DERITA PEREMPUAN KORBAN KONFLIK SANGGAU LEDO
Oleh Nurul Hayat
"Hidup ini susah. Bagaimana nanti ya... kalau di akhirat, apakah juga makin susah," kata Sukadimah, perempuan paruh baya, korban kerusuhan sosial 1996-1997 di Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang.
Sukadimah, tidak mengetahui usianya telah "berkepala" berapa. Namun dari gurat keriput di wajahnya, perempuan itu terlihat seperti "memegang" beban berat.
"Orang Madura dek.., mana pernah peduli dengan usia sudah berapa," katanya, seolah mengingatkan hidup seseorang bukan berdasarkan usianya.
"Allah...Allah... susahnya hidup. Ini mau puasa, tapi tidak ada uang," katanya dengan tangan mengusap kedua pipinya sambil duduk di tangga teras depan kantor Gubernur Kalbar Jalan Ahmad Yani, Pontianak.
Perempuan beranak lima itu, hanyalah salah satu dari ratusan warga yang mengikuti unjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Senin (10/9).
Selain Sukadimah masih ada Misura, yang mengaku berusia 40-an tahun. Misura memiliki tujuh anak, dua di antaranya sudah berumah tangga. Sehari-hari hidupnya bekerja sebagai pemecah batu.
"Sejak tinggal di Peniraman (Kabupaten Pontianak) 10 tahun ini, saya jadi tukang batu," kata perempuan bertubuh kecil dan berkerudung itu.
Menurutnya, kebanyakan perempuan korban kerusuhan Sanggau Ledo, harus kerja keras banting tulang membantu suami, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ia memilih menjadi tukang batu atau penetak batu, karena di tempat tinggalnya --pinggir jalan lintas Pontianak-- memang terkenal sebagai penghasil batu untuk bahan bangunan dan pembuatan jalan.
"Kerja batu berat. Kalau puasa sanggup kerja, saya kerja. Tapi kalau tak kuat, ya libur saja. Itu artinya tidak ada penghasilan," katanya.
Dalam empat hari kerja, Misura dan suami bisa mengumpulkan pecahan batu untuk mengisi satu truk. Batu-batu itu dijual kepada penampung warga setempat Rp50.000 per truk.
"Itu tak cukup untuk makan. Syukurnya anak-anak juga membantu mengumpulkan batu-batu," kata wanita yang pernah menetap di Salatiga, Kabupaten Bengkayang itu.
Saat masih di Salatiga, Misura dan suami menjadi penoreh karet milik tuan tanah setempat. Hasilnya memang tidak besar. Dalam satu hari bisa dapat lima kilogram karet yang upahnya dibayarkan Rp500 per kg.
"Itu penghasilan 10 tahun lalu. Tetapi cukup untuk hidup kami sekeluarga," katanya. Namun sejak mengungsi ke Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, dia mesti menjadi penetak batu. "Diam (tinggal) di Peniraman tidak dapat apa-apa," katanya.
Sementara Rosita (25), perempuan lainnya, memilih hanya mengurus rumah dan mengasuh dua anak yang masih berusia 4 dan 2,5 tahun.
"Saya tidak bekerja. Suami saja yang kadang-kadang jadi penebang kayu atau tukang batu," kata perempuan kelahiran Terohok, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak itu.
Rosita, 10 tahun lalu masih remaja. Ikut mengungsi ke daerah Motong Tinggi, Kecamatan Anjungan, Kabupaten Pontianak, bersama keluarga besarnya.
Ia bertemu jodoh teman sekampung asal Terohok, Mandor. Sambil menahan sakit di perut, perempuan itu menyatakan rata-rata para ibu yang ikut dalam aksi unjuk rasa di gedung DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, sehari-harinya bekerja, sebagai tukang batu.
Begitu kerasnya hidup yang mesti dijalani para perempuan korban kerusuhan itu. Sehingga harus merelakan tangan dan kaki menjadi kasar dan "kapalan", karena harus "menaklukan" batu-batu di perbukitan. Tentu saja, mereka juga harus siap mati terkena longsoran reruntuhan tanah dan batu dari bukit yang rusak.
Mana perhatiannya?
Warga dari pengungsian Motong Tinggi mendatangi DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar untuk meminta ganti rugi aset-aset mereka yang telah ditinggalkan dan mengharapkan perlindungan hukum.
Selain itu juga meminta disediakannya pemukiman yang layak beserta fasilitasnya, menuntut jatah hidup selama 10 tahun yang belum diberikan, dan menuntut penanganan lebih serius Pemprov Kalbar agar permasalahan tersebut secepatnya bisa diselesaikan.
Koordinator Forum Peduli Pengungsi Pasca Konflik Sosial, Junaidi (39) mengatakan, "Kami sudah 10 tahun menunggu, tapi hingga kini belum ada realisasi dari Pemprov Kalbar."
Sebagai warga negara Indonesia, menurutnya, semua memiliki hak yang sama. Namun yang terjadi selama 10 tahun, mereka harus menderita di barak pengungsian Motong Tinggi tanpa ada kejelasan. Para pengunjuk rasa itu kecewa, mereka seperti diperlakukan sebagai "anak tiri".
Mereka mengharapkan bantuan yang sama yang pernah diberikan kepada para pengungsi korban kerusuhan Sambas, 1999 lalu. "Kami tak dapat rumah. Tak dapat uang atau pun bantuan makanan. Mengapa kami tidak bisa mendapatkannya," kata seorang perempuan kurus dengan bayi dalam gendongan.
Warga yang berunjuk rasa itu, menyatakan diperlakukan tidak adil. Karena pengungsi korban kerusuhan Sambas, sudah mengikuti relokasi -- mendapatkan rumah, tanah dan jatah hidup -- di sejumlah kawasan dalam wilayah Kabupaten Pontianak.
Aksi kali ini, untuk ketigakalinya mereka lakukan. Pada Juni lalu, Asisten I Sekretaris Daerah Kalbar, Ignatius Lyong menyatakan Pemprov akan segera menyelesaikan permasalahan para korban konflik bernuansa SARA 1996-1997 itu.
Mereka ingin bertemu Gubernur Usman Ja'far dan Sekretaris Daerah Syakirman, untuk menanyakan secara langsung nasib mereka selanjutnya. Namun kedua orang tersebut sedang tidak berada di tempat.
"Gubernur kabarnya sudah membentuk tim penanganan pengungsi 1996-1997 Sanggau Ledo. Tetapi mana buktinya?" kata Junaidi saat berorasi di teras depan kantor Gubernur Kalbar.
Sekretaris Tim Penanganan Pengungsi 1996-1997 Sanggau Ledo, Totot WD saat berdialog dengan perwakilan warga tersebut, mengakui tim sudah dibentuk oleh Gubernur Kalbar dengan No. 482 tahun 2007 sejak Juni lalu. Tetapi itu baru sekedar pembentukan tim kerja yang terdiri dari berbagai instansi pemerintah termasuk unsur Polda Kalbar.
"Hingga kini dana untuk pemberian Jadup dan lain sebagainya masih belum ada, sehingga kami masih belum bisa bekerja. Saya minta para korban kerusuhan bisa bersabar," katanya.
Akibat kerusuhan dua etnis pada 1996-1997, sekitar 1.770 kepala keluarga atau sekitar 9.000 warga yang terpaksa mengungsi di dua barak yaitu barak Galang dan Motong Tinggi, yang terletak di Anjungan, Kabupaten Pontianak.
Dalam aksi unjuk rasa ke DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, selain para laki-laki dan perempuan dewasa, juga tampak anak-anak berusia di bawah 10 tahun. "Anak-anak kami ikut ke sini, karena mereka tidak bersekolah," kata Misura.
Tuesday, September 11, 2007
Tuesday, September 4, 2007
JURU PARKIR MINTA KAWASAN SEBERANG RSUD SOEDARSO BISA DIKELOLA
Pontianak, 2/8 (ANTARA) - Perwakilan juru parkir Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soedarso Pontianak, dalam pertemuan dengan Komisi C dan D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat, di Pontianak, Kamis, meminta agar manajemen rumah sakit memberikan keleluasaan bagi mereka untuk mengelola perparkiran di luar pagar atau seberang rumah sakit tersebut.
Terhitung sejak 1 Juli kawasan parkir di kompleks RSUD Dr Soedarso Pontianak dikelola oleh perusahaan perparkiran bernama "Sun Parking". Pengelolaan parkir oleh perusahaan swasta itu melalui penandatanganan nota kesepahaman antara Direktur RSUD, Dr M Subuh dengan manajemen Sun Parking.
Sebelumnya, selama bertahun-tahun kawasan parkir dikelola oleh perseorangan dan pihak rumah sakit mendapatkan setoran sebesar Rp75 per hari atau Rp600 ribu/ bulan. Dengan adanya pengelola baru tersebut, pihak rumah sakit mengharapkan terdapat peningkatan pendapatan yang dapat disetorkan kepada kas daerah sebesar 20 persen.
Namun adanya pengelola baru tersebut, mendapat penolakan dari para juru parkir lama. "Kami dari juru parkir lama, merasa dirugikan. Karena lahan yang telah dikelola bertahun-tahun kini dikuasai oleh pihak lain. Ini menyangkut soal mengisi perut keluarga," kata juru bicara juru parkir (lama), Suhartono Sukran, saat pertemuan wakil Sun Parking, DPRD, RSUD Dr Soedarso dan Dinas Perhubungan Kota Pontianak, di aula Bahaum DPRD Kalbar itu.
Pertemuan itu, adalah untuk mendengarkan masukan dan saran dari pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan perparkiran di kompleks RSUD Dr Soedarso Pontianak. Pertemuan bukan merupakan eksekutor atau pun menghasilkan keputusan yang dapat menguntungkan salah satu pihak. Dan memang hingga selesainya pertemuan, tidak menghasilkan keputusan menguntungkan para pihak tersebut, terkecuali akan adanya pertemuan kembali antara tiga pihak yang bermasalah.
Pimpinan pertemuan, Anwar, yang juga Ketua Komisi D (Kesra) DPRD Kalbar, menyatakan baik Komisi C maupun D yang hadir dalam pertemuan tidak dapat memutuskan "perkara" yang dihadapi oleh beberapa pihak tersebut. Namun ia mengimbau agar baik Sun Parkirng, manajemen RSUD Dr Soedarso maupun juru parkir (lama) membahas kembali isi MoU yang sudah dibuat dengan memerhatikan kepentingan sosial.
Rumah sakit, berbeda dengan kompleks mall. Dalam mengelola perparkiran di rumah sakit, hendaknya memerhatikan efek sosial karena tamu-tamu rumah sakit umumnya orang yang sedang susah. Sehingga pengelola hendaknya mempertimbangan pembayaran parkir dari tiap-tiap tamu yang datang, seperti dengan menerapkan sistem flat (tetap).
Beberapa anggota DPRD yang hadir dalam pertemuan tersebut mengingatkan hal itu kepada Sun Parking.
Dalam pertemuan Anwar juga mengharapkan beberapa hari ke depan, pihak rumah sakit memberikan izin sementara kepada juru parkir lama untuk dapat mengelola perparkiran di seberang rumah sakit. Mengingat parajuru parkir tersebut telah tiga hari terakhir tidak mendapatkan penghasilan. Hal itu sambil menunggu adanya hasil pertemuan antara pengelola baru dengan pihak RSUD.
Namun dari pihak RSUD menyatakan MoU yang mereka buat sudah menyangkut semua kawasan parkir di RSUD Dr Soedarso. Sehingga pihak selain Sun Parking tidak dapat mengelola perparkiran di rumah sakit tersebut.
Anwar, dalam kesempatan itu juga mempertanyakan tawaran Sun Parking kepada sekitar 80 juru parkir lama agar mendaftarkan diri menjadi karyawan perusahaan tersebut yang tidak ditanggapi.
Dari penjelasan para juru parkir, alasannya, mereka tidak dapat memenuhi persyaratan mengenai tingkat pendidikan yang diajukan oleh Sun Parking. Karena rata-rata juru parkir hanya tamatan SLTP dan SLTA.
Sementara menurut wakil Sun Parking, Shopian, syarat yang diajukan perusahaan itu bersifat fleksibel. Dalam pengertian jika ada pendaftar tidak memenuhi syarat asal disertai rekomendasi pihak rumah sakit, hal itu tidak menjadi persoalan.
Menurut Kepala Bidang Tehnik Kendaraan dan Telekomunikasi Dinas Perhubungan Kota Pontianak, Joko Poerwono, dalam pengelolaan sistem perparkiran di kota Pontianak terdapat dua bentuk.
Pertama, parkir pada sejumlah mall dan swalayan yang dipungut dalam bentuk pajak parkir oleh Dinas Pendapatan Daerah. Kedua, perparkiran tepi (pinggir) jalan yang disetorkan kepada Dinas Perhubungan. Pungutan dari keduanya pada tahun 2006, khusus parkir tepi jalan sebesar Rp522 juta dan yang dipungut Dispenda dalam bentuk pajak, sekitar Rp400 juta.
Ia menyatakan dalam memungut dana parkir perseorangan, Dishub Kota Pontianak selalu mempertimbangkan unsur sosial. Karena itu pungutan uang parkir dari sekitar 400 titik yang ada, jumlahnya beragam, dari hanya Rp15 ribu hingga Rp2,5 juta perbulan.
(N005/
Pontianak, 2/8 (ANTARA) - Perwakilan juru parkir Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soedarso Pontianak, dalam pertemuan dengan Komisi C dan D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat, di Pontianak, Kamis, meminta agar manajemen rumah sakit memberikan keleluasaan bagi mereka untuk mengelola perparkiran di luar pagar atau seberang rumah sakit tersebut.
Terhitung sejak 1 Juli kawasan parkir di kompleks RSUD Dr Soedarso Pontianak dikelola oleh perusahaan perparkiran bernama "Sun Parking". Pengelolaan parkir oleh perusahaan swasta itu melalui penandatanganan nota kesepahaman antara Direktur RSUD, Dr M Subuh dengan manajemen Sun Parking.
Sebelumnya, selama bertahun-tahun kawasan parkir dikelola oleh perseorangan dan pihak rumah sakit mendapatkan setoran sebesar Rp75 per hari atau Rp600 ribu/ bulan. Dengan adanya pengelola baru tersebut, pihak rumah sakit mengharapkan terdapat peningkatan pendapatan yang dapat disetorkan kepada kas daerah sebesar 20 persen.
Namun adanya pengelola baru tersebut, mendapat penolakan dari para juru parkir lama. "Kami dari juru parkir lama, merasa dirugikan. Karena lahan yang telah dikelola bertahun-tahun kini dikuasai oleh pihak lain. Ini menyangkut soal mengisi perut keluarga," kata juru bicara juru parkir (lama), Suhartono Sukran, saat pertemuan wakil Sun Parking, DPRD, RSUD Dr Soedarso dan Dinas Perhubungan Kota Pontianak, di aula Bahaum DPRD Kalbar itu.
Pertemuan itu, adalah untuk mendengarkan masukan dan saran dari pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan perparkiran di kompleks RSUD Dr Soedarso Pontianak. Pertemuan bukan merupakan eksekutor atau pun menghasilkan keputusan yang dapat menguntungkan salah satu pihak. Dan memang hingga selesainya pertemuan, tidak menghasilkan keputusan menguntungkan para pihak tersebut, terkecuali akan adanya pertemuan kembali antara tiga pihak yang bermasalah.
Pimpinan pertemuan, Anwar, yang juga Ketua Komisi D (Kesra) DPRD Kalbar, menyatakan baik Komisi C maupun D yang hadir dalam pertemuan tidak dapat memutuskan "perkara" yang dihadapi oleh beberapa pihak tersebut. Namun ia mengimbau agar baik Sun Parkirng, manajemen RSUD Dr Soedarso maupun juru parkir (lama) membahas kembali isi MoU yang sudah dibuat dengan memerhatikan kepentingan sosial.
Rumah sakit, berbeda dengan kompleks mall. Dalam mengelola perparkiran di rumah sakit, hendaknya memerhatikan efek sosial karena tamu-tamu rumah sakit umumnya orang yang sedang susah. Sehingga pengelola hendaknya mempertimbangan pembayaran parkir dari tiap-tiap tamu yang datang, seperti dengan menerapkan sistem flat (tetap).
Beberapa anggota DPRD yang hadir dalam pertemuan tersebut mengingatkan hal itu kepada Sun Parking.
Dalam pertemuan Anwar juga mengharapkan beberapa hari ke depan, pihak rumah sakit memberikan izin sementara kepada juru parkir lama untuk dapat mengelola perparkiran di seberang rumah sakit. Mengingat parajuru parkir tersebut telah tiga hari terakhir tidak mendapatkan penghasilan. Hal itu sambil menunggu adanya hasil pertemuan antara pengelola baru dengan pihak RSUD.
Namun dari pihak RSUD menyatakan MoU yang mereka buat sudah menyangkut semua kawasan parkir di RSUD Dr Soedarso. Sehingga pihak selain Sun Parking tidak dapat mengelola perparkiran di rumah sakit tersebut.
Anwar, dalam kesempatan itu juga mempertanyakan tawaran Sun Parking kepada sekitar 80 juru parkir lama agar mendaftarkan diri menjadi karyawan perusahaan tersebut yang tidak ditanggapi.
Dari penjelasan para juru parkir, alasannya, mereka tidak dapat memenuhi persyaratan mengenai tingkat pendidikan yang diajukan oleh Sun Parking. Karena rata-rata juru parkir hanya tamatan SLTP dan SLTA.
Sementara menurut wakil Sun Parking, Shopian, syarat yang diajukan perusahaan itu bersifat fleksibel. Dalam pengertian jika ada pendaftar tidak memenuhi syarat asal disertai rekomendasi pihak rumah sakit, hal itu tidak menjadi persoalan.
Menurut Kepala Bidang Tehnik Kendaraan dan Telekomunikasi Dinas Perhubungan Kota Pontianak, Joko Poerwono, dalam pengelolaan sistem perparkiran di kota Pontianak terdapat dua bentuk.
Pertama, parkir pada sejumlah mall dan swalayan yang dipungut dalam bentuk pajak parkir oleh Dinas Pendapatan Daerah. Kedua, perparkiran tepi (pinggir) jalan yang disetorkan kepada Dinas Perhubungan. Pungutan dari keduanya pada tahun 2006, khusus parkir tepi jalan sebesar Rp522 juta dan yang dipungut Dispenda dalam bentuk pajak, sekitar Rp400 juta.
Ia menyatakan dalam memungut dana parkir perseorangan, Dishub Kota Pontianak selalu mempertimbangkan unsur sosial. Karena itu pungutan uang parkir dari sekitar 400 titik yang ada, jumlahnya beragam, dari hanya Rp15 ribu hingga Rp2,5 juta perbulan.
(N005/
BUDAYA DAYAK BELUM MEWARNAI PERFILMAN NASIONAL
Pontianak, 21/5 (ANTARA) - Produser Film, Jeremias Nyangoen, Senin, mengatakan budaya Dayak belum ikut mewarnai perfilman tanah air, sehingga cukup sulit menemukan film dokumenter atau cerita bioskop yang berseting budaya Dayak di Indonesia.
Sepanjang Indonesia merdeka hingga saat ini, diperkirakan baru ada satu film bioskop yang pengambilan gambarnya di Kalimantan yakni "Jeram-jeram Cinta". Namun isinya pun perlu ditilik kembali apakah sudah cukup kuat mengangkat budaya Dayak, kata Jeremias Nyangoen, dalam Dialog Budaya Dayak di kantor Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
Ia mengatakan, tak berbeda jauh dengan film dokumenter atau pun sinetron dalam tayangan televisi nasional, dapat dikatakan belum ada tema-tema budaya Dayak.
Hal itu bisa terjadi karena beberapa alasan, di antaranya jarangnya film berseting budaya Dayak diproduksi karena biaya produksi yang mahal, sehingga dianggap tidak begitu penting karena bukan kebutuhan primer.
Sulitnya birokrasi untuk meminjam atau menonton film tersebut, selain menontonnya di televisi dengan jumlah tayangan yang sangat terbatas. Serta diperlukan biaya dan waktu khusus untuk melakukan riset dan pengumpulan data dari para peneliti seni asing dari Perancis, Belanda, Selandia Baru, Amerika dan Jerman.
Produser yang juga aktor itu menyatakan, lazimnya sebagai pekerja seni pembuat film, ketika mendengar kata Dayak, maka akan tergambar hutan belantara, anak sungai yang panjang berliku, hujan dan matahari, rumah panjang, laki-laki dan perempuan yang menghias diri dengan tato.
"Sesuatu yang natural dan eksotis seperti suku Indian yang kita lihat di buku-buku atau film Hollywood," katanya. Meski pada kenyataannya tidak semua tempat di Kalimantan seperti itu lagi.
Menurut ia lagi, kehadiran film Indonesia di tengah masyarakat tidak saja diartikan sebagai lahirnya produk seni budaya, namun dapat pula dilihat sebagai produk ekonomi, karena menyerap tenaga kerja dan menjawab tantangan global terhadap perfilman dunia.
Film nasional, menurutnya, tidak saja diproduksi di Jakarta. Tetapi kini juga sudah menyebar ke daerah. Karena pemerintah daerah menyadari film tidak saja dilihat sebagai sarana pendidikan, komunikasi dan hiburan, namun juga menjadi salah satu unsur kekuatan ekonomi.
"Dan lebih jauh lagi, hal itu untuk membuktikan eksistensi pemda yang bermanfaat bagi masyarakat," imbuhnya.
Bali, Lombok, Toraja, Riau, Gorontalo, Papua, merupakan nama daerah yang sudah terlebih dahulu melihat bahwa produksi film sangat penting. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan daerah lain, khususnya Kalimantan?
Dalam dialog yang dihadiri peserta Gelar Budaya Dayak se Kalimantan itu, Jeremias mengatakan hendaknya pemerintah daerah di Kalimantan menyimpan dokumen yang ada dengan rapi dan aman, membuat film profil daerah film dokumenter dan film cerita bioskop yang bermutu dari tanah Kalimantan.
Sehingga ada rekaman sejarah dari waktu ke waktu atas perjalanan kehidupan anak bangsa khususnya dari suku Dayak.
Masyarakat dan pemerintah harus bahu-membahu agar semua dapat terwujud. Sehingga akan semakin banyak film Indonesia yang lahir tidak saja berseting budaya Jawa, Bali, Lombok, Gorontalo, atau pun Papua, tetapi juga Kalimantan khususnya mengangkat budaya Dayak. "Sehingga budaya Dayak juga ikut mewarnai perfilman nasional," katanya.
Pontianak, 21/5 (ANTARA) - Produser Film, Jeremias Nyangoen, Senin, mengatakan budaya Dayak belum ikut mewarnai perfilman tanah air, sehingga cukup sulit menemukan film dokumenter atau cerita bioskop yang berseting budaya Dayak di Indonesia.
Sepanjang Indonesia merdeka hingga saat ini, diperkirakan baru ada satu film bioskop yang pengambilan gambarnya di Kalimantan yakni "Jeram-jeram Cinta". Namun isinya pun perlu ditilik kembali apakah sudah cukup kuat mengangkat budaya Dayak, kata Jeremias Nyangoen, dalam Dialog Budaya Dayak di kantor Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
Ia mengatakan, tak berbeda jauh dengan film dokumenter atau pun sinetron dalam tayangan televisi nasional, dapat dikatakan belum ada tema-tema budaya Dayak.
Hal itu bisa terjadi karena beberapa alasan, di antaranya jarangnya film berseting budaya Dayak diproduksi karena biaya produksi yang mahal, sehingga dianggap tidak begitu penting karena bukan kebutuhan primer.
Sulitnya birokrasi untuk meminjam atau menonton film tersebut, selain menontonnya di televisi dengan jumlah tayangan yang sangat terbatas. Serta diperlukan biaya dan waktu khusus untuk melakukan riset dan pengumpulan data dari para peneliti seni asing dari Perancis, Belanda, Selandia Baru, Amerika dan Jerman.
Produser yang juga aktor itu menyatakan, lazimnya sebagai pekerja seni pembuat film, ketika mendengar kata Dayak, maka akan tergambar hutan belantara, anak sungai yang panjang berliku, hujan dan matahari, rumah panjang, laki-laki dan perempuan yang menghias diri dengan tato.
"Sesuatu yang natural dan eksotis seperti suku Indian yang kita lihat di buku-buku atau film Hollywood," katanya. Meski pada kenyataannya tidak semua tempat di Kalimantan seperti itu lagi.
Menurut ia lagi, kehadiran film Indonesia di tengah masyarakat tidak saja diartikan sebagai lahirnya produk seni budaya, namun dapat pula dilihat sebagai produk ekonomi, karena menyerap tenaga kerja dan menjawab tantangan global terhadap perfilman dunia.
Film nasional, menurutnya, tidak saja diproduksi di Jakarta. Tetapi kini juga sudah menyebar ke daerah. Karena pemerintah daerah menyadari film tidak saja dilihat sebagai sarana pendidikan, komunikasi dan hiburan, namun juga menjadi salah satu unsur kekuatan ekonomi.
"Dan lebih jauh lagi, hal itu untuk membuktikan eksistensi pemda yang bermanfaat bagi masyarakat," imbuhnya.
Bali, Lombok, Toraja, Riau, Gorontalo, Papua, merupakan nama daerah yang sudah terlebih dahulu melihat bahwa produksi film sangat penting. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan daerah lain, khususnya Kalimantan?
Dalam dialog yang dihadiri peserta Gelar Budaya Dayak se Kalimantan itu, Jeremias mengatakan hendaknya pemerintah daerah di Kalimantan menyimpan dokumen yang ada dengan rapi dan aman, membuat film profil daerah film dokumenter dan film cerita bioskop yang bermutu dari tanah Kalimantan.
Sehingga ada rekaman sejarah dari waktu ke waktu atas perjalanan kehidupan anak bangsa khususnya dari suku Dayak.
Masyarakat dan pemerintah harus bahu-membahu agar semua dapat terwujud. Sehingga akan semakin banyak film Indonesia yang lahir tidak saja berseting budaya Jawa, Bali, Lombok, Gorontalo, atau pun Papua, tetapi juga Kalimantan khususnya mengangkat budaya Dayak. "Sehingga budaya Dayak juga ikut mewarnai perfilman nasional," katanya.
RIBUAN WARGA TIONGHOA MENGANTAR ROH LELUHUR
Pontianak, 27/8 (ANTARA) - Ribuan warga Tionghoa Kota Pontianak dan sekitarnya, menghadiri pembakaran Wangkang atau perahu pembawa roh leluhur menuju ke langit, dalam peringatan hari "Hantu", tanggal 15 bulan 7 tahun Imlek 2558, di komplek Pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Sungai Raya, Kabupaten Pontianak, Senin.
Wangkang atau perahu kertas berisi sejumlah bahan pokok dan makanan untuk bekal roh leluhur telah disiapkan sejak pagi. Secara bergantian warga Tionghoa mendatangi lokasi pembakaran yang berada di jalan Adisucipto, Kecamatan Sungai Raya itu untuk bersembahyang. Wangkang baru dibakar pukul 17.00 WIB dan disaksikan ribuan orang.
Ketua Yayasan Bhakti Suci, Lindra Lie, mengatakan budaya Tionghoa tersebut sudah berlangsung turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Ia sendiri mengaku tidak tahu persis peristiwa yang melatarbelakangi. "Kami hanya mengikuti tradisi leluhur yang sudah berlangsung ratusan tahun," katanya.
Setiap tahun, panjang wangkang terus bertambah sekitar 5-10 centimeter. Mengingat jumlah roh yang diberangkatkan ke langit telah bertambah. Tahun ini panjang wangkang telah mencapai sekitar 20,80 cm. Sementara biaya pembangunan perahu berbahan kayu, kertas dan sedikit kain itu senilai lebih dari Rp20 juta.
Menurut Lindra, kegiatan itu memberikan kesempatan kepada warga Tionghoa yang tidak mampu menyampaikan doa dan pengharapan agar mendapatkan rezeki lebih baik dari sebelumnya. Sementara sebagian warga lainnya, bersumbangsih menyerahkan sumbangan makanan, bahan pokok dan lain-lain untuk bekal arwah leluhur.
"Kami mengambil sumbangan itu sejak pagi hingga pukul 12.00 WIB tadi. Dari rumah ke rumah, dan masyarakat ikhlas menyumbang apa saja yang mereka miliki," katanya.
Ia mengakui, banyak generasi muda Tionghoa, termasuk ia sendiri hanya meneruskan tradisi leluhur dan tidak begitu paham makna di balik acara tersebut. Namun hikmah yang dapat diambil adalah bagaimana kepedulian setiap warga Tionghoa terhadap kebersamaan dan penghormatan yang besar terhadap leluhur.
Pembakaran wangkang juga merupakan penutup dari ritual sembahyang kubur yang berlangsung sejak tanggal 1 bulan 7 tahun Imlek 2558 lalu. Hari penutup sembahyang kubur, disebut sebagai hari "Hantu". Sementara pada saat sembahyang kubur, banyak warga Tionghoa Kalbar yang merantau ke sejumlah daerah atau negara, akan pulang kampung ke Kalbar untuk mengunjungi kuburan orang tua atau leluhur.
Bukti adanya kepulangan ribuan warga Tionghoa, dapat ditunjukkan dengan tingginya arus penumpang maskapai penerbangan dari bandara Soekarno-Hatta tujuan Pontianak. Harga tiket pesawat menjadi "melambung" dua hingga tiga kali lipat dari harga normalnya. Lindra mengakui, kesempatan ini sama halnya dengan "moment" lebaran umat Islam dan Natal umat Kristiani. Warga Tionghoa akan pulang kampung dan merayakan bersama keluarga. Selain ada perayaan tahun baru Imlek dan Cap Go Meh, yakni hari ke-15 bulan pertama tahun Imlek.
Sebelum wangkang dibakar, sejumlah relawan tampak menurunkan terpal penutup dan merobohkan bangunan kayu yang menjadi tiang penyangga berdirinya perahu. Proses itu berlangsung sekitar 1 jam.
Pembakaran baru dilakukan pukul 17.00 WIB, namun hanya memakan waktu 15 menit. Perahu kertas berisi muatan bahan kebutuhan pokok, makanan siap santap, buah-buahan, dan uang kertas, serta miniatur kertas nakhoda kapal musnah dilahap api.
Tulisan pada spanduk putih yang menyerupai layar perahu, "Sung Hwuan Tek Lie", yang artinya Angin jalan dan selamat, tak luput dari jilatan api tersebut.
Suasana kompleks pemakaman Yayasan Bhakti Suci yang semula sejuk karena tiupan angin dan langit yang mendung, berubah menjadi panas karena kobaran api yang menyambar perahu tersebut. Warga pun mengabadikan "moment" setahun sekali itu dalam bidikan kamera telepon genggam dan kamera saku digital.
Seorang warga Parit Bugis, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Pontianak, Lili, 55, menyatakan telah sejak kecil menyaksikan pembakaran wangkang. Ia menyatakan sejak bayi saat maish di desa Semudun, Kabupaten Pontianak, telah diajak orang tuanya menyaksikan ritual tersebut karena diajarkan untuk menghormati leluhur.
Namun dalam ziarah makam tahun ini, ia tidak ikut serta, karena lokasi kuburan leluhur berada di desa Sumudun, sekitar 60 km dari Kota Pontianak. "Saya tidak punya uang untuk mendatangi kuburan nenek. Tetapi 'mak muda' (bibi-red) saya sudah mengunjungi kuburan nenek," katanya.
Janda berputra empat itu menyatakan tradisi mengunjungi makam leluhur dan menghadiri pembakaran wangkang ia berlakukan pula pada anak-anaknya. Upaya itu supaya lebih mendekatkan anak-anaknya tradisi yang sudah ada sehingga tidak melupakannya. "Ini anak saya umur 13 tahun mesti tahu juga," kata Lili yang lahir dari Menjalin, dan ikut mengungsi ke Pontianak bersama neneknya pada peristiwa PGRS/Paraku 1967 lalu.
(N005/
Pontianak, 27/8 (ANTARA) - Ribuan warga Tionghoa Kota Pontianak dan sekitarnya, menghadiri pembakaran Wangkang atau perahu pembawa roh leluhur menuju ke langit, dalam peringatan hari "Hantu", tanggal 15 bulan 7 tahun Imlek 2558, di komplek Pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Sungai Raya, Kabupaten Pontianak, Senin.
Wangkang atau perahu kertas berisi sejumlah bahan pokok dan makanan untuk bekal roh leluhur telah disiapkan sejak pagi. Secara bergantian warga Tionghoa mendatangi lokasi pembakaran yang berada di jalan Adisucipto, Kecamatan Sungai Raya itu untuk bersembahyang. Wangkang baru dibakar pukul 17.00 WIB dan disaksikan ribuan orang.
Ketua Yayasan Bhakti Suci, Lindra Lie, mengatakan budaya Tionghoa tersebut sudah berlangsung turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Ia sendiri mengaku tidak tahu persis peristiwa yang melatarbelakangi. "Kami hanya mengikuti tradisi leluhur yang sudah berlangsung ratusan tahun," katanya.
Setiap tahun, panjang wangkang terus bertambah sekitar 5-10 centimeter. Mengingat jumlah roh yang diberangkatkan ke langit telah bertambah. Tahun ini panjang wangkang telah mencapai sekitar 20,80 cm. Sementara biaya pembangunan perahu berbahan kayu, kertas dan sedikit kain itu senilai lebih dari Rp20 juta.
Menurut Lindra, kegiatan itu memberikan kesempatan kepada warga Tionghoa yang tidak mampu menyampaikan doa dan pengharapan agar mendapatkan rezeki lebih baik dari sebelumnya. Sementara sebagian warga lainnya, bersumbangsih menyerahkan sumbangan makanan, bahan pokok dan lain-lain untuk bekal arwah leluhur.
"Kami mengambil sumbangan itu sejak pagi hingga pukul 12.00 WIB tadi. Dari rumah ke rumah, dan masyarakat ikhlas menyumbang apa saja yang mereka miliki," katanya.
Ia mengakui, banyak generasi muda Tionghoa, termasuk ia sendiri hanya meneruskan tradisi leluhur dan tidak begitu paham makna di balik acara tersebut. Namun hikmah yang dapat diambil adalah bagaimana kepedulian setiap warga Tionghoa terhadap kebersamaan dan penghormatan yang besar terhadap leluhur.
Pembakaran wangkang juga merupakan penutup dari ritual sembahyang kubur yang berlangsung sejak tanggal 1 bulan 7 tahun Imlek 2558 lalu. Hari penutup sembahyang kubur, disebut sebagai hari "Hantu". Sementara pada saat sembahyang kubur, banyak warga Tionghoa Kalbar yang merantau ke sejumlah daerah atau negara, akan pulang kampung ke Kalbar untuk mengunjungi kuburan orang tua atau leluhur.
Bukti adanya kepulangan ribuan warga Tionghoa, dapat ditunjukkan dengan tingginya arus penumpang maskapai penerbangan dari bandara Soekarno-Hatta tujuan Pontianak. Harga tiket pesawat menjadi "melambung" dua hingga tiga kali lipat dari harga normalnya. Lindra mengakui, kesempatan ini sama halnya dengan "moment" lebaran umat Islam dan Natal umat Kristiani. Warga Tionghoa akan pulang kampung dan merayakan bersama keluarga. Selain ada perayaan tahun baru Imlek dan Cap Go Meh, yakni hari ke-15 bulan pertama tahun Imlek.
Sebelum wangkang dibakar, sejumlah relawan tampak menurunkan terpal penutup dan merobohkan bangunan kayu yang menjadi tiang penyangga berdirinya perahu. Proses itu berlangsung sekitar 1 jam.
Pembakaran baru dilakukan pukul 17.00 WIB, namun hanya memakan waktu 15 menit. Perahu kertas berisi muatan bahan kebutuhan pokok, makanan siap santap, buah-buahan, dan uang kertas, serta miniatur kertas nakhoda kapal musnah dilahap api.
Tulisan pada spanduk putih yang menyerupai layar perahu, "Sung Hwuan Tek Lie", yang artinya Angin jalan dan selamat, tak luput dari jilatan api tersebut.
Suasana kompleks pemakaman Yayasan Bhakti Suci yang semula sejuk karena tiupan angin dan langit yang mendung, berubah menjadi panas karena kobaran api yang menyambar perahu tersebut. Warga pun mengabadikan "moment" setahun sekali itu dalam bidikan kamera telepon genggam dan kamera saku digital.
Seorang warga Parit Bugis, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Pontianak, Lili, 55, menyatakan telah sejak kecil menyaksikan pembakaran wangkang. Ia menyatakan sejak bayi saat maish di desa Semudun, Kabupaten Pontianak, telah diajak orang tuanya menyaksikan ritual tersebut karena diajarkan untuk menghormati leluhur.
Namun dalam ziarah makam tahun ini, ia tidak ikut serta, karena lokasi kuburan leluhur berada di desa Sumudun, sekitar 60 km dari Kota Pontianak. "Saya tidak punya uang untuk mendatangi kuburan nenek. Tetapi 'mak muda' (bibi-red) saya sudah mengunjungi kuburan nenek," katanya.
Janda berputra empat itu menyatakan tradisi mengunjungi makam leluhur dan menghadiri pembakaran wangkang ia berlakukan pula pada anak-anaknya. Upaya itu supaya lebih mendekatkan anak-anaknya tradisi yang sudah ada sehingga tidak melupakannya. "Ini anak saya umur 13 tahun mesti tahu juga," kata Lili yang lahir dari Menjalin, dan ikut mengungsi ke Pontianak bersama neneknya pada peristiwa PGRS/Paraku 1967 lalu.
(N005/
KALBAR KEHILANGAN 130.398 HEKTAR KAWASAN HUTAN PADA SETIAP TAHUN
Pontianak, 27/6 (ANTARA) - Provinsi Kalimantan Barat mengalami kehilangan kawasan hutan seluas 130.398 hektar per tahun yang salah satu penyebabnya karena aktivitas illegal logging yang tidak terkendali.
Faktor lain yang menjadi penyebab hilangan kawasan hutan Kalbar, karena kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dengan kerugian secara ekonomi lebih dari Rp64 miliar, demikian keterangan tertulis EC-Indonesia FLEGT Support Project, sebuah Program Kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa di bidang Penegakan Hukum Kehutanan, Tata Kelola Pemerintah dan Perdagangan Kayu, yang diterima ANTARA di Pontianak, Rabu.
Kerugian ekologis dari kebakaran hutan nilainya juga sangat besar, yakni mencapai Rp2,5 triliun. Belum lagi akibat dari kegiatan pertambahan illegal yang menurut data Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kalbar pada 1999 tercatat ada 3.573 unit dompeng -- mesin pengeruk pasir untuk mencari emas -- yang beroperasi di sejumlah wilayah di Kalbar.
Namun, praktek pembalakan dan perambahan liar, tetap merupakan penyebab utama yang memberikan kontribusi besar terhadap laju kehilangan hutan di Kalbar hingga saat ini. Praktek itu dijalankan dengan sebuah sistem yang kokoh dan nyaris tidak tersentuh oleh hukum.
Menurut EC-Indonesia FLEGT Support Project, Departemen Kehutanan RI menyebut bahwa illegal logging dilakukan oleh suatu sistem bisnis kegiatan kriminal yang dikelola dengan baik dan memiliki pendukung yang kuat dengan jaringan kerja yang sangat ekstensif, sangat mantap dan kokoh sehingga sulit ditolak, diancam dan sebenarnya secara fisik mengancam otoritas penegakan hukum di Indonesia.
Selain itu, lemahnya sistem pengelolaan dan pemantauan pelestarian hutan serta terbatasnya komunikasi, koordinasi dan partisipasi para pihak dalam melindungi dan melestarikan hutan, juga memberikan andil bagi meningkatnya angkat kerusakan hutan. Kondisi tersebut diperparah dengan lemahnya sistem penegakan hukum terhadap pelaku pembalakan liar, serta rendahnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan praktek-praktek kejahatan kehutanan.
Untuk itu, diperlukan upaya kampanye menyeluruh antipembalakan dan perambahan liar yang melibatkan banyak pihak yang dilakukan secara komprehensif dan strategis.
Berkaitan itu, EC-Indonesia FLEGT Support Project, menyelenggarakan Kuliah Umum Hutan dan Upaya Perlindungan Hutan di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak pada hari ini.
Kuliah umum tersebut akan menampilkan narasumber angota Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Kamar Akademisi dan juga pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Dr Sofyan Warsito dan Sekretaris Eksekutif Seknas FKKM, Ir Muayat Ali Muhshi. Keduanya menyampaikan materi mengenai "Peta Kondisi Hutan Indonesia dari Masa ke Masa: Fungsi dan Kerusakannya", dan "Pengelolaan dan Perlindungan Hutan, Peluang Peran serta Masyarakat dan Perguruan Tinggi".
(N005/
Pontianak, 27/6 (ANTARA) - Provinsi Kalimantan Barat mengalami kehilangan kawasan hutan seluas 130.398 hektar per tahun yang salah satu penyebabnya karena aktivitas illegal logging yang tidak terkendali.
Faktor lain yang menjadi penyebab hilangan kawasan hutan Kalbar, karena kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dengan kerugian secara ekonomi lebih dari Rp64 miliar, demikian keterangan tertulis EC-Indonesia FLEGT Support Project, sebuah Program Kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa di bidang Penegakan Hukum Kehutanan, Tata Kelola Pemerintah dan Perdagangan Kayu, yang diterima ANTARA di Pontianak, Rabu.
Kerugian ekologis dari kebakaran hutan nilainya juga sangat besar, yakni mencapai Rp2,5 triliun. Belum lagi akibat dari kegiatan pertambahan illegal yang menurut data Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kalbar pada 1999 tercatat ada 3.573 unit dompeng -- mesin pengeruk pasir untuk mencari emas -- yang beroperasi di sejumlah wilayah di Kalbar.
Namun, praktek pembalakan dan perambahan liar, tetap merupakan penyebab utama yang memberikan kontribusi besar terhadap laju kehilangan hutan di Kalbar hingga saat ini. Praktek itu dijalankan dengan sebuah sistem yang kokoh dan nyaris tidak tersentuh oleh hukum.
Menurut EC-Indonesia FLEGT Support Project, Departemen Kehutanan RI menyebut bahwa illegal logging dilakukan oleh suatu sistem bisnis kegiatan kriminal yang dikelola dengan baik dan memiliki pendukung yang kuat dengan jaringan kerja yang sangat ekstensif, sangat mantap dan kokoh sehingga sulit ditolak, diancam dan sebenarnya secara fisik mengancam otoritas penegakan hukum di Indonesia.
Selain itu, lemahnya sistem pengelolaan dan pemantauan pelestarian hutan serta terbatasnya komunikasi, koordinasi dan partisipasi para pihak dalam melindungi dan melestarikan hutan, juga memberikan andil bagi meningkatnya angkat kerusakan hutan. Kondisi tersebut diperparah dengan lemahnya sistem penegakan hukum terhadap pelaku pembalakan liar, serta rendahnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan praktek-praktek kejahatan kehutanan.
Untuk itu, diperlukan upaya kampanye menyeluruh antipembalakan dan perambahan liar yang melibatkan banyak pihak yang dilakukan secara komprehensif dan strategis.
Berkaitan itu, EC-Indonesia FLEGT Support Project, menyelenggarakan Kuliah Umum Hutan dan Upaya Perlindungan Hutan di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak pada hari ini.
Kuliah umum tersebut akan menampilkan narasumber angota Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Kamar Akademisi dan juga pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Dr Sofyan Warsito dan Sekretaris Eksekutif Seknas FKKM, Ir Muayat Ali Muhshi. Keduanya menyampaikan materi mengenai "Peta Kondisi Hutan Indonesia dari Masa ke Masa: Fungsi dan Kerusakannya", dan "Pengelolaan dan Perlindungan Hutan, Peluang Peran serta Masyarakat dan Perguruan Tinggi".
(N005/
PEMKOT PONTIANAK PERTAHANKAN JEMBATAN KAYU SUNGAI KAPUAS
Pontianak, 3/9 (ANTARA) - Pemerintah Kota Pontianak akan tetap mempertahankan keberadaan jembatan kayu di pinggir sungai Kapuas yang sambung-menyambung antara satu kampung dengan lainnya, yang menjadi jembatan kayu terpanjang di dunia sebagai ciri khas kota tersebut.
"Ada satu ciri khas Kota Pontianak yang mesti dipertahankan, jembatan kayu yang sudah ada sejak dahulu. Ada keinginan warga agar jembatan yang menyisir pinggir sungai Kapuas itu dibangun dari beton. Tetapi kami menginginkan agar ciri khas kayunya tetap dipertahankan," kata Wakil Walikota Pontianak Sutarmidji, saat menjadi pembicara dalam diskusi publik "Kebijakan Pembangunan di Kota Pontianak", Senin.
Jika masyarakat menghendaki pembangunan kembali jembatan itu, ia mengatakan hendaknya ciri khas kayu tetap dipertahankan dan bukan dibangun ulang dari bahan semen atau beton. "Jika untuk tiang mungkin bisa dari bahan beton. Tetapi untuk lantai, tetap dari kayu," jelasnya.
Menurutnya, dalam membangun jembatan, tidak mesti mengikuti keinginan masyarakat yang menyatakan telah bosan dengan jembatan kayu dan menginginkan jembatan beton. Keberadaan jembatan kayu tersebut, menjadi objek atau daya tarik tersendiri bagi kota.
Selain tetap mempertahankan jembatan di sepanjang sungai Kapuas, Wakil Walikota itu juga menyatakan Pemkot Pontianak akan tetap mempertahankan beberapa bangun tua yang masih ada sampai saat ini. Bangunan itu di antaranya kantor Pos (lama) Jl Rahadi Osman yang dibangun masa penjajahan Belanda.
Kemudian bangunan Sekolah Dasar Negeri 14, Jl Tamar yang juga berusia ratusan tahun. Sekolah dasar bergaya Melayu tersebut akan direnovasi namun tetap mempertahankan bentuk bangunan aslinya.
Meski menjadikan Pontianak sebagai kota jasa dan perdagangan, menurut Sutarmidji, pemerintah merencanakan kondisi di Parit Besar dari Jl Tanjungpura - Jl Barito yang merupakan pusat pertokoan tua dapat tetap dipertahankan. "Lokasi itu akan menjadi 'kota tua' dan akan tetap dipertahankan. Kita tidak bisa mengubah kota dalam waktu sekejap," katanya.
Sementara itu, Penulis dan Budayawan, A Halim Ramli menyatakan, Kota Pontianak juga mesti membangun seni publik guna menampilkan "wajah indah" kota tersebut.
Adapun bentuk bangunan baru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri I, di Jl Jenderal Urip Sumohardjo Pontianak yang bergaya kuno dan kini menjadi modern, menurutnya hal itu tidak menjadi masalah. "Bangunan tua SLTPN I memang tidak layak dipertahankan. Ketradisionalannya tidak perlu dipertahankan," katanya. Bentuk bangunan yang ada saat ini sangat menarik dan indah, bahkan seperti sebuah bangunan hotel.
Sedangkan mengenai bangunan penjara, menurut Halim Ramli, sudah saatnya tidak dibangun dengan bentuk yang menunjukkan simbol penjara yang selalu digambarkan menakutkan. "Alangkah baik kalau penjara juga dibangun tidak seperti penjara," kata Halim Ramli yang juga menciptakan maskot Burung Enggang untuk Kalimantan Barat itu.
Diskusi Publik tersebut digelar berkaitan pameran tunggal fotografer Lukas B Wijanarko yang didukung oleh media partner seperti Radio Sonora, LKBN ANTARA, Harian Borneo Tribune, dan Ruai TV. Pameran berlangsung pada 3 September - 4 Oktober, dibuka oleh Anggota DPR RI Akil Mochtar di hotel Gajah Mada Pontianak.
(N005/
Pontianak, 3/9 (ANTARA) - Pemerintah Kota Pontianak akan tetap mempertahankan keberadaan jembatan kayu di pinggir sungai Kapuas yang sambung-menyambung antara satu kampung dengan lainnya, yang menjadi jembatan kayu terpanjang di dunia sebagai ciri khas kota tersebut.
"Ada satu ciri khas Kota Pontianak yang mesti dipertahankan, jembatan kayu yang sudah ada sejak dahulu. Ada keinginan warga agar jembatan yang menyisir pinggir sungai Kapuas itu dibangun dari beton. Tetapi kami menginginkan agar ciri khas kayunya tetap dipertahankan," kata Wakil Walikota Pontianak Sutarmidji, saat menjadi pembicara dalam diskusi publik "Kebijakan Pembangunan di Kota Pontianak", Senin.
Jika masyarakat menghendaki pembangunan kembali jembatan itu, ia mengatakan hendaknya ciri khas kayu tetap dipertahankan dan bukan dibangun ulang dari bahan semen atau beton. "Jika untuk tiang mungkin bisa dari bahan beton. Tetapi untuk lantai, tetap dari kayu," jelasnya.
Menurutnya, dalam membangun jembatan, tidak mesti mengikuti keinginan masyarakat yang menyatakan telah bosan dengan jembatan kayu dan menginginkan jembatan beton. Keberadaan jembatan kayu tersebut, menjadi objek atau daya tarik tersendiri bagi kota.
Selain tetap mempertahankan jembatan di sepanjang sungai Kapuas, Wakil Walikota itu juga menyatakan Pemkot Pontianak akan tetap mempertahankan beberapa bangun tua yang masih ada sampai saat ini. Bangunan itu di antaranya kantor Pos (lama) Jl Rahadi Osman yang dibangun masa penjajahan Belanda.
Kemudian bangunan Sekolah Dasar Negeri 14, Jl Tamar yang juga berusia ratusan tahun. Sekolah dasar bergaya Melayu tersebut akan direnovasi namun tetap mempertahankan bentuk bangunan aslinya.
Meski menjadikan Pontianak sebagai kota jasa dan perdagangan, menurut Sutarmidji, pemerintah merencanakan kondisi di Parit Besar dari Jl Tanjungpura - Jl Barito yang merupakan pusat pertokoan tua dapat tetap dipertahankan. "Lokasi itu akan menjadi 'kota tua' dan akan tetap dipertahankan. Kita tidak bisa mengubah kota dalam waktu sekejap," katanya.
Sementara itu, Penulis dan Budayawan, A Halim Ramli menyatakan, Kota Pontianak juga mesti membangun seni publik guna menampilkan "wajah indah" kota tersebut.
Adapun bentuk bangunan baru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri I, di Jl Jenderal Urip Sumohardjo Pontianak yang bergaya kuno dan kini menjadi modern, menurutnya hal itu tidak menjadi masalah. "Bangunan tua SLTPN I memang tidak layak dipertahankan. Ketradisionalannya tidak perlu dipertahankan," katanya. Bentuk bangunan yang ada saat ini sangat menarik dan indah, bahkan seperti sebuah bangunan hotel.
Sedangkan mengenai bangunan penjara, menurut Halim Ramli, sudah saatnya tidak dibangun dengan bentuk yang menunjukkan simbol penjara yang selalu digambarkan menakutkan. "Alangkah baik kalau penjara juga dibangun tidak seperti penjara," kata Halim Ramli yang juga menciptakan maskot Burung Enggang untuk Kalimantan Barat itu.
Diskusi Publik tersebut digelar berkaitan pameran tunggal fotografer Lukas B Wijanarko yang didukung oleh media partner seperti Radio Sonora, LKBN ANTARA, Harian Borneo Tribune, dan Ruai TV. Pameran berlangsung pada 3 September - 4 Oktober, dibuka oleh Anggota DPR RI Akil Mochtar di hotel Gajah Mada Pontianak.
(N005/
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN ANCAM KELESTARIAN SATWA
Pontianak, 29/8 (ANTARA) - Kebakaran hutan dan lahan yang selalu berulang setiap tahun di beberapa wilayah di Indonesia, telah mengancam kelestarian satwa yang hidup di kawasan hutan dan lahan yang terbakar tersebut.
"Kebakaran hutan dan lahan menurunkan populasi binatang seperti mamalia, reptil, dan burung," kata dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat (Kalbar), Effendi Manullang, di Pontianak, Senin.
Berbicara dalam seminar "Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan terhadap Populasi Satwa di Kalimantan Barat", Manullang mengatakan, kebakaran hutan dan lahan telah menimbulkan berbagai dampak negatif, terutama yang berkaitan dengan persoalan lingkungan.
Dampak negatif akibat kebakaran hutan dan lahan, antara lain kerugian ekonomis, kerugian ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati dan estetika, menurunnya populasi satwa, perubahan iklim mikro maupun global, serta terganggunya transportasi baik darat, perairan, maupun udara.
Dampak langsung kebakaran hutan dan lahan terhadap populasi satwa, menyebabkan terjadinya perpindahan satwa ke tempat lain atau mati terbakar, sehingga populasi satwa itu menjadi berkurang, katanya.
Sementara menurut Koordinator Alliance for Kalimantan Rescue (AKAR), Yuyun Kurniawan, sebagai ancaman paling nyata bagi kelangsungan hidupan liar di Kalbar, meliputi fragmentasi kawasan, konversi lahan dan perdagangan satwa secara illegal.
"Ancaman dari kebakaran hutan sejauh ini belum menunjukkan dampak yang signifikan," katanya, Namun ia menambahkan, ancaman itu bisa saja terjadi pada beberapa daerah yang mempunyai kelimpahan jenis satwa yang cukup tinggi dan tersebar di wilayah rawan kebakaran.
Untuk kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalbar, menurut ia, dari pantauan melalui satelit NOAA terjadi pada daerah dataran rendah yang sebagian besar merupakan daerah perladangan dan hutan sekunder muda.
Sehingga jika dilihat dari tipe kawasannya, keragaman jenis satwa pada kawasan itu tergolong rendah.
Menurut ia lagi, sampai saat ini wilayah sangat rawan terjadi kebakaran adalah areal peladangan, dengan dua tipe kawasan yakni bawas dan tembawang. Jika dilihat dari keragaman dan kelimpahan satwa, dampak kebakaran hutan pada areal tipe bawas dapat dikatakan sangat kecil.
Namun untuk areal peladangan yang sudah membentuk tembawang, biasanya pada areal ini sudah cukup lama ditingggalkan dalam periode peladangan dan satwa yang ada di areal itu lebih bervariasi.
Jika kebakaran hutan terjadi para areal konsesi perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI), dampaknya bagi satwa, sangat tergantung dari tipe hutan yang dicadangkan itu. Apabila kawasan itu merupakan hamparan lahan kritis, maka dampak terhadap hidupan satwa tidak jauh berbeda dengan kebakaran yang terjadi pada areal peladangan.
Akan tetapi, menurut ia lagi, dewasa ini sebagian besar kawasan yang dikonsesikan untuk perkebunan dan HTI adalah kawasan hutan bekas penebangan sampai dengan kawasan hutan primer. "Sehingga jelaslah, pembersihan lahan dengan sistem pembakaran akan menimbulkan dampak sangat besar bagi satwa yang hidup di kawasan itu," tandasnya.
Sementara untuk kebakaran hutan di areal hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan lindung, sampai saat ini belum menunjukkan intensitad yang tinggi. Meski diakui, hampir setiap tahun selalu terjadi kebakaran hutan di kawasan lindung atau konservasi yang memiliki tipe kawasan gambut.
Namun begitu, ia menyatakan belum ada catatan pasti mengenai dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap satwa di Kalbar.
Menurut Koordinator Divisi Investigasi Yayasan Titian-Pontianak -- bergerak di isu lingkungan -- itu, permasalahan yang mengemuka saat ini yang terkait dengan penyusutan populasi satwa, baru teridentifikasi sebagai akibat aktifitas penebangan dan perburuan untuk tujuan konsumsi dan perdagangan, dalam keadaan hidup sebagai satwa peliharaan, bahan obat-obatan, souvenir, dll.
Perbuatan manusia
Di lain hal, pembicara dari Untan, Effendi Manullang menambahkan, penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalbar umumnya akibat perbuatan manusia, karena aktifitas membakar lahan yang dipandang sebagai cara paling murah, mudah dan cepat.
Ia menambahkan, pengembangan alternatif lain untuk pembukaan lahan tanpa bakar yang dapat diaplikasikan masyarakat belum dapat dikembangkan. "Karena pembakaran hutan dan lahan dilakukan masyarakat yang masih menggantungkan hidup pada sistem pertanian perladangan berpindah yang sulit ditinggalkan karena merupakan tradisi," katanya.
Pembakaran hutan dan lahan, menurut ia juga dilakukan elah perusahaan, baik perusahaan hutan tanaman, perkebunan, dan lainnya yang masih melaksanakan sistem tebas dan bakar dalam pembersihan lahan, jelasnya.
Sedangkang Bambang Prihanung, dari Dinas Kehutanan Kalbar, mengatakan kebakaran hutan dan lahan menimbulkan kerusakan pada tegakan hutan, lantai hutan, iklim mikro hutan dan lahan yang secara holistik membentuk ekosistem bagi kehidupan satwa baik yang dilindungi maupun tidak.
Panas api kebakaran hutan membunuh serangga dan tumbuhan yang hidup di lantai maupun di lapisan solum tanah hutan. Serangga itu merupakan makanan bagi jenis satwa yang lebih tinggi tingkatannya. "Sehingga kebakatan hutan dan lahan akan memotong siklus kehidupan satwan baik jenis aves, reptil maupun mamalia," katanya.
Rusaknya hutan sebagai akibat kebakaran juga menimbulkan terjadinya pengurangan wilayah jelajah satwa, dan memotong jalur migrasi satwa.
Data Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Japan International Cooperation Agency (JICA) menyebutkan, pada tahun 1997 terjadi bencana nasional kebakaran hutan di 25 provinsi dengan luas hutan yang terbakar mencapai 263.992,00 hektare.
Pontianak, 29/8 (ANTARA) - Kebakaran hutan dan lahan yang selalu berulang setiap tahun di beberapa wilayah di Indonesia, telah mengancam kelestarian satwa yang hidup di kawasan hutan dan lahan yang terbakar tersebut.
"Kebakaran hutan dan lahan menurunkan populasi binatang seperti mamalia, reptil, dan burung," kata dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat (Kalbar), Effendi Manullang, di Pontianak, Senin.
Berbicara dalam seminar "Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan terhadap Populasi Satwa di Kalimantan Barat", Manullang mengatakan, kebakaran hutan dan lahan telah menimbulkan berbagai dampak negatif, terutama yang berkaitan dengan persoalan lingkungan.
Dampak negatif akibat kebakaran hutan dan lahan, antara lain kerugian ekonomis, kerugian ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati dan estetika, menurunnya populasi satwa, perubahan iklim mikro maupun global, serta terganggunya transportasi baik darat, perairan, maupun udara.
Dampak langsung kebakaran hutan dan lahan terhadap populasi satwa, menyebabkan terjadinya perpindahan satwa ke tempat lain atau mati terbakar, sehingga populasi satwa itu menjadi berkurang, katanya.
Sementara menurut Koordinator Alliance for Kalimantan Rescue (AKAR), Yuyun Kurniawan, sebagai ancaman paling nyata bagi kelangsungan hidupan liar di Kalbar, meliputi fragmentasi kawasan, konversi lahan dan perdagangan satwa secara illegal.
"Ancaman dari kebakaran hutan sejauh ini belum menunjukkan dampak yang signifikan," katanya, Namun ia menambahkan, ancaman itu bisa saja terjadi pada beberapa daerah yang mempunyai kelimpahan jenis satwa yang cukup tinggi dan tersebar di wilayah rawan kebakaran.
Untuk kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalbar, menurut ia, dari pantauan melalui satelit NOAA terjadi pada daerah dataran rendah yang sebagian besar merupakan daerah perladangan dan hutan sekunder muda.
Sehingga jika dilihat dari tipe kawasannya, keragaman jenis satwa pada kawasan itu tergolong rendah.
Menurut ia lagi, sampai saat ini wilayah sangat rawan terjadi kebakaran adalah areal peladangan, dengan dua tipe kawasan yakni bawas dan tembawang. Jika dilihat dari keragaman dan kelimpahan satwa, dampak kebakaran hutan pada areal tipe bawas dapat dikatakan sangat kecil.
Namun untuk areal peladangan yang sudah membentuk tembawang, biasanya pada areal ini sudah cukup lama ditingggalkan dalam periode peladangan dan satwa yang ada di areal itu lebih bervariasi.
Jika kebakaran hutan terjadi para areal konsesi perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI), dampaknya bagi satwa, sangat tergantung dari tipe hutan yang dicadangkan itu. Apabila kawasan itu merupakan hamparan lahan kritis, maka dampak terhadap hidupan satwa tidak jauh berbeda dengan kebakaran yang terjadi pada areal peladangan.
Akan tetapi, menurut ia lagi, dewasa ini sebagian besar kawasan yang dikonsesikan untuk perkebunan dan HTI adalah kawasan hutan bekas penebangan sampai dengan kawasan hutan primer. "Sehingga jelaslah, pembersihan lahan dengan sistem pembakaran akan menimbulkan dampak sangat besar bagi satwa yang hidup di kawasan itu," tandasnya.
Sementara untuk kebakaran hutan di areal hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan lindung, sampai saat ini belum menunjukkan intensitad yang tinggi. Meski diakui, hampir setiap tahun selalu terjadi kebakaran hutan di kawasan lindung atau konservasi yang memiliki tipe kawasan gambut.
Namun begitu, ia menyatakan belum ada catatan pasti mengenai dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap satwa di Kalbar.
Menurut Koordinator Divisi Investigasi Yayasan Titian-Pontianak -- bergerak di isu lingkungan -- itu, permasalahan yang mengemuka saat ini yang terkait dengan penyusutan populasi satwa, baru teridentifikasi sebagai akibat aktifitas penebangan dan perburuan untuk tujuan konsumsi dan perdagangan, dalam keadaan hidup sebagai satwa peliharaan, bahan obat-obatan, souvenir, dll.
Perbuatan manusia
Di lain hal, pembicara dari Untan, Effendi Manullang menambahkan, penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalbar umumnya akibat perbuatan manusia, karena aktifitas membakar lahan yang dipandang sebagai cara paling murah, mudah dan cepat.
Ia menambahkan, pengembangan alternatif lain untuk pembukaan lahan tanpa bakar yang dapat diaplikasikan masyarakat belum dapat dikembangkan. "Karena pembakaran hutan dan lahan dilakukan masyarakat yang masih menggantungkan hidup pada sistem pertanian perladangan berpindah yang sulit ditinggalkan karena merupakan tradisi," katanya.
Pembakaran hutan dan lahan, menurut ia juga dilakukan elah perusahaan, baik perusahaan hutan tanaman, perkebunan, dan lainnya yang masih melaksanakan sistem tebas dan bakar dalam pembersihan lahan, jelasnya.
Sedangkang Bambang Prihanung, dari Dinas Kehutanan Kalbar, mengatakan kebakaran hutan dan lahan menimbulkan kerusakan pada tegakan hutan, lantai hutan, iklim mikro hutan dan lahan yang secara holistik membentuk ekosistem bagi kehidupan satwa baik yang dilindungi maupun tidak.
Panas api kebakaran hutan membunuh serangga dan tumbuhan yang hidup di lantai maupun di lapisan solum tanah hutan. Serangga itu merupakan makanan bagi jenis satwa yang lebih tinggi tingkatannya. "Sehingga kebakatan hutan dan lahan akan memotong siklus kehidupan satwan baik jenis aves, reptil maupun mamalia," katanya.
Rusaknya hutan sebagai akibat kebakaran juga menimbulkan terjadinya pengurangan wilayah jelajah satwa, dan memotong jalur migrasi satwa.
Data Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Japan International Cooperation Agency (JICA) menyebutkan, pada tahun 1997 terjadi bencana nasional kebakaran hutan di 25 provinsi dengan luas hutan yang terbakar mencapai 263.992,00 hektare.
AKTIVIS LINGKUNGAN KECEWA VONIS BEBAS PEMBAKAR LAHAN
Singkawang, 17/8 (ANTARA) - Aktivis lingkungan di Kalimantan Barat menyatakan kekecewaannya atas putusan bebas Pengadilan Negeri Singkawang terhadap dua terdakwa kasus pembakaran lahan di Kabupaten Sambas.
"Putusan itu bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum lingkungan di Kalbar," kata Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan (salah satu LSM peduli lingkungan di Kalbar-red), Laely Khainur di Singkawang, Jumat.
Apalagi, menurut ia, saat ini masih ada tujuh kasus pembakaran lahan yang belum disidangkang. Kasus PT WSP dan PT BCP, merupakan kasus pembakaran lahan pertama yang sampai ke pengadilan," katanya.
Sebelumnya, sidang kasus pembakaran lahan dengan dua tersangka perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Sambas, PT Wilmar Sambas Plantation (PT WSP) dan PT Buluh Cawang Plantation (PT BCP), Kamis kemarin, telah divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Singkawang.
Menurut Laely, pihaknya akan segera membuat kajian terhadap putusan mejelis hakim itu. Bahkan Lembaganya akan melaporkannya persoalan itu ke Komisi Yudisial (KY) dan meminta eksaminasi, apakah keputusan ini telah sesuai dengan ilmu hukum lingkungan dan undang-undang lingkungan yang berlaku.
Kasus pembakaran lahan di Kabupaten Sambas menyeret dua anak perusahaan PT Wilmar Group. Perkaranya dipecah dalam dua berkas perkara, namun dengan majelis hakim yang sama, dan diketuai oleh Antony Syarif.
Penanggung jawab operasional kebun PT WSP, berlokasi di Desa Sijang, Kecamatan Galing, Muhibbi Bin H Nasir BS, diajukan sebagai terdakwa dengan register perkara Nomor: 52/Pid.B/2007/PN SKW.
Dalam dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Sambas, Taliwondo dan Tri Lestari disebutkan, perbuatan terdakwa dianggap mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup seluas 800 Ha dari 14.100 Ha luas lahan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh PT WSP.
Perbuatan yang sama, juga didakwakan terhadap Ir Basuki Rahmat Joyo Jali sebagai pimpinan operasional PT BCP yang berada di di Desa Mentibar Kecamatan Paloh.
Areal yang dipermasalahkan seluas 1000 hektar dari 14000 hektar yang dimiliki oleh PT BCP.
Terhadap keduanya, dalam dakwaan primair-nya, JPU menilai, telah melanggar Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 47 UU RI Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sebagai dasar dari pengajuan dakwaan dan tuntutan JPU, selain mengacu pada keterangan saksi, terdakwa dan bukti-bukti yang ada, juga mengacu pada hasil pengambilan sampel yang terdiri dari tanah gambut terbakar, arang bekas terbakar, gambut terganggu terbakar dan tumbuhan bawah tumbuh setelah terbakar.
Sampel lainnya, berupa tanaman pakis dan tumbuhan bawah yang terbakar, tumbuhan bawah tebasan terbakar, kelapa sawit, gambut tidak terbakar, gambut tidak terganggu tidak terbakar dan kantong semar.
Seluruh sampel yang diambil tersebut telah dianalisis pada Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan IPB. Hasilnya kemudian dituangkan dalam surat keterangan ahli kebakaran hutan dan lahan yang dibuat oleh Dr Bambang Hero Saharjo M. Agr, dan Dr Basuki Wasis.
Namun majelis hakim berpendapat dakwaan primer tidak terbukti.
Alasan yang disampaikan majelis hakim, lebih condong pada isi pembelaan dan replik kedua terdakwa. Bahwa terhadap alat bukti berupa dua surat yaitu, Surat Penghitungan emisi gas-gas rumah kaca dan partikel dari pembakaran dari perkebunan kelapa sawit PT. WSP dan PT. BCP oleh Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr.
Dan surat Keterangan Saksi Ahli Tanah Perusakan Hutan dan Lahan yang dibuat dan ditandatangani pada 27 Oktober 2006, bukan bernilai sebagai dua alat bukti, melainkan harus dianggap sebagai satu alat bukti saja. Sehingga, bila mengacu pada Pasal 183 KUHAP, tidak memenuhi batas minimal alat bukti.
Dalam dakwaan dan tuntutan JPU yang bersifat subsideritas, kedua terdakwa sempat dituntut pidana dengan dakwaan subsidair yaitu Pasal 42 ayat (1) jo Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 47 UU RI No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Majelis hakim berpendapat, unsur kelalaian yang dituduhkan terhadap terdakwa tak ada hubungan secara krusial. Apalagi dari fakta-fakta di persidangan sumber api berasal dari lahan milik warga yang menjalar ke lahan perusahaan.
Begitu pula dengan upaya yang dilakukan terdakwa dinilai telah maksimal dalam memadamkan api, tapi karena tiupan angin dan kondisi musim kemarau membuat upaya pemadaman menjadi sulit dilakukan.
Karenanya, kebakaran yang terjadi pada areal perusahaan perkebunan kelapa sawit PT WSP dan PT BCP, bukan disebabkan faktor kesengajaan maupun faktor kelalaian dari terdakwa, tetapi dari luar. Artinya kebakaran yang terjadi bukan mutlak disebabkan oleh terdakwa.
JPU Tri Lestari, menyatakan akan pikir-pikir dengan putusan tersebut.
(PK-YK*N005/
Singkawang, 17/8 (ANTARA) - Aktivis lingkungan di Kalimantan Barat menyatakan kekecewaannya atas putusan bebas Pengadilan Negeri Singkawang terhadap dua terdakwa kasus pembakaran lahan di Kabupaten Sambas.
"Putusan itu bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum lingkungan di Kalbar," kata Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan (salah satu LSM peduli lingkungan di Kalbar-red), Laely Khainur di Singkawang, Jumat.
Apalagi, menurut ia, saat ini masih ada tujuh kasus pembakaran lahan yang belum disidangkang. Kasus PT WSP dan PT BCP, merupakan kasus pembakaran lahan pertama yang sampai ke pengadilan," katanya.
Sebelumnya, sidang kasus pembakaran lahan dengan dua tersangka perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Sambas, PT Wilmar Sambas Plantation (PT WSP) dan PT Buluh Cawang Plantation (PT BCP), Kamis kemarin, telah divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Singkawang.
Menurut Laely, pihaknya akan segera membuat kajian terhadap putusan mejelis hakim itu. Bahkan Lembaganya akan melaporkannya persoalan itu ke Komisi Yudisial (KY) dan meminta eksaminasi, apakah keputusan ini telah sesuai dengan ilmu hukum lingkungan dan undang-undang lingkungan yang berlaku.
Kasus pembakaran lahan di Kabupaten Sambas menyeret dua anak perusahaan PT Wilmar Group. Perkaranya dipecah dalam dua berkas perkara, namun dengan majelis hakim yang sama, dan diketuai oleh Antony Syarif.
Penanggung jawab operasional kebun PT WSP, berlokasi di Desa Sijang, Kecamatan Galing, Muhibbi Bin H Nasir BS, diajukan sebagai terdakwa dengan register perkara Nomor: 52/Pid.B/2007/PN SKW.
Dalam dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Sambas, Taliwondo dan Tri Lestari disebutkan, perbuatan terdakwa dianggap mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup seluas 800 Ha dari 14.100 Ha luas lahan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh PT WSP.
Perbuatan yang sama, juga didakwakan terhadap Ir Basuki Rahmat Joyo Jali sebagai pimpinan operasional PT BCP yang berada di di Desa Mentibar Kecamatan Paloh.
Areal yang dipermasalahkan seluas 1000 hektar dari 14000 hektar yang dimiliki oleh PT BCP.
Terhadap keduanya, dalam dakwaan primair-nya, JPU menilai, telah melanggar Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 47 UU RI Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sebagai dasar dari pengajuan dakwaan dan tuntutan JPU, selain mengacu pada keterangan saksi, terdakwa dan bukti-bukti yang ada, juga mengacu pada hasil pengambilan sampel yang terdiri dari tanah gambut terbakar, arang bekas terbakar, gambut terganggu terbakar dan tumbuhan bawah tumbuh setelah terbakar.
Sampel lainnya, berupa tanaman pakis dan tumbuhan bawah yang terbakar, tumbuhan bawah tebasan terbakar, kelapa sawit, gambut tidak terbakar, gambut tidak terganggu tidak terbakar dan kantong semar.
Seluruh sampel yang diambil tersebut telah dianalisis pada Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan IPB. Hasilnya kemudian dituangkan dalam surat keterangan ahli kebakaran hutan dan lahan yang dibuat oleh Dr Bambang Hero Saharjo M. Agr, dan Dr Basuki Wasis.
Namun majelis hakim berpendapat dakwaan primer tidak terbukti.
Alasan yang disampaikan majelis hakim, lebih condong pada isi pembelaan dan replik kedua terdakwa. Bahwa terhadap alat bukti berupa dua surat yaitu, Surat Penghitungan emisi gas-gas rumah kaca dan partikel dari pembakaran dari perkebunan kelapa sawit PT. WSP dan PT. BCP oleh Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr.
Dan surat Keterangan Saksi Ahli Tanah Perusakan Hutan dan Lahan yang dibuat dan ditandatangani pada 27 Oktober 2006, bukan bernilai sebagai dua alat bukti, melainkan harus dianggap sebagai satu alat bukti saja. Sehingga, bila mengacu pada Pasal 183 KUHAP, tidak memenuhi batas minimal alat bukti.
Dalam dakwaan dan tuntutan JPU yang bersifat subsideritas, kedua terdakwa sempat dituntut pidana dengan dakwaan subsidair yaitu Pasal 42 ayat (1) jo Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 47 UU RI No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Majelis hakim berpendapat, unsur kelalaian yang dituduhkan terhadap terdakwa tak ada hubungan secara krusial. Apalagi dari fakta-fakta di persidangan sumber api berasal dari lahan milik warga yang menjalar ke lahan perusahaan.
Begitu pula dengan upaya yang dilakukan terdakwa dinilai telah maksimal dalam memadamkan api, tapi karena tiupan angin dan kondisi musim kemarau membuat upaya pemadaman menjadi sulit dilakukan.
Karenanya, kebakaran yang terjadi pada areal perusahaan perkebunan kelapa sawit PT WSP dan PT BCP, bukan disebabkan faktor kesengajaan maupun faktor kelalaian dari terdakwa, tetapi dari luar. Artinya kebakaran yang terjadi bukan mutlak disebabkan oleh terdakwa.
JPU Tri Lestari, menyatakan akan pikir-pikir dengan putusan tersebut.
(PK-YK*N005/
SEBANYAK 12 KELOMPOK PENAMBANG EMAS BEROPERASI DI MAKAM JUANG MANDOR
Pontianak, 29/6 (ANTARA) - Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kalimantan Barat, Tri Budiarto menyatakan saat ini terdapat sebanyak 12 kelompok penambang emas tanpa izin yang beroperasi di kawasan konservasi Makam Juang Mandor, Kabupaten Landak.
"Setiap kelompok beranggota 8 - 12 orang. Dalam seharinya, setiap kelompok memproduksi 7 gram emas dan dibantu mesin dompeng," kata Tri Budiarto di Pontianak, Jumat.
Ia mengatakan, aktivitas PETI mulai merambah kompleks Makam Juang Mandor diperkirakan terjadi pada sekitar tahun 1980an. Namun dalam sejarahnya, PETI di Kalbar sudah ada sejak abad 18 secara kecil-kecilan dari sungai ke sungai oleh orang Tionghoa. Komunitas penambangan terbesarnya di Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang.
Dinas Pertambangan, menurut Tri, pernah membagikan alat penghisap merkuri di kawasan PETI Mandor, namun hingga kini tidak diketahui secara pasti apakah alat yang disebut mercury retor tersebut dipergunakan oleh masyarakat penambang. Ia menduga alat itu tidak berguna, karena saat dibagikan kepada penambang tidak disertai dengan penjelasan cara penggunaan alat tersebut, sehingga penambang enggan memakainya.
Kompleks Makam Juang Mandor merupakan kawasan konservasi yang pengawasannya di bawah kewenangan Departemen Kehutanan RI, melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Sementara itu, seorang Peneliti Sejarah Kalbar, Sudarto, 73, mengatakan, penambangan emas di Kalbar sudah berlangsung sejak 1830 dengan lokasi Mandor dan Monterado. Ia mengatakan asal mula penambangan emas dilakukan oleh warga Tionghoa atas seizin Sultan Pontianak.
Mengenai kaitannya dengan lokasi penambangan emas yang berada di dalam kompleks Makam Juang Mandor, menurut Sudarto aktivitas itu lebih dahulu muncul dan baru disusul adanya pembangunan kompleks makam.
Adalah Gubernur Kalbar, Kadarusno, pada tahun 1977 membangun kompleks makam karena mendapat laporan dari masyarakat mengenai adanya penemuan ratusan tulang tengkorak manusia yang menjadi korban pembantaian tentara Jepang pada kurun waktu antara 1942-1944 di bekas lokasi penambangan emas.
Diperkirakan tulang itu muncul karena pasir yang tergerus setelah adanya aktivitas penambangan. Tulang kemudian dikumpulkan dan dibangunlah kompleks pemakaman massal dengan 10 lokasi terpisah. "Jadi keberadaan penambangan emas sudah lebih dahulu daripada kompleks makam itu," jelasnya.
Ia mengatakan, penambangan emas terjadi secara alamiah karena Kalbar dikenal sebagai daerah penghasil bahan galian tersebut. Para penambang tidak dapat dikatakan sebagai pihak yang tidak menghargai nilai sejarah yang ada. Karena mereka merupakan para pekerja (buruh) yang tidak mengerti di lokasi penambangan itu terdapat situs.
Menurutnya lagi, Makam Juang Mandor yang dibangun sejak tahun 1977, dalam perjalanan waktu yang ada tidak mengalami perubahan berarti. Gubernur Parjoko yang memimpin pemerintahan di Kalbar tahun 1988-1993 pernah menyatakan kepadanya agar membuat buku mengenai peristiwa Mandor sehingga generasi penerus bisa mengetahui sejarah itu.
Sudarto yang saat itu masih menjadi guru pada SMA Santo Paulus Pontianak, menyarankan Gubernur Parjoko agar menunda rencana itu karena belum banyak informasi yang bisa menjadi literatur untuk menuliskan sejarah tersebut dalam sebuah buku.
"Saat ini saya dan teman-teman masih mengumpulkan arsip yang ada. Arsip dicari hingga ke Belanda. Karena di sini tidak ada arsip dan menjadi kebiasaan kita, arsip penting yang ada malah 'dikilo' (dijual perkilogram-red)," kata Sudarto yang juga menjadi Konsultan Pendidikan di Dinas Pendidikan Kalbar.
(U.N005/
Pontianak, 29/6 (ANTARA) - Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kalimantan Barat, Tri Budiarto menyatakan saat ini terdapat sebanyak 12 kelompok penambang emas tanpa izin yang beroperasi di kawasan konservasi Makam Juang Mandor, Kabupaten Landak.
"Setiap kelompok beranggota 8 - 12 orang. Dalam seharinya, setiap kelompok memproduksi 7 gram emas dan dibantu mesin dompeng," kata Tri Budiarto di Pontianak, Jumat.
Ia mengatakan, aktivitas PETI mulai merambah kompleks Makam Juang Mandor diperkirakan terjadi pada sekitar tahun 1980an. Namun dalam sejarahnya, PETI di Kalbar sudah ada sejak abad 18 secara kecil-kecilan dari sungai ke sungai oleh orang Tionghoa. Komunitas penambangan terbesarnya di Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang.
Dinas Pertambangan, menurut Tri, pernah membagikan alat penghisap merkuri di kawasan PETI Mandor, namun hingga kini tidak diketahui secara pasti apakah alat yang disebut mercury retor tersebut dipergunakan oleh masyarakat penambang. Ia menduga alat itu tidak berguna, karena saat dibagikan kepada penambang tidak disertai dengan penjelasan cara penggunaan alat tersebut, sehingga penambang enggan memakainya.
Kompleks Makam Juang Mandor merupakan kawasan konservasi yang pengawasannya di bawah kewenangan Departemen Kehutanan RI, melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Sementara itu, seorang Peneliti Sejarah Kalbar, Sudarto, 73, mengatakan, penambangan emas di Kalbar sudah berlangsung sejak 1830 dengan lokasi Mandor dan Monterado. Ia mengatakan asal mula penambangan emas dilakukan oleh warga Tionghoa atas seizin Sultan Pontianak.
Mengenai kaitannya dengan lokasi penambangan emas yang berada di dalam kompleks Makam Juang Mandor, menurut Sudarto aktivitas itu lebih dahulu muncul dan baru disusul adanya pembangunan kompleks makam.
Adalah Gubernur Kalbar, Kadarusno, pada tahun 1977 membangun kompleks makam karena mendapat laporan dari masyarakat mengenai adanya penemuan ratusan tulang tengkorak manusia yang menjadi korban pembantaian tentara Jepang pada kurun waktu antara 1942-1944 di bekas lokasi penambangan emas.
Diperkirakan tulang itu muncul karena pasir yang tergerus setelah adanya aktivitas penambangan. Tulang kemudian dikumpulkan dan dibangunlah kompleks pemakaman massal dengan 10 lokasi terpisah. "Jadi keberadaan penambangan emas sudah lebih dahulu daripada kompleks makam itu," jelasnya.
Ia mengatakan, penambangan emas terjadi secara alamiah karena Kalbar dikenal sebagai daerah penghasil bahan galian tersebut. Para penambang tidak dapat dikatakan sebagai pihak yang tidak menghargai nilai sejarah yang ada. Karena mereka merupakan para pekerja (buruh) yang tidak mengerti di lokasi penambangan itu terdapat situs.
Menurutnya lagi, Makam Juang Mandor yang dibangun sejak tahun 1977, dalam perjalanan waktu yang ada tidak mengalami perubahan berarti. Gubernur Parjoko yang memimpin pemerintahan di Kalbar tahun 1988-1993 pernah menyatakan kepadanya agar membuat buku mengenai peristiwa Mandor sehingga generasi penerus bisa mengetahui sejarah itu.
Sudarto yang saat itu masih menjadi guru pada SMA Santo Paulus Pontianak, menyarankan Gubernur Parjoko agar menunda rencana itu karena belum banyak informasi yang bisa menjadi literatur untuk menuliskan sejarah tersebut dalam sebuah buku.
"Saat ini saya dan teman-teman masih mengumpulkan arsip yang ada. Arsip dicari hingga ke Belanda. Karena di sini tidak ada arsip dan menjadi kebiasaan kita, arsip penting yang ada malah 'dikilo' (dijual perkilogram-red)," kata Sudarto yang juga menjadi Konsultan Pendidikan di Dinas Pendidikan Kalbar.
(U.N005/
MASYARAKAT KALBAR HANYA PERLU PENGAKUAN JEPANG ATAS PERISTIWA MANDOR
Pontianak, 28/6 (ANTARA) - Berbagai pihak di Kalimantan Barat menyatakan peringatan Hari Berkabung Daerah pada setiap 28 Juni guna mengenang kekejaman Jepang di daerah tersebut yang membunuh sekitar 21.037 orang hanya sebagai simbol, yang terpenting adalah adanya pengakuan Pemerintah Jepang baik secara moril maupun politik atas pembantaian yang pernah terjadi.
"Ini hanya simbol saja. Kita menunggu pengakuan Jepang atas peristiwa itu," kata salah satu Ketua Yayasan Bhakti Suci, Rudy Lesmana, saat ditemui seusai Upacara Peringatan Hari Berkabung Daerah di Makan Juang Mandor, Kabupaten Landak, Kamis.
Menurut ia, pengakuan itu menjadi penting bagi ahli waris korban pembunuhan yang dilakukan tentara Jepang pada sekitar tahun 1942-1944. Mereka yang dibunuh oleh Jepang, di antaranya adalah pejuang, tokoh masyarakat/agama, cendikiawan, dan wartawan, serta pengusaha.
Karena itu menyangkut pertanggungjawaban moril. Hal senada juga disampaikan Pemerhati Sejarah, Syafaruddin Usman, bahwa pengakuan secara moral dan politis merupakan permintaan yang layak disampaikan warga Kalbar saat ini. Ia memperkirakan 75 persen korban pembantaian merupakan warga Tionghoa.
Rudy Lesmana menambahkan, adanya peringatan HBD merupakan peringatan bagi semua bangsa di dunia agar jangan semena-mena dengan bangsa lain.
Sementara itu, Sekretaris Yayasan Bhakti Suci, Ateng Sanjaya, menyatakan, banyaknya korban yang gugur karena kejahatan tentara Jepang saat zaman kemerdakaan, merupakan simbol kesatuan antaretnis yang ada di Kalbar.
"Kita bisa mengetahui di sini, ada banyak etnis yang menjadi korban Jepang. Mereka dikubur pada satu tempat, bercampur menjadi satu dan tidak ada perbedaan. Itu merupakan simbol harmonisasi di antara suku bangsa yang ada," katanya.
Peringatan HBD Kalbar yang berlangsung di Makam Juang Mandor, dihadiri ribuan orang, termasuk keluarga para korban.
Seorang pengunjung makam, Lim Bak Jue, 68, sebanyak 8 anggota keluarganya yang terdiri dari dua paman dan enam saudara sepupu telah menjadi korban. Mereka itu terdiri dari Lim Hak Sio, Lim Keng Tie, Lim Bak Cui, Lim Bak Kim, Lim Bak Khim, Lim Bak Song, Lim Bak Chai, dan Lim Bak Huat.
Keluarga besar ini merupakan pengusaha Tionghoa di Kota Pontianak yang bertempat tinggal di jalan Kapuas Besar. Keluarga besarnya pemilik PT Lim Lang Hiang dengan bisnis meliputi pabrik es batu, perkebunan karet, dan bioskop "Excellent" (bioskop pertama yang berdiri di Pontianak).
Lim Bak Jue bersama cucu dari Lim Bak Kim, Lim Hiok alias Heryanto, 50, pada setiap tahunnya, baik diundang maupun tidak oleh pemerintah daerah selalu melakukan ziarah ke Makam Juang Mandor.
"Saat peristiwa itu, saya masih berusia 4 tahun. Sehingga belum tahu apa-apa. Tetapi telah mendengar cerita dari orang tua," kata Lim Bak Jue.
Senada dengan lainnya, ia pun menilai apa yang ada di Makam Juang Mandor saat ini hanya sebagai simbol yang untuk dikenang tetapi tidak untuk diratapi. Peristiwa masa lalu yang buruk, hendaknya dilupakan dan menjadi pelajaran.
Dalam peringatan HBD, Gubernur Kalbar Usman Ja'far memimpin upacara yang digelar di depan pintu masuk makam. Rombongan gubernur juga berkeliling ke kompleks makam yang tersebar di 10 lokasi dengan ukuran makam 10 meter dan lebar 4 meter.
Sebanyak 48 foto korban dipajang di pintu masuk makam. Di antaranya, Sultan Pontianak, Sultan Syarif Alkadri dan tiga anaknya, Pangeran Agung, Pangeran Adi Pati, dan Syarifah Maimunah Alkadrie, Pangeran Mempawah Muhammad Taufik, Panembahan Sintang Reden Abdul Bahry Danu Perdana, menantu Sultan Pontianak Yusuf Bin Abubakar Alqadrie, juru tulis Swapraja, Yusuf Bin Abubakar Alqadrie, Kepala Rumah Sakit Mempawah Dr Rubini dan Istri, dan sejumlah nama lain yang tercatat sebagai pedagang, wartawan, tokoh perempuan, dll.
(N005/
Pontianak, 28/6 (ANTARA) - Berbagai pihak di Kalimantan Barat menyatakan peringatan Hari Berkabung Daerah pada setiap 28 Juni guna mengenang kekejaman Jepang di daerah tersebut yang membunuh sekitar 21.037 orang hanya sebagai simbol, yang terpenting adalah adanya pengakuan Pemerintah Jepang baik secara moril maupun politik atas pembantaian yang pernah terjadi.
"Ini hanya simbol saja. Kita menunggu pengakuan Jepang atas peristiwa itu," kata salah satu Ketua Yayasan Bhakti Suci, Rudy Lesmana, saat ditemui seusai Upacara Peringatan Hari Berkabung Daerah di Makan Juang Mandor, Kabupaten Landak, Kamis.
Menurut ia, pengakuan itu menjadi penting bagi ahli waris korban pembunuhan yang dilakukan tentara Jepang pada sekitar tahun 1942-1944. Mereka yang dibunuh oleh Jepang, di antaranya adalah pejuang, tokoh masyarakat/agama, cendikiawan, dan wartawan, serta pengusaha.
Karena itu menyangkut pertanggungjawaban moril. Hal senada juga disampaikan Pemerhati Sejarah, Syafaruddin Usman, bahwa pengakuan secara moral dan politis merupakan permintaan yang layak disampaikan warga Kalbar saat ini. Ia memperkirakan 75 persen korban pembantaian merupakan warga Tionghoa.
Rudy Lesmana menambahkan, adanya peringatan HBD merupakan peringatan bagi semua bangsa di dunia agar jangan semena-mena dengan bangsa lain.
Sementara itu, Sekretaris Yayasan Bhakti Suci, Ateng Sanjaya, menyatakan, banyaknya korban yang gugur karena kejahatan tentara Jepang saat zaman kemerdakaan, merupakan simbol kesatuan antaretnis yang ada di Kalbar.
"Kita bisa mengetahui di sini, ada banyak etnis yang menjadi korban Jepang. Mereka dikubur pada satu tempat, bercampur menjadi satu dan tidak ada perbedaan. Itu merupakan simbol harmonisasi di antara suku bangsa yang ada," katanya.
Peringatan HBD Kalbar yang berlangsung di Makam Juang Mandor, dihadiri ribuan orang, termasuk keluarga para korban.
Seorang pengunjung makam, Lim Bak Jue, 68, sebanyak 8 anggota keluarganya yang terdiri dari dua paman dan enam saudara sepupu telah menjadi korban. Mereka itu terdiri dari Lim Hak Sio, Lim Keng Tie, Lim Bak Cui, Lim Bak Kim, Lim Bak Khim, Lim Bak Song, Lim Bak Chai, dan Lim Bak Huat.
Keluarga besar ini merupakan pengusaha Tionghoa di Kota Pontianak yang bertempat tinggal di jalan Kapuas Besar. Keluarga besarnya pemilik PT Lim Lang Hiang dengan bisnis meliputi pabrik es batu, perkebunan karet, dan bioskop "Excellent" (bioskop pertama yang berdiri di Pontianak).
Lim Bak Jue bersama cucu dari Lim Bak Kim, Lim Hiok alias Heryanto, 50, pada setiap tahunnya, baik diundang maupun tidak oleh pemerintah daerah selalu melakukan ziarah ke Makam Juang Mandor.
"Saat peristiwa itu, saya masih berusia 4 tahun. Sehingga belum tahu apa-apa. Tetapi telah mendengar cerita dari orang tua," kata Lim Bak Jue.
Senada dengan lainnya, ia pun menilai apa yang ada di Makam Juang Mandor saat ini hanya sebagai simbol yang untuk dikenang tetapi tidak untuk diratapi. Peristiwa masa lalu yang buruk, hendaknya dilupakan dan menjadi pelajaran.
Dalam peringatan HBD, Gubernur Kalbar Usman Ja'far memimpin upacara yang digelar di depan pintu masuk makam. Rombongan gubernur juga berkeliling ke kompleks makam yang tersebar di 10 lokasi dengan ukuran makam 10 meter dan lebar 4 meter.
Sebanyak 48 foto korban dipajang di pintu masuk makam. Di antaranya, Sultan Pontianak, Sultan Syarif Alkadri dan tiga anaknya, Pangeran Agung, Pangeran Adi Pati, dan Syarifah Maimunah Alkadrie, Pangeran Mempawah Muhammad Taufik, Panembahan Sintang Reden Abdul Bahry Danu Perdana, menantu Sultan Pontianak Yusuf Bin Abubakar Alqadrie, juru tulis Swapraja, Yusuf Bin Abubakar Alqadrie, Kepala Rumah Sakit Mempawah Dr Rubini dan Istri, dan sejumlah nama lain yang tercatat sebagai pedagang, wartawan, tokoh perempuan, dll.
(N005/
PROVINSI PENGHASIL PERDA TRAFFICKING CONTOH BAGI DAERAH LAIN
Pontianak, 3/8 (ANTARA) - Menteri Negera Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono, menyatakan adanya beberapa provinsi yang menghasilkan Peraturan Daerah mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang, hendaknya dapat menjadi contoh bagi provinsi lainnya. "Saya sudah mendengar kabar Kalbar telah mengesahkan Perda trafficking. Sama halnya dengan Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Saya berharap provinsi lain juga melakukan hal serupa," kata Meutia Hatta Swasono di Pontianak, Jumat.
Menurutnya, adanya provinsi yang menyusun dan mengesahkan Rancangan Perda trafficking, merupakan langkah maju dan semestinya dapat menjadi contoh bagi daerah lain.
Sebelumnya, pada Kamis pekan lalu, Pemprov Kalbar telah mengesahkan Rancangan Perda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak. Perda dari usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tersebut merupakan upaya untuk mengatasi maraknya kasus perdagangan orang yang terjadi di daerah itu.
Kasus perdagangan yang terjadi di Kalbar, melalui dua jalur, yakni pengiriman tenaga kerja ke luar negeri (negara tetangga Malaysia) dan pengantin pesanan warga Tionghoa asal Kota Singkawang dengan pria Taiwan, Hongkong dan Korea.
Kalbar berada pada urut ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah kasus trafficking terbanyak.
Menurut Meutia, upaya melahirkan kebijakan atau payung hukum untuk menekan kasus perdagangan orang tersebut merupakan keberhasilan, mesti ditiru, sehingga bisa menjaga perempuan dan anak.
Selain itu, ia juga menambahkan, DPR RI dan Pemerintah Pusat juga sudah menetapkan Undang-undang No. 21 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada 21 April lalu.
"Saat ini kami sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah untuk menjadi jalur bagi penyelesaian kasus tersebut," katanya.
(N005/
Pontianak, 3/8 (ANTARA) - Menteri Negera Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono, menyatakan adanya beberapa provinsi yang menghasilkan Peraturan Daerah mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang, hendaknya dapat menjadi contoh bagi provinsi lainnya. "Saya sudah mendengar kabar Kalbar telah mengesahkan Perda trafficking. Sama halnya dengan Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Saya berharap provinsi lain juga melakukan hal serupa," kata Meutia Hatta Swasono di Pontianak, Jumat.
Menurutnya, adanya provinsi yang menyusun dan mengesahkan Rancangan Perda trafficking, merupakan langkah maju dan semestinya dapat menjadi contoh bagi daerah lain.
Sebelumnya, pada Kamis pekan lalu, Pemprov Kalbar telah mengesahkan Rancangan Perda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak. Perda dari usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tersebut merupakan upaya untuk mengatasi maraknya kasus perdagangan orang yang terjadi di daerah itu.
Kasus perdagangan yang terjadi di Kalbar, melalui dua jalur, yakni pengiriman tenaga kerja ke luar negeri (negara tetangga Malaysia) dan pengantin pesanan warga Tionghoa asal Kota Singkawang dengan pria Taiwan, Hongkong dan Korea.
Kalbar berada pada urut ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah kasus trafficking terbanyak.
Menurut Meutia, upaya melahirkan kebijakan atau payung hukum untuk menekan kasus perdagangan orang tersebut merupakan keberhasilan, mesti ditiru, sehingga bisa menjaga perempuan dan anak.
Selain itu, ia juga menambahkan, DPR RI dan Pemerintah Pusat juga sudah menetapkan Undang-undang No. 21 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada 21 April lalu.
"Saat ini kami sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah untuk menjadi jalur bagi penyelesaian kasus tersebut," katanya.
(N005/
PERDA TRAFFICKING, JAWABAN ATAS SOLUSI PERDAGANGAN ORANG DI KALBAR?
Oleh: Nurul Hayat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat, Kamis, 26 Juli, mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak. Perda hasil usul inisiatif DPRD itu, diharapkan menjadi jawaban atas pencarian solusi kasus trafficking yang setiap tahun semakin bertambah.
Civic Education Budget Transparansi and Advocasi (CiBa) beberapa waktu lalu, memaparkan hasil studinya terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Kalbar dalam Pemberantasan Perdagangan Orang. CiBa memaparkan kumpulan penemuan kasus dari beberapa lembaga.
Di antaranya dari International Organization for Migration (IOM). Lembaga tersebut mengungkapkan kasus perdagangan orang, perempuan dan anak yang terjadi di Kalbar periode Juni 2005-Oktober 2006 sebanyak 1.231 kasus, dimana prosentase korban terbesar 80,89 persen berasal dari daerah itu sendiri.
Data lain, berasal dari shelter Aisyiyah Kalbar. Shelter itu mencatat dari Juni 2005-Desember 2006, terdapat 237 korban, terdiri dari 177 orang dewasa dan 60 orang anak-anak dari berbagai provinsi di Indonesia. Sementara data dari Kepolisian Daerah Kalbar, terdapat 21 kasus pada tahun 2005 dan 35 kasus tahun 2006. Meliputi kasus penipuan, pemalsuan surat-surat, perkosaan, mempekerjakan anak di bawah umur, komersialisasi perempuan untuk industri seks, dan lainnya.
Ini hanyalah sebagian kecil dari hasil pengumpulan data yang dilakukan CiBa. Lembaga tersebut juga mencatat data dari Pengadilan Negeri Pontianak, dimana pada tahun 2004 terdapat satu kasus, dan tahun 2006 terdapat 11 kasus. Sementara data dari Kejaksaan Negeri Pontianak, pada 2003 dan 2005 hanya satu kasus, tahun 2004 terdapat dua kasus, dan 2006 terdapat 14 kasus.
Sedangkan data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), yang dikutip dari liputan media lokal pada tahun 2005 ditemukan 18 kasus, 2006 ada 25 kasus dan hingga Maret 2007 baru ditemukan 1 kasus. Adapun jenis kasus, meliputi, penculikan, penjualan bayi, penjualan perempuan untuk pelacuran, dan penjualan amoy --sebutan bagi perempuan Tionghoa-- untuk pengantin pesanan.
Data dari rumah sakit Dr Soedarso Pontianak, pada tahun 2005-2006 terdapat 17 kasus, dua kasus lain terjadi di tahun 2007.
Sementara ANTARA mencatat, pada tahun 2007 ini telah ada dua perempuan yang melapor ke polisi dalam kasus pengantin pesanan tujuan Taiwan.
Berbagai harapan kemudian muncul, menyusul disahkannya Raperda trafficking itu. Hendaknya keberadaan dan penerapan perda benar-benar dapat mencegah dan memberantas perdagangan orang, terutama perempuan dan anak yang menempatkan Kalbar pada urut ketiga, setelah Jawa Timur dan Jawa Barat.
Harapan itu seperti yang disampaikan anggota Fraksi Partai Golkar Kalbar, Uray Darmansyah, saat membacakan pendapat akhir fraksinya pada menit-menit menjelang pengesahan raperda.
Anggota Dewan itu menyatakan, pembuatan perda melalui usul inisiatif DPRD, diharapkan berguna untuk memberikan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan orang. Sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi korban, menjadi persoalan yang sangat mendesak. Ini mengingat persoalan perdagangan perempuan dan anak telah menjadi karakteristik daerah Kalbar.
Perdagangan perempuan dan anak, menurutnya merupakan salah satu bentuk kejahatan dunia yang dewasa ini marak terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia menempati peringkat ketiga terendah dalam upaya penanggulangan trafficking perempuan dan anak. Hal itu tertuang dalam laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Komisi Ekonomi dan Sosial Commussion On Asia Pasific (ASCAP) dalam Trafficking in Report, Juli 2001.
Ia menyatakan, perempuan dan anak merupakan bagian dari pilar dan obyek pembangunan berkelanjutan, secara kodrat berada pada posisi lemah. Banyak pihak ingin memanfaatkan kelemahan itu dengan mengeksploitasi dalam berbagai bentuk. Sehingga perlu proteksi yang lebih konkrit, baik melalui aturan perundang-undangan maupun pengamanan, atas tindakan kejahatan terhadap perempuan dan anak.
Sementara anggota Fraksi PDIP, Thamrin, menyatakan perdagangan orang merupakan kejahatan lintas daerah dan negara. Untuk mengatasi persoalan itu, perlu dibangun kebersamaan. "Adanya perda diharapkan dapat mencegah praktek perdagangan orang terutama perempuan dan anak," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan anggota fraksi PPP, H Zainal Abidin AZ. Menurut anggota DPRD itu, perdagangan orang merupakan perbudakan manusia dalam bentuk modern. Bukti empiris menunjukkan bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling banyak menjadi korban.
Adanya perda trafficking, ia mengharapkan agar dapat menjadi "payung hukum" dalam pengungkapan dan pemberantasan kasus yang terjadi di wilayah Kalbar. Apalagi lahirnya perda mengacu kepada Undang-undang No 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Jalur perdagangan
Praktek perdagangan orang yang terjadi di Kalbar, umumnya melalui jalur pengiriman tenaga kerja ke luar negeri semisal Malaysia dan pengantin pesanan tujuan Taiwan, Hongkong dan Korea. Korban perdagangan orang itu, sebagian besar adalah para perempuan dan anak, sehingga mafhum jika Perda trafficking Kalbar itu, baik judul maupun isinya menekankan para korban perempuan dan anak.
Faktor utama penyebab terjadinya trafficking, menurut anggota Komisi B DPRD Kalbar, Asmaniar, meliputi persoalan kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, pengangguran (kurangnya lapangan pekerjaan) dan minimnya akses informasi.
Para korban umumnya merupakan warga Kalbar yang berasal dari daerah kabupaten/kota yang mengalami persoalan-persoalan di atas. Para korban, umumnya merupakan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja secara tidak resmi di negara jiran. Mereka masuk ke Malaysia melalui "jasa" para calo yang menjual mereka kepada cukong atau majikan di negara tersebut.
Karena tidak memiliki dokumen resmi, majikan memperlakukan mereka dengan semena-mena, semisal menganiaya secara fisik dan psikis dengan tidak membayarkan gaji dan memukuli, bahkan memperkosa.
Bentuk trafficking lainnya, melalui jalur pengantin pesanan yang sudah berlangsung sejak 1980 dengan pelaku pengantin pesanan, umumnya mereka gadis asal Kota Singkawang. "Alasan ekonomi yang dikait-kaitkan dengan budaya, menjadi pemicu maraknya pola pengantin pesanan di Singkawang," kata Agustine Lumangkun, dari Pusat Studi Wanita Universitas Tanjungpura yang juga masuk tim penyusunan Perda Trafficking Kalbar tersebut.
Sampai saat ini, baru dua korban pengantin pesanan yang berani melaporkan kasus yang mereka alami ke lembaga bantuan hukum. "Rasa malu keluarga dan korban menjadi alasan tidak terungkapnya perdagangan orang melalui jalur pengantin pesanan," kata Asmaniar lagi.
Sosialisasi
Penetapan Raperda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak Kalbar, hendaknya segera disusul dengan upaya penyosialisasian kepada seluruh lapisan masyarakat melalui jejaring yang ada.
Anggota tim penyusun naskah Raperda trafficking Kalbar, Kunthi Tridewiyanti menyatakan, sosialisasi berjenjang dimulai dari jajaran pemerintah provinsi, kabupaten/kota, hingga di tingkat kecamatan, kelurahan atau desa guna mencegah masih maraknya perdagangan orang karena ulah aparat pemerintah.
Munculnya kasus perdagangan orang, terutama perempuan dan anak di Kalbar, menurutnya, tidak terlepas dari "jasa" aparat di daerah yang menggampangkan dalam pengurusan kartu identitas seperti kartu tanda penduduk (KTP). "Mencuri" (menambahkan) umur atau menjadi warga desa itu padahal merupakan pendatang, merupakan praktek yang biasa terjadi dalam pembuatan KTP.
Karena itu, Kunthi yang juga Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender se-Indonesia, mengingatkan agar Pemerintah Provinsi Kalbar secepatnya melakukan sosialisasi.
Menurutnya, sosialisasi berjenjang dilakukan guna mengetahui komitmen dari pemerintah kabupaten/kota terhadap masalah perdagangan orang yang terjadi di daerahnya. Selain berjenjang kepada pemerintah daerah, sosialisasi juga mesti dilakukan pada lingkungan keluarga. Melalui bantuan kelompok pengajian, perkumpulan ibu-ibu, dll.
Hal itu seperti yang telah dilakukan di Sulawesi Utara. Sosialisasi perda serupa dilaksanakan di gereja-gereja dan rumah ibadah lainnya.
Permasalahan perdagangan perempuan dan anak, menurutnya, merupakan persoalan yang rumit dan komplek. Sehingga perlu kerjasama semua pihak dan perhatian yang khusus. Semisal di Sumatera Utara, Perda serupa telah berjalan optimal karena pemerintah setempat cukup respon. Telah dibangun kerjasama parapihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut berperan hingga ke luar negeri mengatasi masalah perdagangan orang tersebut.
Sementara menurut Asmaniar, perda tersebut merupakan landasan mempertegas dalam melakukan tindakan pencegahan. Namun yang penting baginya, perda hendaknya dapat diimplementasikan secara utuh. Bukan hanya menjadi produk hukum yang "mandul". Upaya pencegah tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Tetapi mesti melalui kerjasama dan jejaring secara strategis.
"Diperlukan sosialisasi intensif hingga level bawah dan melibatkan lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan profesi yang tersebar di kabupaten/kota sebagai ujung tombak," jelasnya.
Sekretaris Daerah Kalbar, Syakirman, berjanji menyusul pengesahan Raperda Trafficking, akan membentuk tim sosialisasi. "Sosialisasi dimulai pada instansi terkait di lingkungan Pemprov Kalbar. Akan dibentuk tim untuk turun ke kabupaten/kota," katanya.
Baik Kunthi, Asmaniar maupun Syakirman sama-sama sepakat, tanpa sosialisasi maka keberadaan Perda Trafficking itu hanya akan menjadi produk hukum "mandul". Semua tentu berharap, perdagangan orang hendaknya tidak lagi terjadi.
Perempuan dan anak Indonesia bukanlah "produk ekspor" untuk negara-negara tetangga.
Oleh: Nurul Hayat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat, Kamis, 26 Juli, mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak. Perda hasil usul inisiatif DPRD itu, diharapkan menjadi jawaban atas pencarian solusi kasus trafficking yang setiap tahun semakin bertambah.
Civic Education Budget Transparansi and Advocasi (CiBa) beberapa waktu lalu, memaparkan hasil studinya terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Kalbar dalam Pemberantasan Perdagangan Orang. CiBa memaparkan kumpulan penemuan kasus dari beberapa lembaga.
Di antaranya dari International Organization for Migration (IOM). Lembaga tersebut mengungkapkan kasus perdagangan orang, perempuan dan anak yang terjadi di Kalbar periode Juni 2005-Oktober 2006 sebanyak 1.231 kasus, dimana prosentase korban terbesar 80,89 persen berasal dari daerah itu sendiri.
Data lain, berasal dari shelter Aisyiyah Kalbar. Shelter itu mencatat dari Juni 2005-Desember 2006, terdapat 237 korban, terdiri dari 177 orang dewasa dan 60 orang anak-anak dari berbagai provinsi di Indonesia. Sementara data dari Kepolisian Daerah Kalbar, terdapat 21 kasus pada tahun 2005 dan 35 kasus tahun 2006. Meliputi kasus penipuan, pemalsuan surat-surat, perkosaan, mempekerjakan anak di bawah umur, komersialisasi perempuan untuk industri seks, dan lainnya.
Ini hanyalah sebagian kecil dari hasil pengumpulan data yang dilakukan CiBa. Lembaga tersebut juga mencatat data dari Pengadilan Negeri Pontianak, dimana pada tahun 2004 terdapat satu kasus, dan tahun 2006 terdapat 11 kasus. Sementara data dari Kejaksaan Negeri Pontianak, pada 2003 dan 2005 hanya satu kasus, tahun 2004 terdapat dua kasus, dan 2006 terdapat 14 kasus.
Sedangkan data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), yang dikutip dari liputan media lokal pada tahun 2005 ditemukan 18 kasus, 2006 ada 25 kasus dan hingga Maret 2007 baru ditemukan 1 kasus. Adapun jenis kasus, meliputi, penculikan, penjualan bayi, penjualan perempuan untuk pelacuran, dan penjualan amoy --sebutan bagi perempuan Tionghoa-- untuk pengantin pesanan.
Data dari rumah sakit Dr Soedarso Pontianak, pada tahun 2005-2006 terdapat 17 kasus, dua kasus lain terjadi di tahun 2007.
Sementara ANTARA mencatat, pada tahun 2007 ini telah ada dua perempuan yang melapor ke polisi dalam kasus pengantin pesanan tujuan Taiwan.
Berbagai harapan kemudian muncul, menyusul disahkannya Raperda trafficking itu. Hendaknya keberadaan dan penerapan perda benar-benar dapat mencegah dan memberantas perdagangan orang, terutama perempuan dan anak yang menempatkan Kalbar pada urut ketiga, setelah Jawa Timur dan Jawa Barat.
Harapan itu seperti yang disampaikan anggota Fraksi Partai Golkar Kalbar, Uray Darmansyah, saat membacakan pendapat akhir fraksinya pada menit-menit menjelang pengesahan raperda.
Anggota Dewan itu menyatakan, pembuatan perda melalui usul inisiatif DPRD, diharapkan berguna untuk memberikan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan orang. Sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi korban, menjadi persoalan yang sangat mendesak. Ini mengingat persoalan perdagangan perempuan dan anak telah menjadi karakteristik daerah Kalbar.
Perdagangan perempuan dan anak, menurutnya merupakan salah satu bentuk kejahatan dunia yang dewasa ini marak terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia menempati peringkat ketiga terendah dalam upaya penanggulangan trafficking perempuan dan anak. Hal itu tertuang dalam laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Komisi Ekonomi dan Sosial Commussion On Asia Pasific (ASCAP) dalam Trafficking in Report, Juli 2001.
Ia menyatakan, perempuan dan anak merupakan bagian dari pilar dan obyek pembangunan berkelanjutan, secara kodrat berada pada posisi lemah. Banyak pihak ingin memanfaatkan kelemahan itu dengan mengeksploitasi dalam berbagai bentuk. Sehingga perlu proteksi yang lebih konkrit, baik melalui aturan perundang-undangan maupun pengamanan, atas tindakan kejahatan terhadap perempuan dan anak.
Sementara anggota Fraksi PDIP, Thamrin, menyatakan perdagangan orang merupakan kejahatan lintas daerah dan negara. Untuk mengatasi persoalan itu, perlu dibangun kebersamaan. "Adanya perda diharapkan dapat mencegah praktek perdagangan orang terutama perempuan dan anak," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan anggota fraksi PPP, H Zainal Abidin AZ. Menurut anggota DPRD itu, perdagangan orang merupakan perbudakan manusia dalam bentuk modern. Bukti empiris menunjukkan bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling banyak menjadi korban.
Adanya perda trafficking, ia mengharapkan agar dapat menjadi "payung hukum" dalam pengungkapan dan pemberantasan kasus yang terjadi di wilayah Kalbar. Apalagi lahirnya perda mengacu kepada Undang-undang No 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Jalur perdagangan
Praktek perdagangan orang yang terjadi di Kalbar, umumnya melalui jalur pengiriman tenaga kerja ke luar negeri semisal Malaysia dan pengantin pesanan tujuan Taiwan, Hongkong dan Korea. Korban perdagangan orang itu, sebagian besar adalah para perempuan dan anak, sehingga mafhum jika Perda trafficking Kalbar itu, baik judul maupun isinya menekankan para korban perempuan dan anak.
Faktor utama penyebab terjadinya trafficking, menurut anggota Komisi B DPRD Kalbar, Asmaniar, meliputi persoalan kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, pengangguran (kurangnya lapangan pekerjaan) dan minimnya akses informasi.
Para korban umumnya merupakan warga Kalbar yang berasal dari daerah kabupaten/kota yang mengalami persoalan-persoalan di atas. Para korban, umumnya merupakan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja secara tidak resmi di negara jiran. Mereka masuk ke Malaysia melalui "jasa" para calo yang menjual mereka kepada cukong atau majikan di negara tersebut.
Karena tidak memiliki dokumen resmi, majikan memperlakukan mereka dengan semena-mena, semisal menganiaya secara fisik dan psikis dengan tidak membayarkan gaji dan memukuli, bahkan memperkosa.
Bentuk trafficking lainnya, melalui jalur pengantin pesanan yang sudah berlangsung sejak 1980 dengan pelaku pengantin pesanan, umumnya mereka gadis asal Kota Singkawang. "Alasan ekonomi yang dikait-kaitkan dengan budaya, menjadi pemicu maraknya pola pengantin pesanan di Singkawang," kata Agustine Lumangkun, dari Pusat Studi Wanita Universitas Tanjungpura yang juga masuk tim penyusunan Perda Trafficking Kalbar tersebut.
Sampai saat ini, baru dua korban pengantin pesanan yang berani melaporkan kasus yang mereka alami ke lembaga bantuan hukum. "Rasa malu keluarga dan korban menjadi alasan tidak terungkapnya perdagangan orang melalui jalur pengantin pesanan," kata Asmaniar lagi.
Sosialisasi
Penetapan Raperda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak Kalbar, hendaknya segera disusul dengan upaya penyosialisasian kepada seluruh lapisan masyarakat melalui jejaring yang ada.
Anggota tim penyusun naskah Raperda trafficking Kalbar, Kunthi Tridewiyanti menyatakan, sosialisasi berjenjang dimulai dari jajaran pemerintah provinsi, kabupaten/kota, hingga di tingkat kecamatan, kelurahan atau desa guna mencegah masih maraknya perdagangan orang karena ulah aparat pemerintah.
Munculnya kasus perdagangan orang, terutama perempuan dan anak di Kalbar, menurutnya, tidak terlepas dari "jasa" aparat di daerah yang menggampangkan dalam pengurusan kartu identitas seperti kartu tanda penduduk (KTP). "Mencuri" (menambahkan) umur atau menjadi warga desa itu padahal merupakan pendatang, merupakan praktek yang biasa terjadi dalam pembuatan KTP.
Karena itu, Kunthi yang juga Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender se-Indonesia, mengingatkan agar Pemerintah Provinsi Kalbar secepatnya melakukan sosialisasi.
Menurutnya, sosialisasi berjenjang dilakukan guna mengetahui komitmen dari pemerintah kabupaten/kota terhadap masalah perdagangan orang yang terjadi di daerahnya. Selain berjenjang kepada pemerintah daerah, sosialisasi juga mesti dilakukan pada lingkungan keluarga. Melalui bantuan kelompok pengajian, perkumpulan ibu-ibu, dll.
Hal itu seperti yang telah dilakukan di Sulawesi Utara. Sosialisasi perda serupa dilaksanakan di gereja-gereja dan rumah ibadah lainnya.
Permasalahan perdagangan perempuan dan anak, menurutnya, merupakan persoalan yang rumit dan komplek. Sehingga perlu kerjasama semua pihak dan perhatian yang khusus. Semisal di Sumatera Utara, Perda serupa telah berjalan optimal karena pemerintah setempat cukup respon. Telah dibangun kerjasama parapihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut berperan hingga ke luar negeri mengatasi masalah perdagangan orang tersebut.
Sementara menurut Asmaniar, perda tersebut merupakan landasan mempertegas dalam melakukan tindakan pencegahan. Namun yang penting baginya, perda hendaknya dapat diimplementasikan secara utuh. Bukan hanya menjadi produk hukum yang "mandul". Upaya pencegah tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Tetapi mesti melalui kerjasama dan jejaring secara strategis.
"Diperlukan sosialisasi intensif hingga level bawah dan melibatkan lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan profesi yang tersebar di kabupaten/kota sebagai ujung tombak," jelasnya.
Sekretaris Daerah Kalbar, Syakirman, berjanji menyusul pengesahan Raperda Trafficking, akan membentuk tim sosialisasi. "Sosialisasi dimulai pada instansi terkait di lingkungan Pemprov Kalbar. Akan dibentuk tim untuk turun ke kabupaten/kota," katanya.
Baik Kunthi, Asmaniar maupun Syakirman sama-sama sepakat, tanpa sosialisasi maka keberadaan Perda Trafficking itu hanya akan menjadi produk hukum "mandul". Semua tentu berharap, perdagangan orang hendaknya tidak lagi terjadi.
Perempuan dan anak Indonesia bukanlah "produk ekspor" untuk negara-negara tetangga.
PENERAPAN HUKUM ADAT TIDAK BOLEH LEBIH ATAUPUN KURANG
Pontianak, 27/7 (ANTARA) - Dalam menerapan hukum adat masyarakat Dayak dikenal falsafah "Adat Labih Jubata Bera, Adat Kurang Antu Bera" yang bermakna dalam melaksanakan hukum adat tidak boleh lebih ataupun kurang.
"Petugas adat dalam memberlakukan hukum adatnya, tidak boleh menyalahi aturan, baik menambah hukum itu maupun menguranginya," kata Guru Besar Hukum Adat dari Universitas Tanjungpura, Prof DR YC Thambun Anyang, SH, kepada ANTARA di Pontianak, Jumat.
Ia mengatakan, pemberlakuan hukum adat tidak bisa seenaknya saja. Tetapi mesti mengikuti aturan yang berlaku di masyarakat adat tersebut. Seperti halnya yang diterapkan di masyarakat Dayak di pulau Kalimantan.
Setiap hukum adat yang berlaku tidak boleh dilebihkan ataupun dikurangi. Petugas adat tidak bisa begitu saja menyelesaikan suatu perkara adat jika dilakukan dengan cara yang tidak adil.
Begitu pula sanksi yang diberikan. Petugas adat tidak bisa memberikan sanksi sehingga menganiaya terhukum. Falsafah seperti "Pamangkong Ame' Patah, Ular Ame' Tana, Ame' Lamakng", yang berarti "pemukul jangan patah, ular jangan mati, tanah jangan berbekas" mesti dipegang.
Falsafah itu mengandung makna, supaya putusan hukum yang dibuat temenggung atau ketua adat hendaknya membuat sadar bahwa yang bersangkutan bersalah dan patut dihukum. Putusan yang diberikan mesti bersifat mendidik sehingga orang tidak berbuat kesalahan lagi, bukan putusan yang menganiaya.
Thambun Anyang yang juga Pembantu Rektor II Untan, menyatakan, hukum adat berlaku di setiap komunitas adat. Hukum adat merupakan kebudayaan, sehingga semua masyarakat adat di Indonesia memiliki hukum adat. Berapa pun jumlah etnis yang ada, sama jumlahnya dengan hukum adat yang ada.
Hukum adat ada yang tertulis dan ada yang hanya tersimpan dalam otak masyarakatnya. "Hukum adat akan tetap bertahan jika masyarakat adat tetap ada," jelasnya.
Dalam pelaksanaan saat ini, hukum adat telah mengalami proses perubahan. Karena sesuai sifat hukum adat itu sendiri yang dinamis, berubah ke arah yang lebih baik. Semisal dalam pemberian sanksi adatnya.
Jika dahulu untuk menghukum adat pelanggar atau pelaku perselingkuhan bisa dengan hukum rejam atau ditombak, maka saat ini tidak berlaku lagi. Kebiasaan seperti itu sudah lama ditinggalkan dan tidak boleh dilaksanakan. Begitu pula dengan hukuman mati yang dahulu berlaku, kini sudah ditinggalkan.
Adanya perubahan sanksi hukum adat itu, menurutnya karana masuknya agama yang mengubah pola pikir masyarakat adat.
Mengenai adanya keinginan menjadikan hukum adat sebagai hukum positif di Indonesia, seperti yang diatur dalam KUHP, menurut Thambun Anyang, pemberlakuan hukum adat mesti disepakati secara bersama-sama. Apalagi jika dalam suatu kelompok masyarakat terdapat lebih dari satu etnis.
Namun umumnya, menurut ia, hukum adat relevan dilaksanakan di komunitas adat itu sendiri dan komunitas yang mayoritas. Hukum adat Dayak berlaku di komunitas masyarakat Dayak, hukum adat Melayu berlaku di masyarakat Melayu, dan hukum adat Tionghoa berlaku di masyarakat Tionghoa.
"Hukum adat merupakan sesuatu yang lahir di masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu hukum adat juga disebut hukum rakyat," imbuhnya.
Dalam masyarakat berlaku falsafah "Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung". Jika dalam suatu wilayah terdapat etnis tertentu yang lebih banyak, maka pelanggar adat dari etnis lain juga dapat dikenakan sanksi adat dari etnis terbanyak.
Namun masyarakat juga dapat bersepakat jika tidak ingin memberlakukan hukum adat dari salah satu etnis.
Di masyarakat adat juga dikenal ketua-ketua adat. Semisal temenggung, patih, penggawa dan demung. Semuanya itu para ketua adat yang berperan dalam memutuskan perkara adat yang sedang terjadi.
Mereka inilah yang mempertahankan dan melestarikan kebudayaan tersebut. Mereka merupakan pilihan masyarakat adat yang percaya bahwa hukum adat akan berlaku adil ditangan para ketua adat tersebut.
Sementara mengenai materi sanksi dari hukum adat, sesuai perkembangannya juga telah mengenal pembayaran adat menggunakan uang. Hal itu bisa terjadi mengingat sulitnya untuk mendapatkan barang-barang yang semula menjadi syarat adat seperti tempayan dan hewan.
Penggunaan uang sebagai alat pembayaran hukum adat dibenarkan asal tidak menyimpang dan sesuai kewajarannya, jelas Thambun Anyang.
(U.N005/
Pontianak, 27/7 (ANTARA) - Dalam menerapan hukum adat masyarakat Dayak dikenal falsafah "Adat Labih Jubata Bera, Adat Kurang Antu Bera" yang bermakna dalam melaksanakan hukum adat tidak boleh lebih ataupun kurang.
"Petugas adat dalam memberlakukan hukum adatnya, tidak boleh menyalahi aturan, baik menambah hukum itu maupun menguranginya," kata Guru Besar Hukum Adat dari Universitas Tanjungpura, Prof DR YC Thambun Anyang, SH, kepada ANTARA di Pontianak, Jumat.
Ia mengatakan, pemberlakuan hukum adat tidak bisa seenaknya saja. Tetapi mesti mengikuti aturan yang berlaku di masyarakat adat tersebut. Seperti halnya yang diterapkan di masyarakat Dayak di pulau Kalimantan.
Setiap hukum adat yang berlaku tidak boleh dilebihkan ataupun dikurangi. Petugas adat tidak bisa begitu saja menyelesaikan suatu perkara adat jika dilakukan dengan cara yang tidak adil.
Begitu pula sanksi yang diberikan. Petugas adat tidak bisa memberikan sanksi sehingga menganiaya terhukum. Falsafah seperti "Pamangkong Ame' Patah, Ular Ame' Tana, Ame' Lamakng", yang berarti "pemukul jangan patah, ular jangan mati, tanah jangan berbekas" mesti dipegang.
Falsafah itu mengandung makna, supaya putusan hukum yang dibuat temenggung atau ketua adat hendaknya membuat sadar bahwa yang bersangkutan bersalah dan patut dihukum. Putusan yang diberikan mesti bersifat mendidik sehingga orang tidak berbuat kesalahan lagi, bukan putusan yang menganiaya.
Thambun Anyang yang juga Pembantu Rektor II Untan, menyatakan, hukum adat berlaku di setiap komunitas adat. Hukum adat merupakan kebudayaan, sehingga semua masyarakat adat di Indonesia memiliki hukum adat. Berapa pun jumlah etnis yang ada, sama jumlahnya dengan hukum adat yang ada.
Hukum adat ada yang tertulis dan ada yang hanya tersimpan dalam otak masyarakatnya. "Hukum adat akan tetap bertahan jika masyarakat adat tetap ada," jelasnya.
Dalam pelaksanaan saat ini, hukum adat telah mengalami proses perubahan. Karena sesuai sifat hukum adat itu sendiri yang dinamis, berubah ke arah yang lebih baik. Semisal dalam pemberian sanksi adatnya.
Jika dahulu untuk menghukum adat pelanggar atau pelaku perselingkuhan bisa dengan hukum rejam atau ditombak, maka saat ini tidak berlaku lagi. Kebiasaan seperti itu sudah lama ditinggalkan dan tidak boleh dilaksanakan. Begitu pula dengan hukuman mati yang dahulu berlaku, kini sudah ditinggalkan.
Adanya perubahan sanksi hukum adat itu, menurutnya karana masuknya agama yang mengubah pola pikir masyarakat adat.
Mengenai adanya keinginan menjadikan hukum adat sebagai hukum positif di Indonesia, seperti yang diatur dalam KUHP, menurut Thambun Anyang, pemberlakuan hukum adat mesti disepakati secara bersama-sama. Apalagi jika dalam suatu kelompok masyarakat terdapat lebih dari satu etnis.
Namun umumnya, menurut ia, hukum adat relevan dilaksanakan di komunitas adat itu sendiri dan komunitas yang mayoritas. Hukum adat Dayak berlaku di komunitas masyarakat Dayak, hukum adat Melayu berlaku di masyarakat Melayu, dan hukum adat Tionghoa berlaku di masyarakat Tionghoa.
"Hukum adat merupakan sesuatu yang lahir di masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu hukum adat juga disebut hukum rakyat," imbuhnya.
Dalam masyarakat berlaku falsafah "Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung". Jika dalam suatu wilayah terdapat etnis tertentu yang lebih banyak, maka pelanggar adat dari etnis lain juga dapat dikenakan sanksi adat dari etnis terbanyak.
Namun masyarakat juga dapat bersepakat jika tidak ingin memberlakukan hukum adat dari salah satu etnis.
Di masyarakat adat juga dikenal ketua-ketua adat. Semisal temenggung, patih, penggawa dan demung. Semuanya itu para ketua adat yang berperan dalam memutuskan perkara adat yang sedang terjadi.
Mereka inilah yang mempertahankan dan melestarikan kebudayaan tersebut. Mereka merupakan pilihan masyarakat adat yang percaya bahwa hukum adat akan berlaku adil ditangan para ketua adat tersebut.
Sementara mengenai materi sanksi dari hukum adat, sesuai perkembangannya juga telah mengenal pembayaran adat menggunakan uang. Hal itu bisa terjadi mengingat sulitnya untuk mendapatkan barang-barang yang semula menjadi syarat adat seperti tempayan dan hewan.
Penggunaan uang sebagai alat pembayaran hukum adat dibenarkan asal tidak menyimpang dan sesuai kewajarannya, jelas Thambun Anyang.
(U.N005/
PERDA TRAFFICKING KALBAR MESTI SEGERA DISOSIALISASIKAN
Pontianak, 26/7 (ANTARA) - Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat, pada Kamis, hendaknya segera disosialisasikan secara berjenjang hingga kepada lapisan masyarakat di tingkat pedesaan.
Anggota tim penyusun naskah Perda, Kunthi Tridewiyanti, di Pontianak, menyatakan, sosialisasi berjenjang dimulai dari jajaran pemerintah provinsi, kabupaten/kota, hingga di tingkat kecamatan, kelurahan atau desa guna mencegah masih maraknya perdagangan orang karena ulah aparat pemerintah.
Ia menyatakan, munculnya kasus perdagangan orang, terutama perempuan dan anak di Kalbar, tidak terlepas dari "jasa" aparat di daerah yang menggampangkan dalam pengurusan kartu identitas seperti kartu tanda penduduk (KTP). "Mencuri" (menambahkan) umur atau menjadi warga desa itu padahal merupakan pendatang, merupakan praktek yang biasa terjadi dalam pembuatan KTP.
Karena itu, sebagai salah seorang penyusun naskah itu, Kunthi yang juga Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender se-Indonesia mengingatkan agar pemerintah provinsi Kalbar segera melakukan sosialisasi Perda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak tersebut.
Kunthi yang ditemui seusai menghadiri Paripurna Pendapat Akhir Fraksi di DPRD Kalbar mengenai Perda perdagangan orang itu menyatakan sosialisasi berjenjang dilakukan guna mengetahui komitmen dari pemerintah kabupaten/kota terhadap masalah perdagangan orang yang terjadi di daerahnya.
Selain berjenjang kepada pemerintah daerah, sosialisasi juga mesti dilakukan pada lingkungan keluarga. Melalui bantuan kelompok pengajian, perkumpulan ibu-ibu, dll. Seperti yang dilakukan di Sulawesi Utara, sosialisasi perda serupa dilaksanakan di gereja-gereja dan rumah ibadah lainnya.
Menurut ia, permasalahan perdagangan perempuan dan anak merupakan persoalan yang rumit dan komplek. Sehingga perlu kerjasama semua pihak dan perhatian yang khusus.
Ia mencontohkan, di Sumatera Utara, Perda serupa telah berjalan optimal karena pemerintah setempat cukup respon. Telah dibangun kerjasama parapihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut berperan hingga ke luar negeri mengatasi masalah perdagangan orang tersebut.
Anggota tim penyusun naskah lainnya, Agustine Lumangkun, dari Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Tanjungpura Pontianak, menyatakan, penyusunan naskah perda tidak memakan waktu lama. Namun prosesnya yang berlangsung selama hampir dua tahun. "Ini hal yang wajar, karena merupakan suatu yang baru," katanya.
Kunthi Tridewiyanti, Agustine Lumangkun dan Tien Handayani (dosen Fakultas Hukum UI dan Univ. Pancasila Jakarta) diminta secara khusus oleh DPRD Kalbar untuk menyusun naskah Raperda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak di Kalbar tersebut.
Mereka melakukan studi banding, bersama DPRD Kalbar melakukan temuan atau dengar pendapat dengan LSM, aktivis dan para pihak terkait lainnya guna penyamaan persepsi. Perda yang merupakan usul inisiatif DPRD itu sempat pula menghadapi sandungan karena menunggu lahirnya Undang-undang No 21 tahun 2007.
Kalbar, menurut Dosen Fakultas Hukum UI itu, merupakan provinsi pertama di Indonesia yang dalam penyusunan Perda mengenai perdagangan orang, mengacu kepada UU No 21 tahun 2007. Selain Kalbar, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara, juga telah memiliki Perda trafficking, namun baru akan menyesuaikan dengan UU No 21 tahun 2007 itu.
Isi dari Perda trafficking Kalbar, memuat jalur-jalur yang menjadi awal terjadi perdagangan orang. Meliputi jalur pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dan pengantin pesanan ke Taiwan, Hongkong, dan Korea oleh warga Tionghoa dari Kota Singkawang.
Penyebab utama perdagangan orang, meliputi persoalan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya lapangan pekerjaan dan minimnya akses informasi.
Sebanyak 8 fraksi di DPRD Kalbar, menyatakan menerima dan menyetujui ditetapkan Raperda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak tersebut. Fraksi-fraksi juga menyarankan Pemprov Kalbar sesegara mungkin melaksanakan sosialisasi.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Pemprov Kalbar, Syakirman, menyatakan sosialisasi dimulai pada instansi terkait di lingkungan pemprov Kalbar dan akan dibentuk tim untuk turun ke kabupaten/kota.
(N005/
Anggota tim penyusun naskah Perda, Kunthi Tridewiyanti, di Pontianak, menyatakan, sosialisasi berjenjang dimulai dari jajaran pemerintah provinsi, kabupaten/kota, hingga di tingkat kecamatan, kelurahan atau desa guna mencegah masih maraknya perdagangan orang karena ulah aparat pemerintah.
Ia menyatakan, munculnya kasus perdagangan orang, terutama perempuan dan anak di Kalbar, tidak terlepas dari "jasa" aparat di daerah yang menggampangkan dalam pengurusan kartu identitas seperti kartu tanda penduduk (KTP). "Mencuri" (menambahkan) umur atau menjadi warga desa itu padahal merupakan pendatang, merupakan praktek yang biasa terjadi dalam pembuatan KTP.
Karena itu, sebagai salah seorang penyusun naskah itu, Kunthi yang juga Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender se-Indonesia mengingatkan agar pemerintah provinsi Kalbar segera melakukan sosialisasi Perda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak tersebut.
Kunthi yang ditemui seusai menghadiri Paripurna Pendapat Akhir Fraksi di DPRD Kalbar mengenai Perda perdagangan orang itu menyatakan sosialisasi berjenjang dilakukan guna mengetahui komitmen dari pemerintah kabupaten/kota terhadap masalah perdagangan orang yang terjadi di daerahnya.
Selain berjenjang kepada pemerintah daerah, sosialisasi juga mesti dilakukan pada lingkungan keluarga. Melalui bantuan kelompok pengajian, perkumpulan ibu-ibu, dll. Seperti yang dilakukan di Sulawesi Utara, sosialisasi perda serupa dilaksanakan di gereja-gereja dan rumah ibadah lainnya.
Menurut ia, permasalahan perdagangan perempuan dan anak merupakan persoalan yang rumit dan komplek. Sehingga perlu kerjasama semua pihak dan perhatian yang khusus.
Ia mencontohkan, di Sumatera Utara, Perda serupa telah berjalan optimal karena pemerintah setempat cukup respon. Telah dibangun kerjasama parapihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut berperan hingga ke luar negeri mengatasi masalah perdagangan orang tersebut.
Anggota tim penyusun naskah lainnya, Agustine Lumangkun, dari Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Tanjungpura Pontianak, menyatakan, penyusunan naskah perda tidak memakan waktu lama. Namun prosesnya yang berlangsung selama hampir dua tahun. "Ini hal yang wajar, karena merupakan suatu yang baru," katanya.
Kunthi Tridewiyanti, Agustine Lumangkun dan Tien Handayani (dosen Fakultas Hukum UI dan Univ. Pancasila Jakarta) diminta secara khusus oleh DPRD Kalbar untuk menyusun naskah Raperda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak di Kalbar tersebut.
Mereka melakukan studi banding, bersama DPRD Kalbar melakukan temuan atau dengar pendapat dengan LSM, aktivis dan para pihak terkait lainnya guna penyamaan persepsi. Perda yang merupakan usul inisiatif DPRD itu sempat pula menghadapi sandungan karena menunggu lahirnya Undang-undang No 21 tahun 2007.
Kalbar, menurut Dosen Fakultas Hukum UI itu, merupakan provinsi pertama di Indonesia yang dalam penyusunan Perda mengenai perdagangan orang, mengacu kepada UU No 21 tahun 2007. Selain Kalbar, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara, juga telah memiliki Perda trafficking, namun baru akan menyesuaikan dengan UU No 21 tahun 2007 itu.
Isi dari Perda trafficking Kalbar, memuat jalur-jalur yang menjadi awal terjadi perdagangan orang. Meliputi jalur pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dan pengantin pesanan ke Taiwan, Hongkong, dan Korea oleh warga Tionghoa dari Kota Singkawang.
Penyebab utama perdagangan orang, meliputi persoalan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya lapangan pekerjaan dan minimnya akses informasi.
Sebanyak 8 fraksi di DPRD Kalbar, menyatakan menerima dan menyetujui ditetapkan Raperda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak tersebut. Fraksi-fraksi juga menyarankan Pemprov Kalbar sesegara mungkin melaksanakan sosialisasi.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Pemprov Kalbar, Syakirman, menyatakan sosialisasi dimulai pada instansi terkait di lingkungan pemprov Kalbar dan akan dibentuk tim untuk turun ke kabupaten/kota.
(N005/
Subscribe to:
Posts (Atom)