapuk" mencari jodoh dari negeri seberang, seperti Indonesia. Hanya dengan biaya beberapa puluh juta rupiah, seorang laki-laki Taiwan dapat memperistri perempuan muda dari Indonesia.
Singkawang, Sambas, dan Bengkayang, menjadi pilihan, karena dalam sejarahnya, telah banyak warga setempat yang bersedia menikah dengan warga Taiwan dan menetap di negara tersebut.
Menurut Neneng lagi, tingginya angka pengantin pesanan di Singkawang, karena kota yang dikenal sebagai kota amoy itu sebanyak 62 persen penduduknya warga Tionghoa. "Kebanyakan mereka yang memilih menikah cara itu, berasal dari keluarga miskin yang hidup di pinggiran kota Singkawang," ujarnya.
Sementara menurut Hairiah yang pernah berkunjung ke Taiwan selama dua pekan, laki-laki yang melakukan pernikahan dengan memesan pada mak comblang itu, biasanya berusia di atas 35 tahun. Penampilan fisik mereka tidak menarik. Ada di antaranya selalu mengunyah daun sirih, menandakan usia tua dan masih hidup di lingkungan tradisional. Mereka umumnya berpenghasilan kecil dan bekerja di perusahaan jasa pembersih.
Dari pengakuan Af, calon yang sedianya akan menikah dengan ia, saat diperkenalkan masih berusia 34 tahun. Namun setelah berada di Taiwan, pasangannya itu mengaku berusia 37 tahun. "Kepalanya sudah botak karena rambut yang menipis," katanya.
Af juga menyatakan, mak comblang menyebutkan tunangannya itu memiliki bisnis penjualan hio (stanggi) untuk sembahyang. Namun ketika bertemu di Taiwan, ternyata ia hanya memiliki usaha kecil hasil kerjasama dengan saudaranya.
Karena kenyataan yang tidak sesuai dengan janji itulah yang membuat Af membatalkan niat menikah dengan warga Taiwan.
Menurut Hairiah yang juga anggota Komnas HAM Perwakilan Kalbar, persoalan yang terjadi dalam pengantin pesanan, biasanya terkait dengan pelanggaran hak-hak. Selain janji yang tidak ditepati, pihak perempuan tidak jarang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dari hasil perkawinan itu. Si perempuan yang hidup jauh dari kampung halamannya, menjadi pembantu dalam rumah tangganya, yang di sana juga menetap di keluarga besar suami.
Ia mengatakan, diperlukan upaya sinergis dari pemerintah guna mengatasi permasalahan tersebut. Upaya itu tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah (pusat dan daerah) tetapi juga memerlukan peran serta pihak-pihak yang peduli terhadap permasalahan tersebut.
Upaya nyata yang dapat dilakukan guna menekan angka korban akibat pola pernikahan melalui pesanan itu adalah dengan mengeluarkan peringatan kepada masyarakat mengenai efek negatif dari adanya pernikahan antarnegara model tersebut.
Dampak negatif itu antara lain, baik perempuan maupun keluarganya tidak mengenal secara jelas identitas calon suami anak-anak mereka. Jaminan hidup berupa kekayaan atau harta benda berlimpah masih menimbulkan "tanda tanya besar", karena pada kenyataannya banyak kasus yang terjadi, pasangan suaminya adalah pria tua dan miskin.
"Kalau mendapatkan pasangan yang seperti itu, tentu saja mereka (korban) tidak akan mendapatkan kesejahteraan dalam hidup mereka," jelasnya.
Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Pontianak itu menyambut baik adanya upaya pihak keluarga korban memproses masalah tersebut melalui jalur hukum. "Saya menyambut positif upaya hukum yang mereka tempuh," katanya.
Upaya hukum seperti itu telah sekian lama ditunggu, namun tampaknya proses pembelajaran baru dapat tercapai dalam kurun waktu 27 tahun kemudian. Meskipun demikian, tentu saja belum ada kata terlambat.
KETIKA HARAPAN SEJAHTERA DARI PENGANTIN PESANAN GAGAL DIRAIH
Tak selamanya harapan dan mimpi menjadi pengantin di negeri orang bisa diraih. Ada banyak kasus, mereka pulang dengan kekecewaan setelah menyadari pasangannya tidak sanggup memberikan nafkah lahir batin.
Siang itu, dua remaja terlihat berjalan-jalan di sebuah mall mewah di Kota Pontianak, Kalbar. Kulit mereka putih dan sama-sama berambut sebahu. Sementara di sudut lain, di tempat jajanan terlengkap dalam mall, dua perempuan tampak sedang serius berbicara.
Sekilas tidak ada hubungan di antara keempat orang tersebut. Namun, ternyata tidak begitu, baik dua remaja maupun dua perempuan itu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Mereka adalah korban pengantin pesanan dan aktivis perempuan yang peduli terhadap masalah tersebut.
"Kami membawa mereka berjalan-jalan agar hilang stres sehabis menjalani pemeriksaan polisi," kata salah satunya, Rosita Nengsih, SH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBH PEKA) Kalimantan Barat, Selasa petang.
Ia bersama aktivis perempuan Pontianak, Hairiah SH, saat ini terdaftar sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Kalimantan Barat.
Dua orang lainnya yang dimaksudkan Neneng, sapaan akrab Rosita Nengsih, adalah remaja berusia 17 tahun, yang cukup disebutkan inisial, yakni Al dan Af. Keduanya adalah korban pengantin pesanan tujuan Taiwan.
Siapa sangka, Al dan Af yang sedang berjalan-jalan keliling pertokoan dalam komplek mall itu merupakan korban pengantin pesanan? Apalagi selama ini kasus tersebut tidak pernah mengemuka di publik. Hanya menjadi rahasia umum, bahwa di Kalbar terdapat "budaya" kawin pesanan di komunitas Tionghoa di wilayah utaranya, meliputi Kota Singkawang, Kabupaten Sambas dan Bengkayang.
Al, yang hanya sempat mengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD, masih beruntung bila dibandingkan dengan Af, meski ia sempat bersekolah hingga kelas 3 SMP. Al lebih dahulu menyadari dirinya akan menderita jika tetap memutuskan menerima lamaran seorang warga Taiwan. Ia membatalkan lamaran yang diperantarai (mak coblang) itu saat masih berada di kampung halaman, Kota Singkawang.
Pembatalan lamaran ia lakukan, karena tidak siap menikah di usia muda. Meski sempat dicegah oleh orang tua yang terlanjur percaya dengan janji-janji mak comblang, pembatalan pun akhirnya tetap dilakukan.
Sebelumnya, keluarga Al dijanjikan mendapatkan uang Rp5 juta ditambah sejumlah uang lain untuk biaya pernikahan. Namun, rencana itu batal karena Al tidak bersedia. Keluarganya malah memutuskan melaporkan kasus tersebut ke polisi setempat pada 30 Februari lalu.
Sementara Af, mengaku sempat menetap sebulan di Taiwan. Karena tidak puas dengan kehidupan di negeri orang itu, ia pun meminta pulang. "Tunangan saya menyatakan, kalau tidak mau menikah mesti pilih calon lainnya," kata perempuan putih berambut sebahu itu.
Syukurnya, Af masih bernasib baik. Ia dapat pulang ke Indonesia, meski hanya diantar sampai ke bandara Taipei dan naik pesawat seorang diri menuju Jakarta.
Baru, setibanya di Jakarta, Af dijemput anak calonya dan melanjutkan perjalanan udara menuju Pontianak. Lantas, keluarganya pun memutuskan melaporkan masalah yang dihadapi Af kepada polisi pada 4 Juni lalu.
Saat ini kedua remaja itu menunggu proses hukum lanjut. Mereka didampingi LBH PEKA yang berkantor di Kota Singkawang. Selama menunggu proses hukum berjalan, mereka tinggal di shelter LBH PEKA dan mendapatkan pelatihan menjahit serta salon kecantikan.
Menanggapi adanya korban pengantin pesanan, Neneng, menyatakan kasus itu baru pertama kali mengemuka. Selama ini, meski ada korban, namun belum satu pun yang pernah melaporkan masalah yang mereka hadapi.
Ia mengatakan, selama ini korban pengantin pesanan enggan melaporkan kasus itu karena berbagai alasan. Di antaranya, perasaan malu dan ketidaktahuan terhadap persoalan hukum. Sementara faktor ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya, menjadi alasan masih tingginya jumlah pengantin pesanan asal daerah di utara Kalbar itu.
"Pelaku pengantin pesanan umumnya berasal dari keluarga tidak mampu dan berpendidikan rendah. Mereka melihat ada pengantin yang sukses dan memberikan kekayaan kepada orang tua di kampung dan itulah yang menjadi contoh bagi yang lainnya," kata Neneng.
Namun, tidak selamanya mimpi indah dari perkawinan antarnegara itu berjalan lancar dan membawa kesejahteraan bagi keluarga dari pihak perempuan. Ada banyak kasus, korban menjadi stres dan lantas gila, atau mengalami penganiayaan fisik selama menjadi istri dari warga negara Taiwan.
Ia mengatakan, selama ini korban pengantin pesanan tidak pernah melapor. Baru tahun ini, LBH PEKA mendapatkan dua korban tersebut setelah ada laporan ke polisi.
Meski ditemukan adanya korban, namun tidak sedikit mereka yang menempuh proses itu berhasil dalam hidupnya. Bentuk keberhasilan itu bisa dilihat saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Sejumlah bank di Singkawang, menerima transferan dana dari warganya yang menetap di luar negeri (termasuk Taiwan) mencapai miliaran rupiah.
"Rumah-rumah orang tua yang memiliki anak sukses dari menikah dengan warga Taiwan, terlihat cantik dan dibangun permanen," katanya.
Menurut Neneng, data dari Pemerintah Kabupaten Sambas tahun 2007 menyebutkan sejak tahun 1980 hingga 2007, tercatat ada sekitar 27 ribu warga asal Sambas, Singkawang dan Bengkayang menetap di Taiwan karena perkawinan antarnegara tersebut. Jumlah itu meningkat 3.000 orang bila dibanding tahun 2000.
Kasus pengantin pesanan yang menimpa Al dan Af, sedianya akan diselesaikan melalui jalur hukum.
Saat ini penegak hukum baru dapat memproses pelaku pelanggaran Undang-undang Trafficking No. 21 tahun 2007 dengan ancaman hukuman seberat-beratnya 15 tahun penjara dan denda seberat-beratnya Rp300 juta. Dua pihak yang bisa tersangkut UU itu, calo atau mak comblang dan cangkau (bagian pemalsu dokumen).
Pria tua dan miskin
Aktivis perempuan, Hairiah, SH mengatakan, para pria asing yang mengawini perempuan-perempuan muda dari etnis Tionghoa itu, kebanyakan berusia tua dan hidup miskin di negaranya.
Biaya perkawinan yang mahal di Taiwan, mengakibatkan para "bujang lapuk" mencari jodoh dari negeri seberang, seperti Indonesia. Hanya dengan biaya beberapa puluh juta rupiah, seorang laki-laki Taiwan dapat memperistri perempuan muda dari Indonesia.
Singkawang, Sambas, dan Bengkayang, menjadi pilihan, karena dalam sejarahnya, telah banyak warga setempat yang bersedia menikah dengan warga Taiwan dan menetap di negara tersebut.
Menurut Neneng lagi, tingginya angka pengantin pesanan di Singkawang, karena kota yang dikenal sebagai kota amoy itu sebanyak 62 persen penduduknya warga Tionghoa. "Kebanyakan mereka yang memilih menikah cara itu, berasal dari keluarga miskin yang hidup di pinggiran kota Singkawang," ujarnya.
Sementara menurut Hairiah yang pernah berkunjung ke Taiwan selama dua pekan, laki-laki yang melakukan pernikahan dengan memesan pada mak comblang itu, biasanya berusia di atas 35 tahun. Penampilan fisik mereka tidak menarik. Ada di antaranya selalu mengunyah daun sirih, menandakan usia tua dan masih hidup di lingkungan tradisional. Mereka umumnya berpenghasilan kecil dan bekerja di perusahaan jasa pembersih.
Dari pengakuan Af, calon yang sedianya akan menikah dengan ia, saat diperkenalkan masih berusia 34 tahun. Namun setelah berada di Taiwan, pasangannya itu mengaku berusia 37 tahun. "Kepalanya sudah botak karena rambut yang menipis," katanya.
Af juga menyatakan, mak comblang menyebutkan tunangannya itu memiliki bisnis penjualan hio (stanggi) untuk sembahyang. Namun ketika bertemu di Taiwan, ternyata ia hanya memiliki usaha kecil hasil kerjasama dengan saudaranya.
Karena kenyataan yang tidak sesuai dengan janji itulah yang membuat Af membatalkan niat menikah dengan warga Taiwan.
Menurut Hairiah yang juga anggota Komnas HAM Perwakilan Kalbar, persoalan yang terjadi dalam pengantin pesanan, biasanya terkait dengan pelanggaran hak-hak. Selain janji yang tidak ditepati, pihak perempuan tidak jarang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dari hasil perkawinan itu. Si perempuan yang hidup jauh dari kampung halamannya, menjadi pembantu dalam rumah tangganya, yang di sana juga menetap di keluarga besar suami.
Ia mengatakan, diperlukan upaya sinergis dari pemerintah guna mengatasi permasalahan tersebut. Upaya itu tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah (pusat dan daerah) tetapi juga memerlukan peran serta pihak-pihak yang peduli terhadap permasalahan tersebut.
Upaya nyata yang dapat dilakukan guna menekan angka korban akibat pola pernikahan melalui pesanan itu adalah dengan mengeluarkan peringatan kepada masyarakat mengenai efek negatif dari adanya pernikahan antarnegara model tersebut.
Dampak negatif itu antara lain, baik perempuan maupun keluarganya tidak mengenal secara jelas identitas calon suami anak-anak mereka. Jaminan hidup berupa kekayaan atau harta benda berlimpah masih menimbulkan "tanda tanya besar", karena pada kenyataannya banyak kasus yang terjadi, pasangan suaminya adalah pria tua dan miskin.
"Kalau mendapatkan pasangan yang seperti itu, tentu saja mereka (korban) tidak akan mendapatkan kesejahteraan dalam hidup mereka," jelasnya.
Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Pontianak itu menyambut baik adanya upaya pihak keluarga korban memproses masalah tersebut melalui jalur hukum. "Saya menyambut positif upaya hukum yang mereka tempuh," katanya.
Upaya hukum seperti itu telah sekian lama ditunggu, namun tampaknya proses pembelajaran baru dapat tercapai dalam kurun waktu 27 tahun kemudian. Meskipun demikian, tentu saja belum ada kata terlambat.
Friday, June 8, 2007
Cerita “Cori Nariswari Mernissi”
Cori Nariswari Mernissi, si mungil yang pada Sabtu, 9 Juni, 2007 telah berusia 4 bulan. Sekarang sudah semakin lincah dan aktif. Ia telah pandai tengkurap dan menegakkan kepalanya saat masih 3,5 bulan.
Kebahagiaan mengukir kehidupan ayah ibunya, karena bayi mungil itu kini semakin besar dan cerdas.
Hari ini, usianya 4 bulan. Ia semakin mengerti dengan kasih sayang orang di sekitarnya. Cori selalu berupaya meminta perhatian. Ia tidak betah kalau hanya berada di tempat tidur.
Bangun tidur jam 04.30 WIB, Cori sudah mengajak ibunya bermain-main dan bercanda. Walau pun mulutnya hanya mengeluarkan suara tanpa kalimat-kalimat, tetapi ia berusaha mengungkapkan keinginan hati, bermain dan dipeluk dalam gendongan ibu.
Mata masih berat untuk membuka, tetapi demi Cori, ibu pun tidak bisa menuruti ego-nya. Cori akhirnya didekap dan dirangkul dibawa berjalan-jalan dalam kamar tidur.
Jika sudah lelah menggendong, pinggang ngilu, ibu hendak meletakkan Cori kembali ke tempat tidur. Waduuh.. inilah reaksinya, Cori ngambek, merengek minta gendong lagi dengan menunjukkan bibir yang hendak menangis keras.
Ibu menjadi tidak tega, lantas mengambil kembali Cori untuk didekap dalam pelukan. Dengan wajah riang gembira, Cori menyambut tangan ibunya dengan cara mendongakkan wajah dan kepala ke atas.
Lepas pagi, saat matahari hendak muncul dari peraduan, Cori tidak sabar untuk keluar dari kamar tidur. Ia ingin menyambut ciuman sayang dari nenek dan ayi yang baru selesai shalat subuh.
Kalau begini, ibu menjadi lega. Kewajiban menggendong Cori yang kini beratnya sudah 5,5 kg, beralih ke tangan nenek atau ayi.
Jika jam di dinding telah menunjukkan angka 07.00 WIB, Cori siap sedia dengan acara olahraga pagi bersama ayi. Walau hanya “berjalan” (dalam gendongan) sekitar 300 meter di komplek, ia kelihatan bahagia.
Hanya 15-20 menit, Cori mengantuk lagi… Ayi membawa pulang dan menyerahkan Cori ke tangan nenek atau ibunya. Cori kemudian ditidurkan sesaat dalam box bayi yang telah berusia 38 tahun… (bekas box tante Linda, Om Imam, ibunya, serta tante dan om anak ayi Fendi).
Tidurnya tidak lama, sekitar pukul 08.00 WIB, Cori telah bangun dan siap-siap mandi. Urusan mandi, menjadi tanggung jawab ayah dan ibunya. Cori mandi dalam baskom warna biru. Sabun dan shampoo bayi menjadi teman mandi, biar harum dan segar.
Memandikan Cori tidak lama, karena ayahnya sering kelelahan memegang badan Cori yang tambah berat. “Hukum pertama mandi, paling lama 15 menit,” kata ayah yang selalu mengulang ucapan itu, jika ibu asyik menggosok badan Cori sambil berbicara urusan kantor (ibu lupa sedang mandikan Cori).
Setelah mandi, minyak telon dan caladine cair digosokkan ke badan Cori. Hanya sedikit bedak bayi, pesan ayah, dalam bedak mengandung zat kimia yang bisa menimbulkan iritasi pada paru-paru.
Sejak umur dua bulan, Cori terbiasa menggunakan pampers. Ia yang sering ditinggal ayah ibu bekerja, mau tidak mau harus menggunakan pelindung pipis dan BAB itu agar tidak merepotkan nenek dan ayi yang setia menemani sepanjang siang.
Setelah bertambah cantik (memang Cori cantik, punya hidung mancung dan senyum manis). Ia mulai merengek minta susu. Kalau belum disiapkan, rengekannya tambah keras. Ibu menjadi agak panik melihat reaksi Cori yang kehausan.
Porsi susu botol, 3 sendok susu ditambah air 90 ml. Dalam waktu 15 menit, susu dalam botol habis dihisap Cori. Setelah menyusu, mata Cori menjadi “stun” alias mengantuk kembali. Ia akan tertidur pulas dalam gendongan, sebelum dipindah ke box bayi atau tempat tidur.
Saat Cori bobok, kebiasaan ayah ibunya, bersiap pergi ke kantor. Sejak pukul 09.30 WIB – 19.00 WIB, biasanya Cori hanya ditemani nenek dan ayi. Selama waktu itu, banyak kemajuan dari perkembangan Cori. Selama waktu itu pula, banyak yang tidak bisa disaksikan langsung oleh ayah ibunya.
Tanpa terasa, Cori semakin besar, semakin lincah dan aktif, semakin nakal, dan tentu saja cerdas. Selamat Ulang Bulan Sayangku…***
Cori Nariswari Mernissi, si mungil yang pada Sabtu, 9 Juni, 2007 telah berusia 4 bulan. Sekarang sudah semakin lincah dan aktif. Ia telah pandai tengkurap dan menegakkan kepalanya saat masih 3,5 bulan.
Kebahagiaan mengukir kehidupan ayah ibunya, karena bayi mungil itu kini semakin besar dan cerdas.
Hari ini, usianya 4 bulan. Ia semakin mengerti dengan kasih sayang orang di sekitarnya. Cori selalu berupaya meminta perhatian. Ia tidak betah kalau hanya berada di tempat tidur.
Bangun tidur jam 04.30 WIB, Cori sudah mengajak ibunya bermain-main dan bercanda. Walau pun mulutnya hanya mengeluarkan suara tanpa kalimat-kalimat, tetapi ia berusaha mengungkapkan keinginan hati, bermain dan dipeluk dalam gendongan ibu.
Mata masih berat untuk membuka, tetapi demi Cori, ibu pun tidak bisa menuruti ego-nya. Cori akhirnya didekap dan dirangkul dibawa berjalan-jalan dalam kamar tidur.
Jika sudah lelah menggendong, pinggang ngilu, ibu hendak meletakkan Cori kembali ke tempat tidur. Waduuh.. inilah reaksinya, Cori ngambek, merengek minta gendong lagi dengan menunjukkan bibir yang hendak menangis keras.
Ibu menjadi tidak tega, lantas mengambil kembali Cori untuk didekap dalam pelukan. Dengan wajah riang gembira, Cori menyambut tangan ibunya dengan cara mendongakkan wajah dan kepala ke atas.
Lepas pagi, saat matahari hendak muncul dari peraduan, Cori tidak sabar untuk keluar dari kamar tidur. Ia ingin menyambut ciuman sayang dari nenek dan ayi yang baru selesai shalat subuh.
Kalau begini, ibu menjadi lega. Kewajiban menggendong Cori yang kini beratnya sudah 5,5 kg, beralih ke tangan nenek atau ayi.
Jika jam di dinding telah menunjukkan angka 07.00 WIB, Cori siap sedia dengan acara olahraga pagi bersama ayi. Walau hanya “berjalan” (dalam gendongan) sekitar 300 meter di komplek, ia kelihatan bahagia.
Hanya 15-20 menit, Cori mengantuk lagi… Ayi membawa pulang dan menyerahkan Cori ke tangan nenek atau ibunya. Cori kemudian ditidurkan sesaat dalam box bayi yang telah berusia 38 tahun… (bekas box tante Linda, Om Imam, ibunya, serta tante dan om anak ayi Fendi).
Tidurnya tidak lama, sekitar pukul 08.00 WIB, Cori telah bangun dan siap-siap mandi. Urusan mandi, menjadi tanggung jawab ayah dan ibunya. Cori mandi dalam baskom warna biru. Sabun dan shampoo bayi menjadi teman mandi, biar harum dan segar.
Memandikan Cori tidak lama, karena ayahnya sering kelelahan memegang badan Cori yang tambah berat. “Hukum pertama mandi, paling lama 15 menit,” kata ayah yang selalu mengulang ucapan itu, jika ibu asyik menggosok badan Cori sambil berbicara urusan kantor (ibu lupa sedang mandikan Cori).
Setelah mandi, minyak telon dan caladine cair digosokkan ke badan Cori. Hanya sedikit bedak bayi, pesan ayah, dalam bedak mengandung zat kimia yang bisa menimbulkan iritasi pada paru-paru.
Sejak umur dua bulan, Cori terbiasa menggunakan pampers. Ia yang sering ditinggal ayah ibu bekerja, mau tidak mau harus menggunakan pelindung pipis dan BAB itu agar tidak merepotkan nenek dan ayi yang setia menemani sepanjang siang.
Setelah bertambah cantik (memang Cori cantik, punya hidung mancung dan senyum manis). Ia mulai merengek minta susu. Kalau belum disiapkan, rengekannya tambah keras. Ibu menjadi agak panik melihat reaksi Cori yang kehausan.
Porsi susu botol, 3 sendok susu ditambah air 90 ml. Dalam waktu 15 menit, susu dalam botol habis dihisap Cori. Setelah menyusu, mata Cori menjadi “stun” alias mengantuk kembali. Ia akan tertidur pulas dalam gendongan, sebelum dipindah ke box bayi atau tempat tidur.
Saat Cori bobok, kebiasaan ayah ibunya, bersiap pergi ke kantor. Sejak pukul 09.30 WIB – 19.00 WIB, biasanya Cori hanya ditemani nenek dan ayi. Selama waktu itu, banyak kemajuan dari perkembangan Cori. Selama waktu itu pula, banyak yang tidak bisa disaksikan langsung oleh ayah ibunya.
Tanpa terasa, Cori semakin besar, semakin lincah dan aktif, semakin nakal, dan tentu saja cerdas. Selamat Ulang Bulan Sayangku…***
Subscribe to:
Posts (Atom)