“Ban-ban go, ban-ban go, ayo dayung menuju finish,” begitulah teriakan nyaring yang terdengar saat perahu berwarna merah muda meluncur di sungai Landak, Kabupaten Landak.
Di atas perahu atau sampan, duduk 8 orang yang terdiri dari 2 manajer dan 6 pendayung yang berusaha keras mencapai finish guna meraih kemenangan, dalam lomba sampan perayaan Festival Budaya Melayu Landak.
Keringat membasahi kaos dalam putih yang dikenakan para pedayung dari Serimbu, Kecamatan Air Besar, yang untuk pertama kalinya ikut meramaikan pesta budaya masyarakat Melayu di kabupaten 178 km dari utara Kota Pontianak itu.
Tepuk tangan, sorak sorai mewarnai lomba sampan yang diikuti 26 regu dari seluruh kota kecamatan di Landak. Satu demi satu, regu dayung tersisih ke belakang, terkalahkan oleh tim yang lebih kuat.
Namun tim dari Serimbu, bertahan pada posisi pertama, dengan hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek sederhana, mereka tetap bersemangat berusaha berada di tempat terdepan.
Di antara sorak sorai para pendukung tim dayung itu, terukir senyuman seorang laki-laki berkulit coklat gelap. Laki-laki itu bernama Herman Suhandri, berusia 28 tahun dan dikenal sebagai pembuat sampan.
Putra Melayu desa Serimbu, Kecamatan Air Besar itu tampak tersenyum ceria tatkala menyadari tim desanya berada di urut depan peserta lomba, yang artinya mengalahkan tim dari kecamatan lain.
Ketika ditemui, pria berbadan kurus itu masih mengukir senyum, menandakan kebanggaan dan keberhasilan sebagai pembuat sampan lomba.
“Saya membuat sampan itu selama seminggu. Senang ketika melihat teman-teman membawanya menuju ke finish,” kata pria itu.
Herman baru sekitar 2 tahun ini membuat sampan. Setelah menyaksikan ayahnya, Abdul Liman, 52, menghidupi keluarga selama belasan tahun dari usaha membuat “kendaraan” terapung tanpa mesin itu.
Karena ketertarikan dengan pekerjaan orang tuanya, mendorong Herman untuk belajar membuat sampan. Setelah dua tahun berguru pada sang ayah, jadilah dua sampan untuk perlombaan mendayung yang digunakan tim dari desanya mengikuti lomba dalam Festival Budaya Melayu Landak.
Tanpa sungkan, Herman memuji hasil karyanya itu.
“Selain teman-teman, peserta lomba dari kecamatan lain juga sudah mencoba sampan bikinan saya. Mereka juga menyatakan bagus dan enak dipakai,” katanya.
Kayu medang
Perahu buatan Herman, berasal dari kayu hutan. Bukan sembarang kayu yang dapat digunakan. Tetapi kayu itu, bernama Medang. Kayu itu ia peroleh dengan membeli dari masyarakat penebang hutan. Kayu yang dipilih, tentu saja kayu yang berasal dari batang tua berumur belasan atau bahkan puluhan tahun.
Kayu itu, biasanya berdiameter 50 cm atau lebih. Keunggulan kayu Medang atau batang Medang Ijuk di banding jenis kayu hutan lainnya, karena tahan lama atau awet, ringan, bagus dan kuat.
Kayu baru dapat digunakan setelah seminggu diambil dari hutan, selama waktu itu, kayu juga mesti dikeringkan sekitar tiga hari. Karena kayu harus benar-benar mati dengan kadar air yang sedikit.
Ada juga jenis kayu Leban, namun sampan yang dihasilkan dari bahan kayu ini tidak sebagus sampan dari bahan kayu Medang.
Untuk membuat sampan, yang mesti dilakukan pertama kali adalah membuat bentuk atau model sampan tersebut. Jika modelnya bagus, maka sampan yang dihasilkan pun akan bagus.
Agar sampan itu menjadi bagus, papan sambungan bingkai dan badan dipaku dengan paku dan bagian kepalanya dimasukan ke dalam papan dan dipantak. Badan perahu setengah jadi itu dibentuk dengan bantuan tali. Sehingga ketika dibuka, menghasilkan bentuk yang diinginkan, yakni bentuk bergelombang.
Dalam pembuatan sampan, bagian yang tersulit adalah saat membuat tajuk atau tulang rusuk. Perlu ketekunan untuk mengerjakan bagian tersulit dari proses pembuatan perahu itu.
Tingkat kesulitan tertinggi yang ia alami, adalah ketika menyiapkan tajuk atau tulang rusuk sampan tersebut. Karena perakit sampan harus terampil menyusun sambungan kayu untuk tajuk. Setelah itu, kemampuan pembuatan sampan masih diuji lagi saat menyambung antara rusuk dengan bingkai. Bagian itu mesti dibuat kreasi yang indah dan bagus.
Setelah menyambung satu kayu dengan kayu lainnya, dan dipaku dengan cukup kuat. Setiap bagian sambungan papan mesti diberi lem. Bahan perekat ini pun tidak bisa sembarangan. Herman mesti menggunakan perekat dari bahan damar yang juga diperoleh dari alam.
Lem dari bahan damar itu disebut keruing. Cara pembuatannya, damar terlebih dahulu mesti ditumbuk, dihaluskan menjadi seperti tepung yang menghasilkan getah. Getah itu dicampur minyak solar dan air panas, dijemur di bawah panas matahari.
“Setelah itu baru lem dapat digunakan,” jelasnya.
Setelah sampan jadi, maka dilakukan ujicoba atau tes apakah bocor atau tidak. Untuk mengetahui kemungkinan bocor, sampan dibawa ke sungai di desa tersebut. Baru jika tidak ada genangan air di dalam perahu, maka selesailah pembuatan sampan untuk lomba itu.
Perahu dapat bertahan dua tahun sampai dengan tiga tahun. Perahu bikinan Herman, yang memiliki panjang 8 meter lebar 90 centimeter dan ketinggian dari tanah skeitar 70 centimeter, dijual dengan harga Rp3 juta.
Ritual jelang lomba
Bagi masyarakat Serimbu, tradisi menggunakan sampan sudah berlangsung sejak lama dan “menular” dari satu generasi ke generasi lain. Di desa perhuluan sungai Landak itu, masyarakat Melayu-nya terbiasa hidup dengan air sungai. Hampir semua aktivitas hidup sehari-hari yang terkait dengan air, berlangsung di sungai kampung tersebut.
Jalan sungai menuju ke permukiman penduduk setempat pun mesti melewati rentetan jeram yang sambung menyambung. Jika air sungai Landak surut, dapat disaksikan rangkaian jeram atau riam berjeret seperti hendak “menelan” mereka yang mencoba menantang alam.
Seorang pemuda setempat, Mustari, 41, menyatakan, selain melewati rangkaian riam di sungai Landak, untuk dapat sampai ke kampung penghasil intan itu, melalui jalan darat yang saat ini dalam kondisi rusak berat.
“Jalan berlubang-lubang. Jika hujan, timbul genangan di banyak tempat di jalan Ngabang-Serimbu,” kata Wakil Ketua Kontingen Kecamatan Air Besar itu.
Jarak dari Ngabang menuju Serimbu yang sejauh 178 km, mesti ditempuh melalui perjalanan darat selama 4-5 jam.
Lamanya waktu tempuh itu karena kondisi jalan yang rusak parah. Sehingga mobil angkutan umum, jenis “pick up” harus menerjang genangan air lumpur yang memenuhi ruas jalan menuju ke desa tersebut.
Meski begitu, tidak membuat semangat tim lomba sampan Serimbu “patah arang”.
Namun justru membuat sebanyak 20 orang pedayung setempat berjuang melawan tantangan awal sebelum tantangan dalam perlombaan berlangsung.
Baik Mustari maupun Herman mengatakan, untuk persiapan lomba, warga kampungnya menyiapkan ritual khusus agar tim lomba dari desa itu memiliki semangat juang dan terhindar dari “balak” (musibah).
Penduduk kampung, menurut Herman, menyiapkan acara pengungkupan atau pembacaan doa selamat. Sebagai syarat untuk ritual itu, maka diperlukan seekor ayam dan nasi kuning yang kemudian dibacakan doa selamat oleh tetua (orang yang dianggap tua) setempat.
Namun ritual itu, ternyata tidak diterapkan saat pembuatan sampan. “Tidak ada doa khusus saat membuat sampan. Hanya doa biasa yang dilakukan ayah saya,” imbuhnya.
Perbedaan antara sampan lomba dengan sampan biasa, adalah dari bentuk dan ukuran. Sampan biasa, memiliki panjang 6 meter dan memiliki lebar lebih besar dari sampan lomba, yakni mencapai 1 meter.
Sedangkan sampan untuk lomba, biasanya memiliki panjang standar 8 meter atau 12 meter dengan lebar 90 centimeter.
Khusus sampan buatan Herman, memiliki panjang 8 meter. Dengan dayung sepanjang 1,60 meter dan lebar 80 centimeter. Ukuran itu merupakan ukuran ideal karena sampan menjadi mudah untuk difungsikan daripada sampan dengan panjang 12 meter.
Sampan dengan panjang 12 meter, sulit dikemudikan. Kalau pendek, mudah didayung, laju, dan terasa enak menaikinya.
Kebanggaan terhadap sampan buatannya, tidak terlepas dari pujian yang disampaikan teman-temannya bahkan tim dari kecamatan lain. “Sampan saya sudah dicoba oleh tim kecamatan lain. Mereka memuji karena sampan tidak gampang ‘oleng’ saat ada gelombang,” katanya.
Herman tidak memiliki cita-cita muluk, tetapi sebagai pembuat sampan, ia merasa bangga dapat membaktikan diri bagi kampung halaman tercinta.
“Bangga, sangat bangga ketika melihat sampan buatan saya ikut dalam lomba dan berhasil tiba di finish mendahului peserta lain,” kata pria berkulit legam itu.
Saturday, May 12, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment