Tuesday, September 4, 2007

RIBUAN WARGA TIONGHOA MENGANTAR ROH LELUHUR

Pontianak, 27/8 (ANTARA) - Ribuan warga Tionghoa Kota Pontianak dan sekitarnya, menghadiri pembakaran Wangkang atau perahu pembawa roh leluhur menuju ke langit, dalam peringatan hari "Hantu", tanggal 15 bulan 7 tahun Imlek 2558, di komplek Pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Sungai Raya, Kabupaten Pontianak, Senin.
Wangkang atau perahu kertas berisi sejumlah bahan pokok dan makanan untuk bekal roh leluhur telah disiapkan sejak pagi. Secara bergantian warga Tionghoa mendatangi lokasi pembakaran yang berada di jalan Adisucipto, Kecamatan Sungai Raya itu untuk bersembahyang. Wangkang baru dibakar pukul 17.00 WIB dan disaksikan ribuan orang.
Ketua Yayasan Bhakti Suci, Lindra Lie, mengatakan budaya Tionghoa tersebut sudah berlangsung turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Ia sendiri mengaku tidak tahu persis peristiwa yang melatarbelakangi. "Kami hanya mengikuti tradisi leluhur yang sudah berlangsung ratusan tahun," katanya.
Setiap tahun, panjang wangkang terus bertambah sekitar 5-10 centimeter. Mengingat jumlah roh yang diberangkatkan ke langit telah bertambah. Tahun ini panjang wangkang telah mencapai sekitar 20,80 cm. Sementara biaya pembangunan perahu berbahan kayu, kertas dan sedikit kain itu senilai lebih dari Rp20 juta.
Menurut Lindra, kegiatan itu memberikan kesempatan kepada warga Tionghoa yang tidak mampu menyampaikan doa dan pengharapan agar mendapatkan rezeki lebih baik dari sebelumnya. Sementara sebagian warga lainnya, bersumbangsih menyerahkan sumbangan makanan, bahan pokok dan lain-lain untuk bekal arwah leluhur.
"Kami mengambil sumbangan itu sejak pagi hingga pukul 12.00 WIB tadi. Dari rumah ke rumah, dan masyarakat ikhlas menyumbang apa saja yang mereka miliki," katanya.
Ia mengakui, banyak generasi muda Tionghoa, termasuk ia sendiri hanya meneruskan tradisi leluhur dan tidak begitu paham makna di balik acara tersebut. Namun hikmah yang dapat diambil adalah bagaimana kepedulian setiap warga Tionghoa terhadap kebersamaan dan penghormatan yang besar terhadap leluhur.
Pembakaran wangkang juga merupakan penutup dari ritual sembahyang kubur yang berlangsung sejak tanggal 1 bulan 7 tahun Imlek 2558 lalu. Hari penutup sembahyang kubur, disebut sebagai hari "Hantu". Sementara pada saat sembahyang kubur, banyak warga Tionghoa Kalbar yang merantau ke sejumlah daerah atau negara, akan pulang kampung ke Kalbar untuk mengunjungi kuburan orang tua atau leluhur.
Bukti adanya kepulangan ribuan warga Tionghoa, dapat ditunjukkan dengan tingginya arus penumpang maskapai penerbangan dari bandara Soekarno-Hatta tujuan Pontianak. Harga tiket pesawat menjadi "melambung" dua hingga tiga kali lipat dari harga normalnya. Lindra mengakui, kesempatan ini sama halnya dengan "moment" lebaran umat Islam dan Natal umat Kristiani. Warga Tionghoa akan pulang kampung dan merayakan bersama keluarga. Selain ada perayaan tahun baru Imlek dan Cap Go Meh, yakni hari ke-15 bulan pertama tahun Imlek.
Sebelum wangkang dibakar, sejumlah relawan tampak menurunkan terpal penutup dan merobohkan bangunan kayu yang menjadi tiang penyangga berdirinya perahu. Proses itu berlangsung sekitar 1 jam.
Pembakaran baru dilakukan pukul 17.00 WIB, namun hanya memakan waktu 15 menit. Perahu kertas berisi muatan bahan kebutuhan pokok, makanan siap santap, buah-buahan, dan uang kertas, serta miniatur kertas nakhoda kapal musnah dilahap api.
Tulisan pada spanduk putih yang menyerupai layar perahu, "Sung Hwuan Tek Lie", yang artinya Angin jalan dan selamat, tak luput dari jilatan api tersebut.
Suasana kompleks pemakaman Yayasan Bhakti Suci yang semula sejuk karena tiupan angin dan langit yang mendung, berubah menjadi panas karena kobaran api yang menyambar perahu tersebut. Warga pun mengabadikan "moment" setahun sekali itu dalam bidikan kamera telepon genggam dan kamera saku digital.
Seorang warga Parit Bugis, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Pontianak, Lili, 55, menyatakan telah sejak kecil menyaksikan pembakaran wangkang. Ia menyatakan sejak bayi saat maish di desa Semudun, Kabupaten Pontianak, telah diajak orang tuanya menyaksikan ritual tersebut karena diajarkan untuk menghormati leluhur.
Namun dalam ziarah makam tahun ini, ia tidak ikut serta, karena lokasi kuburan leluhur berada di desa Sumudun, sekitar 60 km dari Kota Pontianak. "Saya tidak punya uang untuk mendatangi kuburan nenek. Tetapi 'mak muda' (bibi-red) saya sudah mengunjungi kuburan nenek," katanya.
Janda berputra empat itu menyatakan tradisi mengunjungi makam leluhur dan menghadiri pembakaran wangkang ia berlakukan pula pada anak-anaknya. Upaya itu supaya lebih mendekatkan anak-anaknya tradisi yang sudah ada sehingga tidak melupakannya. "Ini anak saya umur 13 tahun mesti tahu juga," kata Lili yang lahir dari Menjalin, dan ikut mengungsi ke Pontianak bersama neneknya pada peristiwa PGRS/Paraku 1967 lalu.
(N005/

No comments: