"Masyarakat yang cerdas terbentuk dari wartawan yang cerdas, wartawan yang cerdas ada jika standar kompetensi wartawan tercapai," kata Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, dalam diskusi "Standar Kompetensi Wartawan" di Pontianak, awal Mei.
Kecerdasan wartawan dalam mengangkat persoalan atau informasi untuk disiarkan, akan membantu menambah pengetahuan dan wawasan, serta membuka pemahaman pembaca terhadap suatu permasalahan yang sedang terjadi. Wartawan yang cerdas ada karena profesionalisme yang dibangun dengan baik dan ditandai dengan kualitas atau mutu karya yang dihasilkan wartawan tersebut.
Namun, kondisi yang terjadi di Indonesia dewasa ini, kualitas wartawan dipertanyakan. Kualitas wartawan yang diukur melalui "Kompetensi", dewasa ini tampak semakin terpinggirkan, karena turunnya reputasi (nama baik) dan harga diri mereka yang berkecimpung dalam profesi itu. Kondisi ini, memerlukan perhatian serius banyak pihak.
Ada banyak kasus yang mengakibatkan reputasi dan harga diri wartawan rusak. Salah satunya, karena ulah segelintir oknum atau pun pihak yang mengatasnamakan wartawan atau jurnalis. Contoh kasusya, pemerasan dengan korban mulai dari masyarakat biasa hingga pejabat pemerintah. Pelaku pemerasan, mengaku sebagai wartawan, berhasil mendapatkan uang dari korban-korban yang takut kesalahannya terbongkar dan diketahui masyarakat. Reputasi wartawan menjadi rusak. Karena para korban -- tentu saja tetap -- akan menuding wartawan sebagai pelaku pemerasan, tanpa melakukan pengecekan dahulu.
Terkait kasus itu, kompetensi menjadi faktor penting yang harus dicapai seseorang berprofesi wartawan atau jurnalis. Sehingga terdapat pembeda antara wartawan asli dengan wartawan gadungan atau istilah populernya "bodrek". Wartawan yang sesungguhnya (diharapkan) bisa berpikir "seribu kali" jika hendak melakukan aksi serupa. Adanya kompetensi, juga menjadi pembeda dalam persoalan intelektualitas dan kualitas.
Sesungguhnya, apa yang dimaksud dengan kompetensi wartawan?
Tampaknya juga masih perlu penjelasan. Menurut Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Prof DR Moestopo, DR Gati Gayatri, yang dimaksud dengan "Kompetensi Wartawan", kemampuan seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan.
Kompetensi, menurut Dewan Pers dalam buku "Kompetensi Wartawan", Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers, mencakup beberapa aspek. Yakni aspek penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan kesadaran. Ketiga aspek itu, diperlukan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kesadaran mencakup di dalamnya, etika, hukum dan karir.
Sementara Pengetahuan, meliputi pengetahuan umum, pengetahuan khusus dan pengetahuan teori jurnalistik dan komunikasi (sesuai bidang kewartawanan). Sedangkan keterampilan, mencakup penguasaan menulis, wawancara, riset, investigasi, kemampuan penggunaan berbagai peralatan yang terkait dengan pekerjaan wartawan.
Pencapaian kompetensi
Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk pencapaian kompetensi?
Untuk mencapai standar kompetensi bagi wartawan, tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan perusahaan pers. Menurut Leo Batubara, perusahaan pers yang baik harus memenuhi standar profesional, seperti; memiliki kompetensi sebagai pebisnis media, mengoperasikan SDM yang memenuhi standar kompetensi, memiliki atau minimal mampu menyewa peralatan yang diperlukan dan memiliki modal yang cukup.
Kenyataannya, dari 829 perusahaan pers yang ada saat ini, hanya 30 persen saja yang sehat bisnis. Selebihnya tidak sehat secara bisnis. Negara juga punya tanggung jawab untuk standar kompetensi wartawan dengan mendirikan sekolah jurnalistik sebagai wadah pendidikan bagi wartawan, melakukan reformasi politik hukum negara yang mengkriminalisasi pers dan mengubah penyelenggaraan negara yang punya kecenderungan mengekang dan mengontrol pers.
Selain itu, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai standar kompetensi wartawan, seperti melalui pendidikan jurnalistik, pelatihan jurnalistik dan sistem pengembangan karir dimana wartawan memiliki level tertentu, meliputi yunior, madya, dan senior. Penentuan itu berdasarkan kemampuan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki.
Pada umumnya, wartawan yunior, madya, dan senior, bukanlah lulusan dari lembaga pendidikan tinggi khusus bidang tersebut. Hal ini tentu saja memperpanjang proses pencapaian kompetensi, bila dibandingkan mereka yang memang lulusan pendidikan (S1) jurnalistik, komunikasi atau publisistik. Masalah tersebut, meski masih dapat diatasi dengan adanya pelatihan jurnalistik yang disediakan oleh sejumlah lembaga pendidikan atau pun pengelola media massa, namun hal itu masih amat jarang ada.
Kebanyakan perusahaan media, langsung melepas wartawan muda/yunior untuk terjun ke lapangan, tanpa terlebihdahulu dibekali pemahaman ilmu dan pengetahuan bidang jurnalistik atau kewartawanan. Sehingga ketika menulis berita, ditemukan banyak kesalahan dan kekuranglengkapan informasi yang hendak disampaikan kepada publik.
Pendidikan dan pelatihan menjadi penting, sehingga karir jurnalistik bisa berkembang. Pendidikan dan pelatihan, menjadi syarat bagi seorang jurnalis jika ingin berkembang dan profesional dalam menjalankan pekerjaan. Seorang wartawan yang menjalankan tugas jurnalistik dengan profesional, akan dihargai di muka publik.
Pada akhirnya, seorang wartawan atau jurnalis, harus punya kemampuan dan kompetensi di dalam menjalankan profesinya. Tanpa itu semua, mustahil kemajuan di bidang jurnalistik bisa dicapai.
Monday, May 14, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment