Tumpang Negeri Simbol Interaksi Manusia dengan Alam dan Revitalisasi Identitas Melayu
Muhlis Suhaeri
Seperti juga suatu zat, ia pun melebur dan luruh dengan alam. Menjadi satu satu kesatuan dalam interaksi. Padu. Itulah makna filosofi dari acara Tumpang Negeri. Yang diselenggarakan Keraton Ismahayana, Landak, Kalimantan Barat.
Empat puluh tumpang dilarung ke segala penjuru negeri. Satu diantaranya diberi nama Tumpang Agung. Semua tumpang diantar serentak. Menuju pertemuan muara sungai, persimpangan jalan, rumah tua bersejarah, dan ke 10 kecamatan di Kabupaten Landak. Prosesi mengantar tumpang dilakukan antara pukul 15.00-17.00. Khusus untuk Tumpang Agung, dilarung dari muara keraton, menuju hilir sungai Landak.
Setiap tumpang terdiri dari seekor ayam kampung jantan yang telah dipanggang, anyaman daun kelapa muda berbentuk keranjang, seperangkat jajanan pasar, nasi pulut aneka warna, pulut rasul, setanggi wangi dan dupa menyan.
Upacara Tumpang Negeri dipenuhi berbagai persyaratan dan spiritualitas. Bila syarat tidak dilaksanakan, dipercaya dapat menimbulkan akibat tak diinginkan. Salah satu contoh, ayam yang digunakan untuk upacara, harus ayam kampung. Yang merupakan perlambang dan mempunyai sifat, selalu berusaha mencari makan sepanjang hari. Dan itu dilakukan semenjak subuh hari. Begitupun manusia dalam menjalani hidupnya. Harus berusaha mandiri. Tidak perlu menunggu disantuni, atau mengharap bantuan orang lain. Pulut rasul merupakan simbol kerekatan sosial. Bahwa dalam masyarakat, harusnya bersatu seperti pulut. Kenyal dan tidak kaku. Tapi, ia terekat dalam satu kerekatan. Kue tradisional, merupakan wujud dari kesejahteraan.
”Tumpang Negeri merupakan kegiatan, yang berawal dari kearifan lokal orang Melayu, atau orang laut di Kabupaten Landak,” kata Drs. Gusti Suryansyah, MSi, Pangeran Ratu Keraton Ismahayana, Landak.
Kearifan lokal merefleksikan, manusia bukanlah mahluk berkuasa. Ketika terjadi bencana alam, manusia tidak bisa menghindar. Menyadari manusia mahluk lemah, supaya manusia menjadi kuat, ia harus berinteraksi dengan alam. Bekerja sama dengan alam, jauh lebih baik daripada menaklukan alam.
Alam ada dua. Alam gaib dan nyata. Kearifan lokal masyarakat setempat, manusia harus bisa berinteraksi dengan alam gaib. Melalui upacara Tumpang Negeri, masyarakat seolah ingin memberi tahu, bahwa mereka akan melaksanakan perhelatan besar selama setahun.
Tujuannya, supaya semua diberi kemudahan dalam melakukan sesuatu. Yang bertani mengharapkan kemudahan dalam bercocok tanam. Bagi yang bekerja di sektor usaha, dimudahkan dalam berusaha. Dan berbagai kemudahan dalam menjalankan aspek hidup lainnya. Masyarakat menginginkan ”mereka” yang berada di alam gaib ikut menjaga, ketika manusia menggunakan sungai dan menggunakan jalan, tidak diganggu. Bagi sebagian besar masyarakat Kalimantan, sungai merupakan urat nadi kehidupan. Jalur perekonomian dan transportasi.
”Kita meminta kepada Tuhan, yang berkuasa atas mahluk-mahluk, supaya urat nadi kehidupan ini tidak diganggu,” kata Suryansyah. Jadi, bukan meminta kepada alam gaib. Bila meminta pada alam gaib, sifatnya menjadi sirik dan menyekutukan Tuhan. Itulah, makna filosofinya.
Acara Tumpang Negeri, mempunyai dua dimensi. Pertama, merupakan suatu doa, supaya terhindar dari segala balak, bencana alam dan penyakit. Kedua, permohonan keselamatan dan kesejahteraan. Supaya tahun mendatang, segala kehidupan akan lebih baik dan sejahtera.
Pelaksanaan Tumpang Negeri, biasanya dilaksanakan pada akhir atau awal tahun, berdasarkan situasi alam. Biasanya melihat tanda hujan. Itu menjadi syarat untuk penentuan acara. Kalau hujannya banyak atau sedikit, ada penentuannya. Hal itu merupakan upaya menyiasati tanda-tanda alam. Sifat acara ini tolak balak. Bila hujan terlalu banyak, maka dengan pelaksanaan Tumpang Negeri, tidak akan terjadi banjir. Tapi, kalau tidak turun hujan, diharapkan bisa turun.
Dalam 3 tahun terakhir, ada kesepakatan, acara dilaksanakan berdasarkan tanggal pengukuhan Pangeran Ratu, 24 Januari. Momentum ini memanfaatkan dua dimensi. Selain tolak bala, juga bagi keselamatan. ”Kita tidak mengedepankan ulang tahun pengukuhan kepangeranan. Tetapi mengedepankan acara proses adat, yang menjadi milik masyarakat,” kata Suryansyah.
Upacara Tumpang Negeri, harus didahului sedekah kampung. Selama 3 hari inilah, masyarakat diberi kegembiran dengan berbagai festifal seni, olah raga dan hiburan lainnya. Ada lomba sampan, pencak silat, pertunjukkan hadrah dan jepin, festival makanan tradisional, dan lainnya.
Hari itu, 24 Januari 2006, upacara Tumpang Negeri merupakan puncak berlangsungnya acara. Sebelum mengantar tumpang, masyarakat melakukan ziarah ke makam ke Raja Abdul Kahar atau Ismahayana, biasa disebut juga Iswara Mahayana. Yang merupakan pendiri kerajaan Landak. Makam itu terletak di desa Munggu. Acara diikuti kerabat kerajaan, pemuka agama dan masyarakat.
Menurut M. Natsir, Staff Pembantu Pimpinan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, nama kerajaan Landak muncul dalam kitab Negara Kertagama pada 1365. Kitab itu ditulis Empu Prapanca semasa raja Hayam Wuruk memerintah di Majapahit. Kerajaan Landak muncul setelah salah seorang bangsawan Singasari menuju Kalimantan. Dan membuka pusat pemerintahan awal di sana. Bangsawan itu dikenal dengan nama Ningrat Batur atau Angrat Batur. Dari sinilah, muncul Ratu Sang Nata Pali I, hingga Ratu Sang Nata Pulang Pali VII.
Dari Ratu Sang Nata Pali VII dengan permaisuri Dara Hitam, lahirlah Raden Iswara Mahayana. Setelah orang tuanya mangkat, ia diangkat menjadi raja pada 1472, dengan gelar Raja Adipati Karang Tanjung Tua. Setelah memerintah, ia memindahkan ibukota kerajaan ke kaki bukit, dan berhadapan dengan sungai Menyuke. Yang merupakan percabangan sungai Tenganap atau sungai Landak. Lokasi baru itu berkembang menjadi ibukota kerajaan dan diberi nama Kota Ayu atau Munggu. Nah, pada masa pemerintahan Raja Adipati Karang Tanjung Tua (1472-1542) inilah, agama Islam masuk dan berkembang dengan pesat di kerajaan Landak.
Dari kerajaan Landak, muncul beberapa pejuang kemerdekaan. Salah satunya, Pangeran Natakusuma. Ia mendapat Satya Lencana dari pemerintah pusat, karena memimpin pemberontakan blusting (bahasa Belanda yang berarti pajak/upeti). Ia mengorganisir pertemuan dengan berbagai suku lainnya, untuk melawan penerapan pajak yang dilakukan Belanda. Pangeran Natakusuma kalah dalam persenjataan. Akhirnya, ia dibuang ke Bengkulu.
Sejak tahun 1946, muncul UU tentang penghapusan status Swapraja. Dengan sendirinya seluruh pemerintahan kerajaan, tidak memiliki eksistensi pemerintahan, kecuali keraton Yogyakarta. Tak heran bila pengukuhan Gusti Suryansyah pada 24 Januari 2000, ada yang menganggap sebagai munculnya feodalisme baru, dan mengembalikan romantisme kerajaan.
Memang ada yang menanggapi dengan sinis, tetapi ada juga harapan. Lalu, apa pendapatnya terhadap tudingan ini? ”Saya ingin mengkritisi itu. Feodalisme merupakan terminologi yang digunakan oleh raja-raja di Eropa. Dengan penguasaan tanah luas,” kata Suryansyah. Menurutnya, sejarah kerajaan Landak, bukan sejarah feodalisme. Kerajaan Landak sama dengan kerajaan Yogyakarata. Yang berjuang demi kemerdekaan.
Bedanya, sekarang ini keraton Yogyakarta masih memiliki berbagai pusaka dan tanah luas, sementara keraton Landak, sebaliknya. Tanah tinggal tersisa beberapa ratus meter di sekitar keraton saja. Pusaka keraton tinggal satu keris dan dua tombak. Keris itu bernama Si Kanyit. Ada dimensi dongeng melingkupi keberadaannya. Keris itu didapat, ketika hanyut, bukan menghiliri sungai landak, tetapi menuju ke hulu sungai Landak. Namanya juga mitos. Boleh percaya, boleh juga tidak. Dulunya, keris itu bertahtakan intan berlian. Maklum, Landak merupakan penghasil intan dari dulu hingga sekarang. Namun, karena keris telah berpindah tangan beberapa generasi, intan itu tak melekat lagi pada keris pusaka. Dua pedang pusaka pembuatannya seperti keris. Ada pamornya. Pedang pertama mempunyai pamor Satria Piningit, dan pedang kedua Pancur Emas.
Menurut Syarif Ibrahim Alqadri, seorang profesor dan guru besar ilmu sosiologi di Universitas Tanjung Pura (Untan), Pontianak, tampilnya kembali Pangeran, Sultan, atau pimpinan ikatan keluarga kesultanan hampir di semua wilayah Nusantara, merupakan revitalisasi dalam dinamika politik Melayu secara kongkret. Revitalisasi adalah proses, atau kondisi bangkitnya kembali suatu kelompok agama, etnis atau sosial lainnya. Dan menampilkan kekuatan, energi, jiwa atau semangat baru dalam berhadapan dengan kelompok lain. Revitalisasi pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai kesadaran etnik yang bersumber dari luar. Ia merupakan jawaban atau reaksi logis dari realitas sosial yang terjadi di sekeliling kelompok bersangkutan. Yang diciptakan kelompok lain, pemerintah atau bangsa lain.
Dalam jaman yang kian menglobal seperti sekarang ini, makna dan identitas juga menjadi ciri tersendiri dalam menghadapi perubahan itu. Nah, seandainya mengantar Tumpang Negeri, dianggap sebagai kembali ke feodalisme, Gusti Suryansyah tidak keberatan dalam hal ini. Sebagai bagian dari bangsa, rasanya tidak ada larangan untuk ikut serta dalam proses pembangunan, katanya. Ini merupakan wujud kongkret, mereka bereaksi terhadap kosmopolitan dan globalisasi Caranya, ”Dengan tetap konsisten terhadap nilai tradisional yang pernah hidup dan dipertahankan saat ini,” kata Suryansyah.*
Sunday, July 22, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment