Monday, May 14, 2007

STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN, SUATU KEHARUSAN

"Masyarakat yang cerdas terbentuk dari wartawan yang cerdas, wartawan yang cerdas ada jika standar kompetensi wartawan tercapai," kata Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, dalam diskusi "Standar Kompetensi Wartawan" di Pontianak, awal Mei.

Kecerdasan wartawan dalam mengangkat persoalan atau informasi untuk disiarkan, akan membantu menambah pengetahuan dan wawasan, serta membuka pemahaman pembaca terhadap suatu permasalahan yang sedang terjadi. Wartawan yang cerdas ada karena profesionalisme yang dibangun dengan baik dan ditandai dengan kualitas atau mutu karya yang dihasilkan wartawan tersebut.

Namun, kondisi yang terjadi di Indonesia dewasa ini, kualitas wartawan dipertanyakan. Kualitas wartawan yang diukur melalui "Kompetensi", dewasa ini tampak semakin terpinggirkan, karena turunnya reputasi (nama baik) dan harga diri mereka yang berkecimpung dalam profesi itu. Kondisi ini, memerlukan perhatian serius banyak pihak.

Ada banyak kasus yang mengakibatkan reputasi dan harga diri wartawan rusak. Salah satunya, karena ulah segelintir oknum atau pun pihak yang mengatasnamakan wartawan atau jurnalis. Contoh kasusya, pemerasan dengan korban mulai dari masyarakat biasa hingga pejabat pemerintah. Pelaku pemerasan, mengaku sebagai wartawan, berhasil mendapatkan uang dari korban-korban yang takut kesalahannya terbongkar dan diketahui masyarakat. Reputasi wartawan menjadi rusak. Karena para korban -- tentu saja tetap -- akan menuding wartawan sebagai pelaku pemerasan, tanpa melakukan pengecekan dahulu.

Terkait kasus itu, kompetensi menjadi faktor penting yang harus dicapai seseorang berprofesi wartawan atau jurnalis. Sehingga terdapat pembeda antara wartawan asli dengan wartawan gadungan atau istilah populernya "bodrek". Wartawan yang sesungguhnya (diharapkan) bisa berpikir "seribu kali" jika hendak melakukan aksi serupa. Adanya kompetensi, juga menjadi pembeda dalam persoalan intelektualitas dan kualitas.

Sesungguhnya, apa yang dimaksud dengan kompetensi wartawan?
Tampaknya juga masih perlu penjelasan. Menurut Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Prof DR Moestopo, DR Gati Gayatri, yang dimaksud dengan "Kompetensi Wartawan", kemampuan seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan.

Kompetensi, menurut Dewan Pers dalam buku "Kompetensi Wartawan", Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers, mencakup beberapa aspek. Yakni aspek penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan kesadaran. Ketiga aspek itu, diperlukan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kesadaran mencakup di dalamnya, etika, hukum dan karir.

Sementara Pengetahuan, meliputi pengetahuan umum, pengetahuan khusus dan pengetahuan teori jurnalistik dan komunikasi (sesuai bidang kewartawanan). Sedangkan keterampilan, mencakup penguasaan menulis, wawancara, riset, investigasi, kemampuan penggunaan berbagai peralatan yang terkait dengan pekerjaan wartawan.

Pencapaian kompetensi

Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk pencapaian kompetensi?
Untuk mencapai standar kompetensi bagi wartawan, tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan perusahaan pers. Menurut Leo Batubara, perusahaan pers yang baik harus memenuhi standar profesional, seperti; memiliki kompetensi sebagai pebisnis media, mengoperasikan SDM yang memenuhi standar kompetensi, memiliki atau minimal mampu menyewa peralatan yang diperlukan dan memiliki modal yang cukup.

Kenyataannya, dari 829 perusahaan pers yang ada saat ini, hanya 30 persen saja yang sehat bisnis. Selebihnya tidak sehat secara bisnis. Negara juga punya tanggung jawab untuk standar kompetensi wartawan dengan mendirikan sekolah jurnalistik sebagai wadah pendidikan bagi wartawan, melakukan reformasi politik hukum negara yang mengkriminalisasi pers dan mengubah penyelenggaraan negara yang punya kecenderungan mengekang dan mengontrol pers.

Selain itu, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai standar kompetensi wartawan, seperti melalui pendidikan jurnalistik, pelatihan jurnalistik dan sistem pengembangan karir dimana wartawan memiliki level tertentu, meliputi yunior, madya, dan senior. Penentuan itu berdasarkan kemampuan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki.

Pada umumnya, wartawan yunior, madya, dan senior, bukanlah lulusan dari lembaga pendidikan tinggi khusus bidang tersebut. Hal ini tentu saja memperpanjang proses pencapaian kompetensi, bila dibandingkan mereka yang memang lulusan pendidikan (S1) jurnalistik, komunikasi atau publisistik. Masalah tersebut, meski masih dapat diatasi dengan adanya pelatihan jurnalistik yang disediakan oleh sejumlah lembaga pendidikan atau pun pengelola media massa, namun hal itu masih amat jarang ada.

Kebanyakan perusahaan media, langsung melepas wartawan muda/yunior untuk terjun ke lapangan, tanpa terlebihdahulu dibekali pemahaman ilmu dan pengetahuan bidang jurnalistik atau kewartawanan. Sehingga ketika menulis berita, ditemukan banyak kesalahan dan kekuranglengkapan informasi yang hendak disampaikan kepada publik.

Pendidikan dan pelatihan menjadi penting, sehingga karir jurnalistik bisa berkembang. Pendidikan dan pelatihan, menjadi syarat bagi seorang jurnalis jika ingin berkembang dan profesional dalam menjalankan pekerjaan. Seorang wartawan yang menjalankan tugas jurnalistik dengan profesional, akan dihargai di muka publik.

Pada akhirnya, seorang wartawan atau jurnalis, harus punya kemampuan dan kompetensi di dalam menjalankan profesinya. Tanpa itu semua, mustahil kemajuan di bidang jurnalistik bisa dicapai.

Saturday, May 12, 2007

Gank Jomblo

Berawal dari persamaan nasib. Kebutuhan kerja dan semangat berbagi. Mungkin itulah yang membuat kami berkumpul dalam satu ikatan. Satu tongkrongan yang biasa kami sebut Gank Jomblo. Jomblo dalam bahasa gaulnya berarti orang yang belum punya pacar atau pasangan.

Gank Jomblo terdiri dari para wartawati di Kota Pontianak. Mereka adalah Levy, Yanti, dan Evy Tanderi –Vhe (Pontianak Post), Sapariah –Ari (Equator), Ansela Sarating atau Xela (Radio Volare), Kristin Boekit (TVRI), Eva (Radio Sonora), dan saya sendiri, Nurul Hayat atau Uun (LKBN ANTARA). Namun anggota gank sesungguhnya tidak mereka saja. Terkadang ada juga Helen (mantan reporter Sonora). Ia sesekali saja bergabung dengan kami, karena sibuk mengurus bisnis baru di bidang pendidikan sebagai guru privat.

Nama Gank Jomblo berawal dari pikiran Ansela Sarating, (kami biasa memanggilnya Xela). Menurutnya, kalau kami kumpul selalu ramai. Bicara mengenai liputan seperti, ekonomi, politik, hukum dan kriminal, merupakan menu sehari-hari. Tak ketinggalan dan ini juga menjadi menu pokok para perempuan, gosip dan penampilan.

Gank Jomblo menurut Ansela Sarating memiliki “induk”, Bapak LH Kadir yang juga jomblo. Ansela juga menambah nama gank menjadi “Jomblo Ijolumut (hijau dan imut-imut, gitu lho..).

Tak ada yang tahu pasti, kapan munculnya Gank Jomblo. Kami tak ada yang mencatatnya dalam agenda pribadi. Nama itu tiba-tiba muncul. Semua berawal dari ledekan sesama wartawan perempuan di Pontianak. Kebetulan dari kami, banyak yang belum punya pacar atau menikah. Tak heran bila salah seorang teman, Sahat Oloan Saragih, wartawan Suara Pembaruan di Kalbar, menjanjikan pada kami.

“Jika salah satu dari kalian bisa menikah tahun 2003, saya akan menyiapkan undangan pestanya,” kata Sahat. Kenyataannya, tidak ada satu pun dari kami menikah pada tahun 2003. Jadi sayembara itu tentu saja tak ada pemenangnya. Hehe…..resek banget, Sahat.

Ada yang khas dari Gank Jomblo. Kami selalu ber-SMS untuk ketemu makan siang.
“Kumpul di Tjutjuk jam 12.00, teng ya…”
“Otre, menyusul….”
“Lagi di mana nich? Kok belum muncul?”
“On the way, sebentar lagi sampai…”

Begitulah kira-kira bunyi SMS kami. Kenyataannya pertemuan itu selalu ngaret. Dan ini seolah sudah menjadi tradisi. Tak heran bila kedelapan anggota gank tak bisa lengkap untuk kumpul. Biasanya yang paling sering telat adalah Ari. Dan dia juga yang kemudian memopulerkan istilah “on the way” di komunitas gank.

Alasan untuk keterlambatannya sederhana saja. “Mandi atau salat dulu, baru keluar rumah,” kata Ari. Alasan itu selalu menjadi kata kunci. Akhirnya kami pun terbiasa dengan alasannya dan tak begitu mempermasalahkan. Ari memang menjadi redaktur di harian Equator. Ia biasa pulang tengah malam bahkan hingga dinihari. Tak heran bila tidurnya pun sampai siang. Padahal dia tidak ada kerjaan di rumah. Mencuci pakaian, masak dan membereskan rumah, sudah ada yang mengerjakan. Ya itu….mamaknya sendiri.

Berbeda dengan Ari, kami selalu berangkat pagi hari untuk liputan. Entah itu di kantor gubernur, gedung DPRD, atau mengikuti seminar di hotel. Mengikuti seminar berarti makan gratis. Asyik kan. Jika sudah jam makan siang dan tidak ada undangan makan gratis, kami pun dengan cepat berangkat menuju kantin Bu Tjutjuk (baca; Jujuk), di jalan Halmahera.

Kantin itu tempat berkumpulnya banyak orang. Ada yang datang untuk makan siang. Sekedar ngopi sambil main catur. Dan ada juga yang hanya minum sambil cuci mata. Penampilan pengunjung kantin beragam. Ada yang hanya bersandal jepit, tetapi banyak juga yang tampil modis dengan mack up tebal dan berdasi.

Bagi saya pribadi, nongkrong di kantin Bu Tjutjuk bukan hal baru. Kebetulan saya tamatan SMA I, dan bersebelahan dengan kantin. Situasi nongkrong semasa sekolah dan kerja tentu beda. Bila semasa sekolah harus bolos atau sehabis olah raga, baru bisa nongkrong. Saat kerja nongkrong di kantin Bu Tjutjuk berarti cuci mata dan tukar informasi liputan.

Kalau lagi kumpul dan bicara masalah liputan ekonomi, Ari ibarat Sri Mulyani (Menteri Keuangan Kabinet SBY), Kristin seperti Miranda Gultom, dan Xela menjadi Mary Elka Pengestu. Kalau membahas masalah ekonomi, Ari dan Kristin jadi orang paling ramai. Saling debat tanpa peduli kiri dan kanan. Sedang yang lainnya, sesekali menimpali dengan canda.

Paling seru kalau bicara gosip. Apalagi kalau yang ikut kumpul Yanti dan Kristin. Mereka seperti anjing dan kucing. Selalu saling ledek. Suasana kantin rasanya tambah hangat saja. Kalau bicara gosip macam-macam. Sesama anggota gank juga jadi bahan gosip. Misalnya hari itu tak ada Kristin, maka kami menggosipkan dia. Begitu juga dengan yang lain. Orang yang tak hadir hari itu, akan menjadi bahan gosip terhangat.

Selain suka kumpul, Gank Jomblo juga sering liputan bareng ke luar kota. Suatu saat kami liputan soal TKI di Kuching, Sarawak. Nah, yang berangkat personelnya ganti lagi. Selain ada Ari, Xela, Helen, saya, juga ada Eka Sugiatmi (Pontianak Post). Eka saat ini pindah ke Yogyakarta.

Lucunya saat liputan ini, kami menginap di hotel murah. Tetapi bayarnya mesti patungan berlima untuk satu kamar. Kamarnya berada di lantai empat. Untuk sampai ke kamar, harus naik anak tangga terjal. Kalau habis liputan atau belanja di India Street, salah satu dari kami menentang bungkusan belanja yang besar-besar.

Ada dua orang punya kegemaran belanja. Siapa lagi kalau bukan Ari dan Eka. Kami saling tahu, Ari selalu membawa oleh-oleh buat keluarga atau temannya. Kemanapun liputan atau untuk suatu urusan. Dia selalu membungkus oleh-oleh itu dalam plastik besar. Biasa disebut plastik kresek. Terkadang ia kerepotan membawanya. Tetapi, Ari tidak pernah merepotkan temannya. Dia selalu membawa bungkusan belanjaannya sendiri. Ari tak pernah minta bantuan kami.

Pulang belanja sambil membawa plastik hitam, tentu saja mengundang perhatian banyak orang. Pernah sekali waktu, ketika hendak menyeberang jalan di Kuching, Malaysia, seorang pengemudi mobil pick up membunyikan klakson menyapa kami.

“Wah, kita dikira TKI gara-gara bawa bungkusan plastik,” kata Helen.

Di Gank Jomblo, Ari dikenal “pemabuk”. Sama seperti Xela. Kalau pergi naik mobil selalu pusing-pusing dan ingin muntah. Kami sering mencandainya, “Wah tidak punya bakat jadi orang kaya.” Dengan kepindahannya ke Jakarta, kami tentu tidak bisa memastikan, apakah kebiasaan mabuknya masih berlangsung. Kalau masih, wah, kasihan sekali Ari. Tak bisa menikmati naik angkot, karena khawatir mabuk lagi… Ah, mabuk lagi… Kacian deh.

Di Gank Jomblo, Ari dan Levy paling kompak. Kalau boncengan motor saat meliput, sepanjang jalan selalu bernyanyi. Lagunya macam-macam. Tentu saja yang berbau pop anak muda.

Ari sering membujuk Levy, kalau sedang merajuk. Levy gampang menangis, walaupun badannya paling besar di gank. Sementara Ari, dikenal paling kuat. Saat ayahnya meninggal, ia kuat dan tidak menangis.

Selain gemar menyanyi saat naik motor, mereka juga mahir ber-sms-an. Tanpa peduli lalu lintas dan kendaraan di sekitarnya. Tangan kanan memegang gas, tangan kiri memegang telepon genggam membalas sms narasumber.

Wah kalau soal sms sambil jalan pakai motor, Ari memang ahlinya. Saya mengakui hal itu. Pokoknya di Gank Jomblo, Ari jadi maskot. Banyak cerita lucu ketika bersamanya. Tapi Gank Jomblo ada pasang surutnya. Sejak kepindahan Xela ke Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, karena diterima menjadi PNS, disusul Ari pindah kerja ke Jakarta, dan Vhe lulus test PNS Pemda Kalbar. Jumlah anggota gank pun semakin berkurang.

Satu persatu anggota gank memiliki pasangan hidup. Diawali pernikahan Vhe, lalu saya. Dalam waktu dekat, Ari dan Yanti juga menyusul. Kami pernah membuat foto bersama di studio. Mungkin hal itulah yang menjadi bukti, bahwa Gank Jomblo dengan delapan personilnya, pernah kumpul bareng.

Ketika melihat foto itu, pikiran saya pun menerawang. Ada rasa suka, duka, haru, dan semua perasaan itu bercampur aduk. Foto itu menyisakan pertanyaan. Bagaimana kabarmu sobat?

KEBANGGAAN PEMBUAT SAMPAN LOMBA

“Ban-ban go, ban-ban go, ayo dayung menuju finish,” begitulah teriakan nyaring yang terdengar saat perahu berwarna merah muda meluncur di sungai Landak, Kabupaten Landak.
Di atas perahu atau sampan, duduk 8 orang yang terdiri dari 2 manajer dan 6 pendayung yang berusaha keras mencapai finish guna meraih kemenangan, dalam lomba sampan perayaan Festival Budaya Melayu Landak.
Keringat membasahi kaos dalam putih yang dikenakan para pedayung dari Serimbu, Kecamatan Air Besar, yang untuk pertama kalinya ikut meramaikan pesta budaya masyarakat Melayu di kabupaten 178 km dari utara Kota Pontianak itu.
Tepuk tangan, sorak sorai mewarnai lomba sampan yang diikuti 26 regu dari seluruh kota kecamatan di Landak. Satu demi satu, regu dayung tersisih ke belakang, terkalahkan oleh tim yang lebih kuat.
Namun tim dari Serimbu, bertahan pada posisi pertama, dengan hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek sederhana, mereka tetap bersemangat berusaha berada di tempat terdepan.
Di antara sorak sorai para pendukung tim dayung itu, terukir senyuman seorang laki-laki berkulit coklat gelap. Laki-laki itu bernama Herman Suhandri, berusia 28 tahun dan dikenal sebagai pembuat sampan.
Putra Melayu desa Serimbu, Kecamatan Air Besar itu tampak tersenyum ceria tatkala menyadari tim desanya berada di urut depan peserta lomba, yang artinya mengalahkan tim dari kecamatan lain.
Ketika ditemui, pria berbadan kurus itu masih mengukir senyum, menandakan kebanggaan dan keberhasilan sebagai pembuat sampan lomba.
“Saya membuat sampan itu selama seminggu. Senang ketika melihat teman-teman membawanya menuju ke finish,” kata pria itu.
Herman baru sekitar 2 tahun ini membuat sampan. Setelah menyaksikan ayahnya, Abdul Liman, 52, menghidupi keluarga selama belasan tahun dari usaha membuat “kendaraan” terapung tanpa mesin itu.
Karena ketertarikan dengan pekerjaan orang tuanya, mendorong Herman untuk belajar membuat sampan. Setelah dua tahun berguru pada sang ayah, jadilah dua sampan untuk perlombaan mendayung yang digunakan tim dari desanya mengikuti lomba dalam Festival Budaya Melayu Landak.
Tanpa sungkan, Herman memuji hasil karyanya itu.
“Selain teman-teman, peserta lomba dari kecamatan lain juga sudah mencoba sampan bikinan saya. Mereka juga menyatakan bagus dan enak dipakai,” katanya.



Kayu medang
Perahu buatan Herman, berasal dari kayu hutan. Bukan sembarang kayu yang dapat digunakan. Tetapi kayu itu, bernama Medang. Kayu itu ia peroleh dengan membeli dari masyarakat penebang hutan. Kayu yang dipilih, tentu saja kayu yang berasal dari batang tua berumur belasan atau bahkan puluhan tahun.
Kayu itu, biasanya berdiameter 50 cm atau lebih. Keunggulan kayu Medang atau batang Medang Ijuk di banding jenis kayu hutan lainnya, karena tahan lama atau awet, ringan, bagus dan kuat.
Kayu baru dapat digunakan setelah seminggu diambil dari hutan, selama waktu itu, kayu juga mesti dikeringkan sekitar tiga hari. Karena kayu harus benar-benar mati dengan kadar air yang sedikit.
Ada juga jenis kayu Leban, namun sampan yang dihasilkan dari bahan kayu ini tidak sebagus sampan dari bahan kayu Medang.
Untuk membuat sampan, yang mesti dilakukan pertama kali adalah membuat bentuk atau model sampan tersebut. Jika modelnya bagus, maka sampan yang dihasilkan pun akan bagus.
Agar sampan itu menjadi bagus, papan sambungan bingkai dan badan dipaku dengan paku dan bagian kepalanya dimasukan ke dalam papan dan dipantak. Badan perahu setengah jadi itu dibentuk dengan bantuan tali. Sehingga ketika dibuka, menghasilkan bentuk yang diinginkan, yakni bentuk bergelombang.
Dalam pembuatan sampan, bagian yang tersulit adalah saat membuat tajuk atau tulang rusuk. Perlu ketekunan untuk mengerjakan bagian tersulit dari proses pembuatan perahu itu.
Tingkat kesulitan tertinggi yang ia alami, adalah ketika menyiapkan tajuk atau tulang rusuk sampan tersebut. Karena perakit sampan harus terampil menyusun sambungan kayu untuk tajuk. Setelah itu, kemampuan pembuatan sampan masih diuji lagi saat menyambung antara rusuk dengan bingkai. Bagian itu mesti dibuat kreasi yang indah dan bagus.
Setelah menyambung satu kayu dengan kayu lainnya, dan dipaku dengan cukup kuat. Setiap bagian sambungan papan mesti diberi lem. Bahan perekat ini pun tidak bisa sembarangan. Herman mesti menggunakan perekat dari bahan damar yang juga diperoleh dari alam.
Lem dari bahan damar itu disebut keruing. Cara pembuatannya, damar terlebih dahulu mesti ditumbuk, dihaluskan menjadi seperti tepung yang menghasilkan getah. Getah itu dicampur minyak solar dan air panas, dijemur di bawah panas matahari.
“Setelah itu baru lem dapat digunakan,” jelasnya.
Setelah sampan jadi, maka dilakukan ujicoba atau tes apakah bocor atau tidak. Untuk mengetahui kemungkinan bocor, sampan dibawa ke sungai di desa tersebut. Baru jika tidak ada genangan air di dalam perahu, maka selesailah pembuatan sampan untuk lomba itu.
Perahu dapat bertahan dua tahun sampai dengan tiga tahun. Perahu bikinan Herman, yang memiliki panjang 8 meter lebar 90 centimeter dan ketinggian dari tanah skeitar 70 centimeter, dijual dengan harga Rp3 juta.

Ritual jelang lomba
Bagi masyarakat Serimbu, tradisi menggunakan sampan sudah berlangsung sejak lama dan “menular” dari satu generasi ke generasi lain. Di desa perhuluan sungai Landak itu, masyarakat Melayu-nya terbiasa hidup dengan air sungai. Hampir semua aktivitas hidup sehari-hari yang terkait dengan air, berlangsung di sungai kampung tersebut.
Jalan sungai menuju ke permukiman penduduk setempat pun mesti melewati rentetan jeram yang sambung menyambung. Jika air sungai Landak surut, dapat disaksikan rangkaian jeram atau riam berjeret seperti hendak “menelan” mereka yang mencoba menantang alam.
Seorang pemuda setempat, Mustari, 41, menyatakan, selain melewati rangkaian riam di sungai Landak, untuk dapat sampai ke kampung penghasil intan itu, melalui jalan darat yang saat ini dalam kondisi rusak berat.
“Jalan berlubang-lubang. Jika hujan, timbul genangan di banyak tempat di jalan Ngabang-Serimbu,” kata Wakil Ketua Kontingen Kecamatan Air Besar itu.
Jarak dari Ngabang menuju Serimbu yang sejauh 178 km, mesti ditempuh melalui perjalanan darat selama 4-5 jam.
Lamanya waktu tempuh itu karena kondisi jalan yang rusak parah. Sehingga mobil angkutan umum, jenis “pick up” harus menerjang genangan air lumpur yang memenuhi ruas jalan menuju ke desa tersebut.
Meski begitu, tidak membuat semangat tim lomba sampan Serimbu “patah arang”.
Namun justru membuat sebanyak 20 orang pedayung setempat berjuang melawan tantangan awal sebelum tantangan dalam perlombaan berlangsung.
Baik Mustari maupun Herman mengatakan, untuk persiapan lomba, warga kampungnya menyiapkan ritual khusus agar tim lomba dari desa itu memiliki semangat juang dan terhindar dari “balak” (musibah).
Penduduk kampung, menurut Herman, menyiapkan acara pengungkupan atau pembacaan doa selamat. Sebagai syarat untuk ritual itu, maka diperlukan seekor ayam dan nasi kuning yang kemudian dibacakan doa selamat oleh tetua (orang yang dianggap tua) setempat.
Namun ritual itu, ternyata tidak diterapkan saat pembuatan sampan. “Tidak ada doa khusus saat membuat sampan. Hanya doa biasa yang dilakukan ayah saya,” imbuhnya.
Perbedaan antara sampan lomba dengan sampan biasa, adalah dari bentuk dan ukuran. Sampan biasa, memiliki panjang 6 meter dan memiliki lebar lebih besar dari sampan lomba, yakni mencapai 1 meter.
Sedangkan sampan untuk lomba, biasanya memiliki panjang standar 8 meter atau 12 meter dengan lebar 90 centimeter.
Khusus sampan buatan Herman, memiliki panjang 8 meter. Dengan dayung sepanjang 1,60 meter dan lebar 80 centimeter. Ukuran itu merupakan ukuran ideal karena sampan menjadi mudah untuk difungsikan daripada sampan dengan panjang 12 meter.
Sampan dengan panjang 12 meter, sulit dikemudikan. Kalau pendek, mudah didayung, laju, dan terasa enak menaikinya.
Kebanggaan terhadap sampan buatannya, tidak terlepas dari pujian yang disampaikan teman-temannya bahkan tim dari kecamatan lain. “Sampan saya sudah dicoba oleh tim kecamatan lain. Mereka memuji karena sampan tidak gampang ‘oleng’ saat ada gelombang,” katanya.
Herman tidak memiliki cita-cita muluk, tetapi sebagai pembuat sampan, ia merasa bangga dapat membaktikan diri bagi kampung halaman tercinta.
“Bangga, sangat bangga ketika melihat sampan buatan saya ikut dalam lomba dan berhasil tiba di finish mendahului peserta lain,” kata pria berkulit legam itu.








Thursday, May 10, 2007

APAKAH INDONESIA TELAH GAGAL MENGATASI KABUT ASAP?

Langit biru..., tentu menjadi suatu pemandangan yang indah untuk diabadikan melalui jenis kamera manapun, namun beberapa pekan terakhir, jangan berharap kondisi langit biru dapat dijumpai di Kalimantan dan Sumatera.
Jangankan hendak melihat langit biru, matahari yang bersinar cerah dengan kilau kuningnya pun, sungguh amat jarang bisa dijumpai saat kemarau dan kabut asap melanda sebagian besar wilayah di pulau Kalimantan dan Sumatera saat ini.

Karena setiap siang hingga petang, menjelang terbenam, sang surya itu hanya menampilkan "wajah barunya" yang berwarna merah kelam. Kabut asap telah menjadikan warna sang surya tak lagi indah.
Selain itu, kabut asap juga menjadi topik peliputan berita sehari-hari yang menjadi "angle" di media massa saat kemarau tiba.
Hampir setiap tahun sejak 1997, kabut asap menghias langit di provinsi-provinsi yang ada di Kalimantan dan Sumatera. Selain menghias langit, kabut asap juga menghiasi pemberitaan di media massa daerah maupun nasional.
"Entah awalnya dari mana?" Namun sejak 1997 lalu, kabut asap tebal selalu berulang dan berulang lagi setiap tahunnya hingga 2006 ini.
Sejalan dengan kemunculan kabut asap itu, negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, menyampaikan komplain/protes terhadap pemerintah Indonesia yang dinilai tidak serius mengatasi kabut pembawa penyakit itu, karena "mau tak mau" penduduk kedua negara tersebut juga telah menghirup kabut tersebut.
Setelah berusaha mengingatkan aparatur pemerintah dari mulai menteri hingga gubernur, bupati dan walikota pada awal tahun, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga tetap harus menerima protes dari negara-negara tetangga tersebut.
Peringatan keras agar tidak ada lagi kabut asap sudah disampaikan oleh Presiden SBY pada April lalu. Isinya tentu saja agar aparatur pemerintah mewaspadai ancaman alam itu. Agar jangan ada lagi Indonesia mendapat tudingan sebagai negara pengeskpor asap bagi negara tetangga.
Namun pada kenyataannya musibah itu tetap terjadi sejak Juli hingga menjelang akhir Oktober ini. Kabut yang semula tipis, seiring semakin lamanya masa musim kemarau, kondisinya semakin tebal dan memperburuk udara.
Apakah Pemerintah telah gagal mengatasi kabut asap? Agaknya pertanyaan itu wajar untuk disampaikan, mengingat hingga kini pun kabut asap masih menyelimuti sebagian kota-kota di Kalimantan dan Sumatera.
Memang hendaknya dalam persoalan kabut asap saat ini, saling menyalahkan agaknya tidak laik lagi menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Karena jika pun masyarakat hendak dipersalahkan sebagai pemicu munculnya kabut asap karena kegiatan pembukaan lahan/hutan, "land clearing", dll, tentu saja mereka akan mengajukan protes kepada pemerintah.
Karena hingga kini belum ada solusi paling tepat yang bisa dilaksanakan masyarakat pertanian Indonesia untuk menghentikan pembersihan, pembukaan lahan/hutan yang ekonomis selain melalui cara pembakaran.
Selain memang tidak bisa menyalahkan masyarakat, kondisi alam juga sangat menentukan sebagai pemicu munculnya kabut asap tersebut.
Kawasan hutan bergambut yang rentan terhadap panas matahari tinggi, menjadikan gambut gampang terbakar dan menimbulkan kabut asap tebal.
Berbagai upaya tampaknya sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, utamanya di Kalimantan Barat, sebagai salah satu provinsi yang dianggap pensuplai kabut asap.
Menyusul perintah Presiden SBY agar Indonesia menghentikan ekspor asap, dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kalbar pun mengundang 85 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan kehutanan pada 22 Mei lalu guna menandatangani deklarasi Pernyataan Penghentian Pembakaran Hutan dan Lahan di daerah itu.
Upaya sosialisasi agar masyarakat mengurangi atau bahkan menghentikan kegiatan pembukaan lahan dengan cara bakar juga telah dilakukan. Bukan hanya pada tahun ini saja tetapi sesungguhnya telah berjalan sepanjang tahun sejak kemunculan pertamannya pada 1997.
Yang cukup menggembirakan, adanya perkembangan terbaru pada 2006 ini, karena dari Kepolisian Daerah Kalbar sudah menahan dan memproses sejumlah orang dan perusahaan yang diduga kuat melakukan atau menjadi penyumbang munculnya kabut asap di Kalbar.
Jika setahun lalu juga pernah ada perusahaan yang disidik karena tersangkut kegiatan pembakaran lahan -- namun tampaknya "diputihkan" -- kali ini kita agaknya bisa berharap lebih banyak bahwa semoga saja mereka yang telah dinyatakan sebagai tersangka itu dapat diproses sesuai ketentuan hukum yang ada.

Penegakan hukum
Jika pada akhirnya Pemerintah harus mengakui telah gagal mengatasi kabut asap, namun kini sejumlah upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembakar lahan/hutan yang membuat malu wajah Indonesia, sedang giat-giatnya dilaksanakan sejumlah daerah.
Misalnya saja yang dilakukan Kalbar. Beberapa pemilik/pengelola perusahaan kini sedang dimintai keterangan oleh kepolisian daerah, baik sebagai saksi maupun tersangka dalam kasus pembakaran lahan.
Kepala Bapedal Kalbar, Ir Tri Budiarto mengatakan, sudah ada tujuh kasus melibatkan perusahaan pembakar lahan yang menjalani proses pemeriksaan di Polda Kalbar.
Selain itu, tim penyidik Polda yang bekerjasama dengan Bapedal telah menahan Direktur PT MAR yang beroperasi di Kabupaten Pontianak.
Kedua institusi tersebut Juga tengah menyelidikan tiga perusahaan, yakni PT MSIP, PT W, dan PT BC melalui uji laboratorium di Institut Pertanian Bogor (IPB) guna mengetahui sejauh mana keterlibatan tiga perusahaan itu dalam kegiatan "land clearing" dengan cara bakar.
Masih ada 3 perusahaan lainnya, PT PML, PT CP dan PT MSP yang juga sedang menjalani uji laboratorium. Kemudian dua perusahaan, masing-masing PT INA di Kabupaten Melawi dan PT ANI di Kabupaten Landak.
Sementara sebelumnya, Kepala Bidang Humas Polda Kalbar, Ajun Komisaris Besar Polisi Suhadi SW menyatakan selain memeriksa perusahaan, dua warga yang diduga melakukan kegiatan pembakaran lahan juga menjalani pemeriksaan.
Meski perlahan, namun upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan agaknya semakin serius dilaksanakan.
Bahkan menurut Kepala Bapedal Kalbar, selain Riau, Kalbar juga menjadi provinsi percontohan penegakan hukum lingkungan hidup nasional. Pemerintah menetapkan kedua provinsi itu sebagai "pilot project" mengingat banyaknya kasus lingkungan hidup yang mengemuka di kedua provinsi tersebut.
Dari Bapedal Kalbar menyertakan lima penyidik pegawai negeri sipil (PPNS-nya) untuk bekerjasama dengan penyidik Polda mengungkap kasus pembakaran lahan/hutan.
Agaknya inilah saatnya masyarakat bisa berharap banyak terhadap penanggulangan musibah kabut asap. Sehingga di tahun yang akan datang, musibah yang selalu berulang sejak 1997 itu dapat teratasi.
Untuk sebagian besar penduduk di Kalimantan dan Sumatera, pengalaman menghirup udara berkabut asap tebal memang sudah biasa terjadi sepanjang tahunnya. Namun mereka juga harus bersiap menghadapi kenyataan di kemudian harinya, terhadap efek kabut asap yang timbul itu, sebagai pemicu munculnya penyakit seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan tentu saja Asma.


Wednesday, May 9, 2007

GAWAI, UPAYA MENELUSURI JEJAK BUDAYA DAYAK KALBAR

Awan putih dalam selimut kabut hitam menghias langit, bunyi gendang yang ditabuh saling sahut mengisi ruang dengar mereka yang hadir dalam perhelatan syukur kepada Jubata. Langit mendung itu tampak tak mengusik suasana pesta yang baru saja dimulai di rumah Betang Panjang, Jl Sutoyo, Pontianak, 24 Mei lalu.

Merupakan acara ritual suku-suku Dayak di Kalimantan Barat sebagai pengungkap rasa syukur kepada pencipta, atas hasil panen yang melimpah. Acara itu dalam 20 tahun terakhir disebut sebagai "Gawai" atau Pesta Padi. Semua suku Dayak yang ada di 12 kabupaten/kota, menggunakan momen bulan Mei sebagai bulan perhelatan besar layaknya hari raya agama yang berlangsung setiap tahun.

Dan ketika pesta itu digelar di kampung-kampung, kegiatan saling mengunjungi, makan bersama, dan perlombaan, serta hiburan berlangsung selama beberapa hari. "Semua orang Dayak Kalbar merayakan Gawai pada bulan ini. Baik itu di kampung-kampung maupun di kota," kata seorang tokoh pemuda Dayak, Tobias Ranggie, ketika sedang menyaksikan acara yang dibuka wakil gubernur.


Inilah wujud kebersamaan orang Dayak. Berkumpul, berdoa dan makan bersama untuk mengungkap syukur kepada Jubata, pencipta alam semesti, katanya.

Gawai Dayak di Kalbar berlangsung setiap tahun pada tiap-tiap bulan Mei. Acara itu sudah berlangsung ke 20 kali. Pesta untuk pertama kali terjadi tahun 1986. Pernah sekali tidak terselenggara karena bertepatan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 1998.

Semua warga Dayak yang tinggal di kampung dan di kota, bersuka cita menyambut bulan baik tersebut. Bulan Mei menjadi bulan penuh keceriaan milik orang tua, pemuda/pemudi, dan anak-anak, untuk menikmati hasil panen yang berlimpah dan sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta.

Gawai dalam suasana sederhana juga telah berlangsung di desa/kampung suku-suku Dayak yang ada di 12 kabupaten/kota di Kalbar. Seperti yang dilakukan suku Dayak Kantuk di kampung Pala' Pulau, Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, acara Gawai dilaksanakan 17 Mei. Ada pula di Kecamatan Mandai, Kapuas Hulu, acara serupa dengan nama "Makai Taun" juga dilaksanakan pada 12-14 Mei.

Dalam suasana Gawai, masyarakat suku Dayak saling berkunjung dan makan bersama keluarga, layaknya lebaran yang dirayakan umat Islam ataupun Natal yang dirayakan umat Kristiani, kata Ansela Sarating, warga Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu.

Sedangkan Gawai yang berlangsung di Kota Pontianak 24-28 Mei, merupakan pesta yang diikuti sanggar-sanggar kesenian se-Kalbar. Dalam acara itu, berbagai kegiatan seni dan hiburan dilaksanakan selama sepekan.

Peringatan Gawai bulan Mei, dalam sejarahnya memiliki makna khusus, yakni bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional 20 Mei. Kesempatan penyelenggaraan Gawai pada tiap-tiap bulan Mei berdasarkan surat keputusan (SK) gubernur Soejiman pada tahun 1986, tentang Pengaturan Gawai (Pesta Padi) masyarakat Dayak di Kalbar.

Acara itu bukan semata rutinitas tahunan sebagai ungkapan syukur kepada sang Jubata, namun bermakna lebih luas, yakni guna menelusuri jejak budaya suku-suku Dayak di Kalbar. Karena saat Gawai berlangsung, ribuan warga Dayak Kalbar berkumpul menampilkan atraksi seni budaya dan upacara ritual khas dari setiap suku.

Seperti yang baru saja digelar di rumah Betang Panjang Pontianak. Acara ritual adat diikuti perwakilan suku-suku Dayak seperti Kanayant'n, Taman, Iban, Bedayu, Embaloh, dll yang tergabung dalam sanggar kesenian Dayak yang ada di Kalbar.

Penelusuran budaya
Penelusuran budaya agaknya sudah menjadi hal lumrah bagi setiap suku di dunia untuk tidak menghilangkan sejarah yang pernah ada di leluhur mereka. Tetapi tidak banyak dari suku-suku yang ada di dunia, berhasil mempertahankan adat istiadat dan budaya warisan leluhur itu.

Upaya itulah yang kini sedang dilakukan oleh orang Dayak di Kalbar dewasa ini. Baik masyarakat, tokoh, para elit dari suku asli di pulau Kalimantan tersebut, menaruh harapan besar agar adat budaya leluhur mereka tetap dipertahankan meskipun generasi muda Dayak saat ini juga harus menghadapi globalisasi, modernisasi.

Seperti penuturan Sekretaris Panitia Pesta Gawai Dayak 2006, F Sudarman belum lama ini, bahwa acara itu bukan hanya mengumpulkan warga dan kemudian menampilkan aneka ragam budaya seperti yang selalu dilakukan setiap tahunnya.

Bukan pula sebuah pesta mabuk-mabukan, sampai "nyolor" (teler) karena minum tuak dan kebanyakan makan. Tetapi, dalam perjalanan beberapa tahun belakangan, kegiatan itu menjadi momen penting orang Dayak Kalbar untuk menelusuri jejak budaya leluhur mereka. "Penelusuran jejak budaya itu penting untuk generasi muda suku Dayak," kata Sudarman lagi.

Pengakuan senada juga diungkapkan Tobias Ranggie, yang dari tahun ke tahun mengamati perkembangan pesta Gawai tersebut. Dahulu, ujarnya, Gawai bisa diakui sebagai kegiatan rutin untuk setiap tahun. Tetapi kali ini maknanya menjadi luas seiring dengan semakin berkembangnya zaman. Makna lain dari perayaan Gawai ini adalah juga untuk menjawab tantangan ke depan. "Jangan sampai ke depan, kita tidak mempunyai identitas," katanya.

Setidak-tidaknya orang Dayak mengetahui kebudayaannya sendiri. Karena pada kenyataannya, banyak dari masyarakat Kalbar tidak mengetahui apa itu Gawai Dayak. Orang Dayak tampaknya sudah menyadari betapa pentingnya melestarikan adat budaya leluhur agar tidak punah ditelan zaman. Oleh karena itu, adanya pesta Gawai menjadi kesempatan berarti bagi masyarakat Dayak menghimpun yang masih tersisa dari peninggalan generasi tua, "entah" itu yang terserak atau tercerai berai pada masing-masing suku yang ada.

"Adat istiadat leluhur yang masih bisa dikumpulkan mesti diketahui oleh generasi muda. Agar mereka dapat menjaga dan melestarikan pada masa berikutnya," jelas Tobias lagi.

Pelestarian adat budaya Dayak penting untuk masa depan, jika mengingat jumlah orang Dayak di Kalbar sekitar 1,6 juta jiwa dari total penduduk Kalbar yang mencapai 3.722.172 jiwa. Menurut ia, kebudayaan yang dijaga dengan baik oleh masyarakatnya, dapat menjadi "alat" komunikasi antarsuku bangsa.

Kebudayaan juga dapat berinovasi sesuai dengan tuntutan zaman. Adapun adat istiadat dan budaya Dayak yang masih dapat dipertahankan, misalnya, upacara tolak bala, menolak balak atau musibah saat perayaan seperti saat Gawai.

Upacara tolak balak itu dikenal dengan upacara baliat'n dan ngampar bide. Kedua acara itu biasanya dilaksanakan saat ada hajatan besar. Kemudian olahraga tradisional yang dikemas dalam bentuk perlombaan seperti perlombaan enggrang, pangkak gasing -- memiliki makna masa lalu -- sebagai kegiatan memecahkan kantong padi, menyumpit, dll.

Gawai juga dapat diisi dengan acara bernuansa baru seperti festival bujang dan dara Dayak, perlombaan memasak makanan khas Dayak, dan lomba melukis. Semua itu dilakukan sebagai upaya penelusuran jejak budaya Dayak yang selama ini terserak dan tercerai berai pada tiap-tiap generasi dan subsuku yang sejak lama tidak pernah tersimpan dalam dokumen.

Pengumpulan dokumen/arsip
Ketiadaan dokumen dan arsip adat istiadat peninggalan leluhur, mengakibatkan pemerintah daerah Kalbar berupaya keras mengumpulkan data dalam bentuk file tulisan, gambar foto, dan gambar bergerak mengenai adat istiadat dan budaya orang Dayak.

"Dokumen itu dikumpulkan dari banyak pihak dan tempat. Apakah itu milik masyarakat umum, seniman, dan budayawan ataupun dari wartawan yang pernah mendokumentasikan acara-acara adat Dayak seperti Gawai atau Naik Dango, dan lain-lain," kata Wakil Gubernur Kalbar, Laurensius Herman Kadir.

Dokumen, menurut ia, penting untuk inventarisasi aset budaya suatu bangsa. Karena itu pemerintah daerah sedang berupaya mengumpulkan dokumen atau data-data yang mungkin dimiliki oleh masyarakat.

Sementara itu, Herry Djaung, Kepala Badan Komunikasi, Informasi dan Kearsipan (BKIK) daerah Kalbar, mengakui, diperkirakan dokumentasi mengenai adat istiadat atau upacara seperti Gawai hanya terdokumentasi dalam 5 tahun terakhir. Sedangkan untuk mendapatkan dokumen pada 10 tahun yang lalu, memerlukan kerja keras, dan mungkin hanya sebagian kecil saja yang ada dan tersimpan dalam koleksi dokumentasi masyarakat umum. Ia menambahkan, telah meminta kepada petugas peliput dari badan yang dipimpinnya agar dapat mendokumentasikan dengan baik setiap upacara adat suku Dayak Kalbar.

Dokumen itu bisa berupa gambar pakaian tradisional. Seperti saat Gawai Dayak di rumah Betang Panjang Pontianak, sejumlah orang yang hadir dalam perayaan itu mendapat topi-topi khas suku Dayak dari Kabupaten Ketapang. "Ini suatu ciri khas. Kita selama ini tidak tahu bahwa pada orang Dayak dari Ketapang ada topi-topi khas yang berbeda bentuknya dengan topi orang Dayak yang mendiami daerah lain," katanya.

Ia menyatakan keanekaragaman adat istiadat, budaya, atau pun ciri khas suatu suku adalah aset dan potensi seni budaya yang tinggi. Selain mengumpulkan dokumen, inventarisasi event budaya yang ada di setiap suku yang ada Kalbar, sehingga dapat terus dilestarikan. Sehingga, jangan sampai terjadi suatu negeri menjadi kehilangan identitas karena lupa dengan adat istiadat dan budaya leluhur.